HARIANHALUAN.ID – Ketua DPRD Sumbar, Supardi menyatakan perjanjian kerja sama Build Over Transfer (BOT) antara Pemprov Sumbar dengan pengelola Hotel Novotel PT. Grahamas Citrawisata dinilai mencurigakan, karena jumlah biaya sewa yang dibayarkan tidak masuk akal, yakni hanya Rp300 juta dalam setahun sejak 2022 hingga 2024.
Sedangkan dalam perpanjangan kontrak 2012-2022 selama 10 tahun Pemprov hanya mendapatkan Rp200 juta per tahun.
“Pendapatan itu yang diberikan ke pemerintah dan kami di DPRD tidak memasukkan itu ke kas pendapatan tahun lalu, dan saat ini Komisi III DPRD Sumbar fokus melakukan penggalian informasi terhadap persoalan itu,” kata Supardi, dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Senin (13/2/2023).
Dirinya fokus pada perjanjian yang dibuat antara Pemprov Sumbar, dengan pengelola sejak awal dan ada biaya kompensasi yang diberikan kepada Pemprov Sumbar dengan nilai yang cukup rendah.
“Ini kan tidak logis dan tak masuk akal dengan perkiraan pendapatan hotel yang besar, namun nilai kompensasi sangat rendah. Bisa saja ada perjanjian di bawah tangan?,” katanya.
Menurut dia, investor yang menanamkan uangnya di Sumbar tentu ingin meraih keuntungan dari investasi yang telah ditanamkan, namun tentu sebagai pemerintah pihaknya tidak ingin pendapatan yang didapatkan dan masuk ke kas daerah hanya sedikit.
Padahal Hotel Novotel itu berdiri di tanah yang luas dan memiliki bangunan besar dan tingkat keterisian kamar cukup tinggi dan ini tentu tidak cocok, dengan biaya yang diberikan kepada Pemprov Sumbar.
Kontrak kerja sama Pemprov Sumbar dengan PT Graha Mas Citrawisata berdasarkan akta perjanjian Nomor 12.090/L/1990 pada tanggal 27 Agustus 1990. Disepakati perjanjian kerja sama selama 30 tahun sejak dioperasikan dengan dua tahun pertama masa pembangunan dan dua lanjutan masa promosi, lalu tahun berikutnya hingga 30 tahun masa operasional.
PT Graha membayarkan imbalan kerja sama berupa fixed lease Rp40 juta per tahun dengan eskalasi 10 persen setiap lima tahun dan pembayaran di setiap akhir tahun operasi. Apabila PT Graha mengalami kerugian, maka Pemprov Sumbar tetap menerima imbalan Rp40 juta per tahun dan jika kerja sama berakhir, maka tanah dan bangunan akan diserahkan kepada Pemprov Sumbar dalam keadaan baik.
Kemudian dilakukan adendum perjanjian akta Nomor 120-9/USB-2010 dan Nomor 025/GC/IX/2010 pada 30 September 2010 antara Pemprov Sumbar dengan PT Graha Mas Citrawisata dan disepakati keuntungan bersih setelah diaudit akuntan publik dibagi 20 persen untuk pemprov dan 80 persen untuk perusahaan atau Rp200 juta harus diterima Pemprov Sumbar, apabila minimal 20 persen lebih kecil dari Rp200 juta.
Harusnya keuntungan yang didapatkan Pemprov Sumbar adalah 20 persen dari total keuntungan bersih setelah dilakukan audit oleh akuntan publik, namun selama ini pengelola menyatakan terus merugi, sehingga pembayaran yang dilakukan hanya Rp200 juta sesuai dengan perjanjian.
Sementara fixed lease sebesar Rp300 juta per tahun ke Pemprov Sumbar baru dibayarkan pada 2022 hingga 2024, sedangkan tahun 2012 sampai 2022 pemprov hanya kebagian Rp200 juta per tahun.
Sebelumnya, Komisi III DPRD Sumbar menggandeng BPK melakukan audit investigasi pengelolaan Hotel Novotel yang merupakan kerja sama BOT dengan Pemprov Sumbar.
Ketua Komisi III DPRD Sumbar, Ali Tanjung mengatakan, Direktur PT. Grahamas Citrawisata yakni Dedi Sjahrir Panigoro sudah dua kali dipanggil oleh Komisi III DPRD Sumbar, namun Dedi Panigoro tidak pernah kooperatif untuk memenuhi undangan DPRD Sumbar.
“Dia sudah dua kali kita panggil. Dia ini kan sudah hampir 30 tahun kerja sama dengan Pemprov Sumbar membangun hotel menggunakan aset tanah Pemda Sumbar. Selama ini laporannya rugi terus, maka kita ingin dalami,” kata dia.
Menurut dia, DPRD Sumbar memiliki tugas untuk mengawasi penggunaan aset milik Pemda Sumbar. Sebab, kata dia, ada hal yang tidak masuk akal dalam kerja sama BOT antara perusahaan yang dipimpin Dedi Panigoro dengan Pemda Sumbar.
“Ini masalah besar karena aset yang dikelola itu besar, puluhan bahkan ratusan miliar. Sementara, selama ini kan kontribusi kepada pemerintah daerah menurut kita enggak masuk akal. Masa iya Rp200 juta setahun. Sementara neraca kasih ke kita omsetnya Rp30 miliar tahun 2020. Jadi itu yang kita ingin dalami, apa masalahnya omset Rp30 miliar kok keuntungan hanya dapat segitu,” katanya.
Ali mengatakan, DPRD Sumbar mengalami kendala karena Dedi Panigoro sudah dua kali mangkir dan selalu mengutus perwakilan ketika rapat, sehingga diduga ada informasi yang ditutup-tutupi.
“Panggilan pertama, dia tidak memberitahu tapi mengutus orang yaitu komisaris sama manajemen. Panggilan kedua kita sampaikan, tidak boleh diwakilkan karena manajemen lain tidak mempunyai kewenangan apa adanya. Berarti dia menutup-nutupi informasi namanya. Dia sebagai direktur harusnya mempunyai kewenangan segalanya memberikan informasi,” ujarnya.
Ali mengatakan, pihaknya akan meminta BPK RI turun tangan melakukan audit investigasi apabila Dedi Panigoro tidak hadir dalam pemanggilan ketiga. Sebab, kata dia, lahan yang digunakan Hotel Novotel merupakan aset Pemda Sumbar.
“Nanti setelah panggilan ketiga baru bikin surat resmi ke BPK. Banyak aset di Sumbar itu dikelola asal-asalan, sehingga tidak mendatangkan keuntungan bagi pemerintah daerah sebagai pemilik aset. Kita dalami itu kenapa dulu bisa terjadi? Apakah ada unsur-unsur lain, apakah ada permainan atau kesengajaan atau kelalaian. Itu yang ingin kita dalami,” ujarnya.
Terpisah, Gubernur Sumbar, Mahyeldi menanggapi hal tersebut, pihaknya akan membahas dan akan melakukan rapat dengan OPD. Kemudian berangkat dari pada komitmen sebelumnya, dan justru tahun ini ada peningkatan dibanding tahun lalu. Oleh karena itu, tentu yang peningkatan pendapatan adalah keinginan bersama.
“Makanya kita rekomendasi DPRD untuk mengoptimalkan aset-aset daerah, sehingga bernilai ekonomi. Sesuai amanat itu, kita bergerak untuk mengoptimalkan aset ini dengan mengajak pihak ketiga, investor baik dalam maupun luar negeri. Jadi untuk pembahasan dengan OPD,” ucapnya. (*)