PADANG, HARIANHALUAN.ID – Perlambatan ekonomi Sumatera Barat (Sumbar) yang terjadi 10 tahun terakhir turut menyita perhatian berbagai pihak. Seperti yang dikemukakan kalangan ekonom, dimana Pemprov, Kabupaten dan Kota perlu menyusun langkah serius untuk menanggapi situasi ini. Karena kalau juga tak ada pergerakan diperkirakan akan dampak buruk bagi Sumbar ke depan.
Pakar Ekonomi Universitas Andalas (UNAND), Prof Dr Elfindri, mengatakan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Sumbar selalu berada di bawah rata-rata nasional dan cenderung tertinggal dibandingkan daerah yang berada di wilayah timur pulau Sumatra lainnya. Sejumlah faktor tersebut diantaranya adalah tidak berkembangnya sektor pertanian, perkebunan dan pariwisata yang menjadi potensi unggulan bagi Sumbar saat ini.
“Pertumbuhan sektor pertanian ternyata juga tidak begitu menakjubkan. Dalam artian, jenis komoditas yang dihasilkan tidak banyak pembaharuan, dalam sepuluh tahun terakhir produk komoditasnya hanya itu-itu saja,” ujarnya kepada Haluan Senin (27/3).
Pertumbuhan stagnan, kata Prof Elfindri, juga dialami oleh sub sektor perkebunan Sumbar yang kalah jauh dibandingkan dengan luas lahan perkebunan yang ada di daerah pantai timur Sumatra lainnya seperti Riau, Jambi dan Sumatra Selatan yang notabene terletak di kawasan strategis arus lintas barang jasa utama yang didukung dengan adanya ruas jalan tol lintas timur.
Sementara sektor pariwisata yang selama ini digadang-gadang menjadi tulang punggung atau backbone pertumbuhan ekonomi Sumbar saat ini, menurutnya juga mengalami fluktuasi lantaran semakin berkembang pesatnya pertumbuhan sektor pariwisata di provinsi tetangga.
“Jadi, meskipun jumlah wisatawan yang masuk ke Sumbar masih cukup tinggi, namun hal itu nyatanya juga diimbangi oleh kenaikan sumbangan sektor pariwisata oleh daerah lain, sehingga secara total, ini yang memberikan penjelasan tentang kenapa PE Sumbar tidak terlalu tinggi dan masih tertinggal dibandingkan daerah lainnya,” terang Prof Dr Elfindri yang juga merupakan Direktur SDGS UNAND ini.
Lebih jauh, ia menerangkan, Sumbar sebenarnya memiliki keunggulan dan potensi lain di bidang transportasi angkutan laut dengan adanya pelabuhan Teluk Bayur yang dikenal sebagai pusat aktivitas bongkat muat ataupun ekspor impor barang. Namun sayangnya, belakangan ini intensitas aktivitas bongkar muar barang di salah satu pelabuhan tertua di pulau Sumatera itu, juga tidak terlalu menggembirakan.
Kondisi itu juga semakin diperparah dengan berdirinya Pelabuhan Jambi yang menjadi salah satu pusat ekspor impor barang baru di pulau Sumatra saat ini. Akibatnya sejak dua tahun belakangan, pengiriman batu bara, tidak lagi dilakukan via pelabuhan Teluk Bayur yang tentu tidak menguntungkan bagi Sumbar secara ekonomi.
“Berdirinya pelabuhan Jambi ini tentu tidak menguntungkan bagi Sumbar pada sektor transportasi, sub sektor lalu lintas jalan raya, bongkar muat barang dan sebagainya,” tegasnya.
Lesunya aktivitas perekonomian di pelabuhan Teluk Bayur itu, menurut Elfindri, juga ditambah dengan semakin ketatnya persaingan dagang yang dialami oleh Semen Padang yang menjadi satu-satunya industri besar yang bisa dibanggakan dari Sumatra Barat saat ini. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh Semen Padang pun, tidak begitu meyakinkan lagi lantaran kemunculan industri semen di daerah lainnya dengan harga yang lebih murah.
“Akibatnya pertumbuhan ekonomi Sumbar belakangan ini, tertinggal jauh dibanding Riau. Yang bahkan pertumbuhannya sudah tiga kali Kota Padang, sementara sepuluh tahun yang lalu, posisi Padang dan Pekanbaru mungkin laju pertumbuhannya tidak terlalu jauh, sekarang sudah sangat jauh,” ungkapnya.
Di tengah semakin tidak menggembirakannya PE Sumbar ini, Prof Elfindri menilai bahwa Sumbar perlu mendorong pertumbuhan investasi pada bidang industri dan pertambangan. Sebab menurutnya, salama ini investasi yang masuk ke Sumbar baru terbatas pada investasi pariwisata pada bidang perhotelan.
“Industrialisasi dan hilirisasi pertanian dan perkebunan juga harus terus didorong, begitu juga dengan penciptaan industri turunan dari semen seperti misalnya pembuatan separator jalan, tiang-tiang beton, maupun produk-produk infrastruktur dari beton lainnya,” tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Hasdi Aimon, menyebut, memang benar bahwa pertumbuhan ekonomi Sumbar mengalami perlambatan dan di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu dapat dilihat juga dengan perbandingan pertumbuhan ekonomi year on year (yoy). Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun 2022 tumbuh sebesar 4,15 persen (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan IV tahun 2021 yang sebesar 4,38 persen (yoy).
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Sumbar selama ini didorong faktor konsumsi rumah tangga. Akan tetapi, akhir-akhir ini konsumsi rumah tangga juga mengalami perlambatan. “Hal ini disebabkan karena harga makro ekonomi (inflasi, red) relatif tinggi di Sumbar,” tuturnya saat berbincang dengan Haluan Minggu (26/3) di Padang.
Melihat kondisi ini, Prof. Hasdi menawarakan sejumlah solusi diantaranya, dengan menciptakan faktor pendorong ekonomi tidak hanya dari konsumsi saja. Tetapi juga kalau bisa juga dari investasi dan perdagangan, serta pertanian.
Selain itu kata Prof Hasdi, dengan peningkatan potensi sektor lain seperti pariwisata. Dimana pariwisata harus dikemas secara profesional dan perlu didukung oleh infrastruktur transportasi yang bagus. Sehingga wisatawan domestik dan mancanegara akan semakin banyak (bisa sampai 4 kali lipat) apabila infrastruktur transportasi bagus. “Sebab beberapa poin ini menjadi keluhan wisatawan saat berwisata di Sumbar,” ucapnya.
Gubernur Provinsi Sumatra Barat, Mahyeldi Ansharullah saat LKPj Kepala Daerah dengan DPRD Sumbar, Jumat (24/3) menyampaikan ekonomi Sumbar dalam 10 tahun terakhir mengalami perlambatan. Kendati demikian, dengan berbagai strategi pemulihan pasca pandemi sudah ada peningkatan dibanding 2021, meskipun masih dibawah rata-rata nasional. (fzi/yes)