567 Kasus Kekerasan Dialami Anak Selama 2022

Kekerasan Anak

Kegiatan FGD bertajuk arah kebijakan dan langkah strategis upaya menurunkan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diselenggarakan DP3AP2KB Sumbar di Grand Basko Hotel, Selasa (14/2/2023). IST

HARIANHALUAN.ID – Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Sumbar mencatat, sepanjang tahun 2022 terjadi 567 kasus kekerasan terhadap anak di seluruh Sumbar, dengan jumlah korban mencapai 617 orang.

Kepala DP3AP2KB Sumbar, Gemala Ranti mengatakan, dari data  tersebut kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan kasus yang paling banyak terjadi dengan jumlah korban mencapai 344 anak.

“Jumlah kasus  itu terbilang cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Apalagi faktanya, rata-rata kasus terjadi di lingkungan rumah tangga atau keluarga. Selain itu, kebanyakan pelaku juga adalah orang terdekat korban,” ujarnya dalam forum Focus Group Discussion (FGD) bertajuk arah kebijakan dan langkah strategis upaya menurunkan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Grand Basko Hotel, Kota Padang, Selasa (14/2/2023).

Gemala Ranti menerangkan, data dan fakta tersebut telah menggambarkan bahwa lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak, justru malah menjadi tempat yang paling banyak menjadi lokasi terjadinya pelanggaran hak anak.

Ia memaparkan,  kasus kekerasan fisik, verbal, psikis maupun seksual terhadap anak,  merupakan fenomena gunung es. Dimana, menurutnya,  kasus  yang sebenarnya terjadi bisa jadi lebih banyak dari kasus yang terlaporkan kepada aparat kepolisian maupun instansi terkait.

“Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini juga menjadi salah satu masalah serius bagi kita. Dimana setiap tahunnya, angka kasus dan korbannya terus mengalami peningkatan. Sehingga semua pihak terutama elemen masyarakat perlu bahu membahu bersama pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini,” ucapnya.

Permasalahan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menghantui Sumbar lainnya, kata Gemala Ranti, adalah tingginya angka perkawinan dini anak. Dimana, menurutnya, berdasarkan data Susesnas tahun 2021 lalu, angka perkawinan pertama anak perempuan yang berusia di bawah 19 tahun di Sumbar mencapai presentase 24,49 persen.

“Artinya, 25 dari 100 anak perempuan di Sumbar tercatat melakukan perkawinan pertama saat usianya di bawah 19 tahun. Padahal menurut Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki,” katanya.

Kondisi ini, kata dia, juga berimplikasi terhadap pemenuhan hak anak terhadap akses pendidikan. Hal itu pun juga sejalan dengan hasil penelitian UNICEF, yang menyatakan bahwa anak yang menikah di bawah umur akan cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Temuan lainnya, kata Gemala Ranti, fenomena pernikahan dini anak, paling banyak dialami oleh anak perempuan dengan presentase mencapai angka 24,29 persen. Angka ini lebih tinggi enam kali lipat dari pernikahan dini anak laki-laki yang presentasenya hanya 4,25 persen.

“Berdasarkan tempat tinggal, fenomena pernikahan dini anak juga lebih banyak terjadi di daerah pedesaan dengan presentase mencapai 31,47 persen. Angka ini juga dua kali lipat dari jumlah pernikahan dini anak yang terjadi di daerah perkotaan yang presentase sebanyak 16,74 persen,” ucapnya.

Gemala Ranti menyebutkan, ada sejumlah faktor pemicu yang menyebabkan tingginya angka perkawinan dini anak di daerah pedesaan. Faktor tersebut, di antaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan, adanya stigma terhadap perempuan, rendahnya edukasi terhadap dampak dan bahaya perkawinan anak, lemahnya pemahaman agama hingga minimnya kepedulian lingkungan keluarga dan masyarakat.

Ia menyatakan,  sejauh ini fenomena perkawinan dini  anak, paling banyak ditemukan di Kabupaten Dharmasraya dengan presentase mencapai angka 35,71 persen. Sedangkan kabupaten dengan angka perkawinan dini anak paling rendah, ditempati oleh Kabupaten Solok dengan presentase hanya 2, 97 persen.

“Untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang holistik guna menghapuskan perkawinan usia anak ini, dibutuhkan adanya pelibatan serta peningkatan pengetahuan anak, remaja dan masyarakat melalui pembentukan wadah forum anak yang terus kita dorong pembentukannya di tingkatan kabupaten dan kota,” ujarnya. (*)

Exit mobile version