Adanya sejumlah fenomena tersebut, dikatakan Rais, turut memberikan ruang dan tempat tumbuh yang subur bagi sikap-sikap radikalisme dan ekstrimisme yang muncul di tengah masyarakat Sumbar belakangan ini.
Padahal, menurutnya, pada dasarnya masyarakat Sumbar merupakan masyarakat yang terbuka, tidak eksklusif dan dapat membaur dengan kelompok masyarakat lainnya, sekalipun itu berbeda suku dan agama.
“Kita di Minangkabau memiliki tradisi merantau, di berbagai wilayah pasti ada orang Minang, namun tidak pernah kita dengar adanya kampung Minang. Seperti halnya ada Kampung Cina, Kampung Nias, Kampung Jawa, Kampung Melayu, dan kampung-kampung yang berpola segregasi etnis lainnya. Ini kan membuktikan bahwa warga kita merupakan masyarakat terbuka yang dapat menerima perbedaan,” katanya.
Untuk itu, untuk menghambat laju perkembangan dan pertumbuhan kelompok-kelompok radikal dan ekstrimis di Sumbar, selain melakukan penguatan literasi digital terhadap generasi millenial yang kerap terpapar dan terpengaruh konten-konten radikalisme dari media sosial, Zaim menilai pemerintah juga perlu menyelesaikan akar dari radikalisme, yaitu persoalan ketimpangan dan ketidakadilan.
“Penelitian menunjukkan bahwa ideologi radikal, kerap berawal dari ketimpangan dan ketidakpuasan kelompok masyarakat yang merasa dipinggirkan dan disisihkan dalam wacana pembangunan secara ekonomi, sosial dan politik. Ini yang harus diselesaikan oleh pemerintah kita dari pusat hingga daerah, untuk mencegah pertumbuhan kelompok radikal dan ekstrim di bumi Minang ini,” ucapnya.
Rais juga meminta kepada pemerintah dari segala tingkatan untuk menghentikan stigmaisasi terhadap kelompok-kelompok masayarakat, karena menurutnya, setiap stigmaisasi maupun penyudutan kelompok tertentu, pasti akan menimbulkan perlawanan yang dapat mengarah kepada terbentuknya sikap radikal dan ekstrim. (h/mg-fzi)