CERPEN – Kota Kepentingan Bagian I: Reses

OLEH : Mahareta Iqbal Jamal

Ilustrasi Istimewa

“Selamat siang, Pak. Jadwal rapat dengan Wali Kota Kepentingan sepertinya ditunda dikarenakan beliau ada dinas mendadak keluar kota. Maka dari itu, beliau berpesan bahwa rapat dijadwalkan dua hari mendatang pukul 2 siang.”

“Ditunda lagi?”

“Iya, Pak.”

“Kalau ditunda terus kapan proyek ini akan dirumuskan sih. Kebiasaan sekali membatalkan seenak perutnya saja.”

Kepala sekretaris pribadi yang melaporkan pembatalan rapat siang ini hanya menatap ke lantai, seakan tak berani melihat wajah Ketua Dewan Kota Kepentingan, Pak Kopen. Sesekali ia curi pandang ke arah kolong meja Pak Kopen. Samar di sana ia melihat bayangan bergerak di bawah kolong tersebut, seperti bayangan seseorang yang sedang bersembunyi dari pencarian. Jika anda berpikir bahwa si sekretaris persis di hadapan Pak Kopen, Anda salah. Ia berdiri di samping Pak Kopen, sejajar dengan bagian tepi meja agak beberapa meter dan tentunya bayangan akan jatuh ke belakang Pak Kopen. Dan juga, setengah anggota tubuh bagian bawah Pak Kopen lenyap dimakan kolong meja.

“Kalau begitu. Terima kasih.”

“Sama-sama, Pak. Saya izin pamit dulu kembali ke ruangan saya.”

Sekretaris perlahan berjalan mundur kemudian memunggungi Pak Kopen.

“Eh, tunggu sebentar…” Pak Kopen memanggil kembali sekretaris pribadinya itu.

“Bagaimana perkembangan persiapan untuk reses malam ini, Nura?”

“Mengenai reses sudah saya persiapkan semua, Pak. Dari nasi kotak, snek, hingga uang transportasi untuk warga. Beberapa dari tim reses juga sudah menemui Lurah untuk penertiban acara. Nama-nama warga juga sudah kami kumpulkan semua. Tim dokumentasi juga sudah standby selama acara berlangsung.”

“Media? Itu yang paling penting.” tanya Pak Kopen kemudian membuka gawainya, melakukan sesuatu yang tidak diketahui Nura.

“Media juga sudah, Pak. Semua aman. Bapak tinggal reses saja lagi. Semua rencana sudah saya atur sedemikian rupa.”

Pak Kopen tidak menjawab, tetapi ia juga tidak menyuruh sekretaris untuk kembali ke ruangannya. Ia sibuk memainkan gawainya.

“Pak?”

“Ya?”

“Apa ada pertanyaan lagi mengenai reses nanti malam?”

Pak Kopen menaruh gawai. “Udah saya transfer ya buat beli rokok sama kopi teman-teman yang bantu nanti malam. Kamu jangan lupa mandi. Bajumu sudah menyatu dengan keringat,” ucapnya sambil tersenyum.

Sekretaris yang sudah paham apa yang dimaksud Pak Kopen hanya mengangguk dan meninggalkan ruangan tanpa menerima aba-aba terlebih dahulu seperti sebelumnya. Pintu ruangan Pak Kopen ditutup. Pak Kopen terlihat menghela napas lega. Ia kemudian menggeser kursinya sedikit ke belakang. Pak Kopen sepertinya lupa memakai ikat pinggang hingga celananya terlihat melorot sampai ke betis.

“Sudah aman, Sugdad?” seorang perempuan muda mengeluarkan kepala dari kolong meja dan mencoba melihat ke arah pintu ruangan. Dress merah perempuan itu melorot memperlihatkan separuh bagian dadanya. “Huft… Hampir saja,” ucapnya sambil mengelus dada yang berkeringat.

Seperti tidak ingin kehilangan momentum, Pak Kopen mendorong kepala perempuan muda tersebut untuk masuk ke kolong meja lagi dan ia menggeserkan kembali kursinya ke depan. Separuh tubuh Pak Kopen kembali ditelan kolong meja kerja yang mana di atasnya tersusun rapi setumpukan berkas-berkas penting, proposal kegiatan mahasiswa, dan di bagian tengah bertengger nama Kopen Nohagen, S.H (Ketua Dewan Kota Kepentingan) dengan gagahnya. Di sampingnya, vas bunga tanpa air dengan bunga mawar yang sudah berwarna kecoklatan.

“Semester ini aman. Tambah kecepatan karena kita sedang berada di jalan tol, sayang,” ucap Pak Kopen. Kedua tangannya bergerak ke bawah kolong meja seperti sedang mencari sesuatu yang hilang, barangkali sedang memegang stir mobil yang ia kendarai dengan kecepatan tinggi.

Handphone Pak Kopen berbunyi. Panggilan masuk: Maiwaif.

 

***

 

Pawang hujan bekerja dengan sangat baik semenjak sore. Pak Kopen sudah bersiap untuk reses malam ini. Ia mengenakan stelan baju koko berwarna putih bersih, celana hitam, kupiah, dan sorban, membuat siapa pun yang melihat Pak Kopen akan beranggapan bahwa ia adalah seorang Haji yang baru saja pulang dari Mekah, minimal akan dipanggil pak ustaz dengan balutan busana tersebut.

“Papa ganteng sekali,” ucap Bu Kopen sambil merapikan sorban yang mengalung di leher Pak Kopen.

“Yah, mulai. Pasti ada maunya.”

“Tidak kok, Pa. Mama tidak mau apa-apa.”

“Jangan buat papa berkata kalau…”

“…kalau mama pikir papa baru kenal mama kemarin.”

Pak Kopen tersenyum lalu mencium kening istrinya.

“Mau apa? Bilang saja ke papa ya.”

“Sudah hampir tiga minggu Mama sendiri di rumah karena papa keluar kota. Baru dua hari papa pulang, itupun tidur di kantor. Si Sulung menelpon mama. Ada biaya tambahan untuk praktikum sekaligus uang les bahasa Prancis. Sewa apartemen di Prancis katanya juga naik. Si Sulung juga mau mengadakan pesta Hallowen bersama teman kampusnya. Papa tidak angkat telpon si Sulung, makanya mama telpon papa, tapi tetap sama saja tidak dijawab.”

“Iya mama kan tahu betapa sibuknya papa sebagai Ketua Dewan. Tidak hanya keluarga yang papa pikirkan, tapi masyarakat juga, Mama.”

Bu Kopen mengangguk. “Si Bungsu juga mau ulang tahun. Katanya, mau dibelikan mobil.”

“Iya, Ma. Nanti mama atur saja semuanya ya.”

Bu Kopen mencium pipi suaminya. “Terima kasih, Papa. Mama sayang papa.”

Pak Kopen hanya tersenyum sambil mengangguk dan mencium kening istrinya sekali lagi. “Papa pergi reses dulu ya, Ma. Semoga dengan ini kebutuhan dan kepentingan rakyat dapat papa perjuangkan ke pusat. Tanpa mereka, papa tidak akan bisa seperti sekarang. Mereka mempercayakan papa untuk menanggung seluruh aspirasi demi kesejahteraan mereka. Ini niat baik.”

Bu Kopen mencium tangan suaminya. Pak Kopen meninggalkan rumah dan pergi bersama sekretarisnya yang sudah menunggu di mobil. Suara mobil yang meninggalkan rumah perlahan lenyap. Bu Kopen kembali ke kamar untuk mandi yang keempat kalinya hari ini. Ia ambil handuk, kemudian handphone untuk kebutuhan konser kamar mandi. Di layar terlihat sebuah pesan masuk:

Ketika Bapak sampai di lokasi, saya balik lagi ya, Bu. Saya mau numpang mandi (lagi) hehehe…

Perempuan paruh baya dengan kulit super kencang tanpa kerutan itu meloncat kegirangan seperti memenangkan lotre. Ia berlari kecil ke kamar mandi layaknya bocah yang baru saja membeli lolipop besar di lotte.

***

Reses sedang berlangsung. Semua warga telah berkumpul di kantor Lurah. Spanduk Pak Kopen terpasang dengan potretnya yang lebih besar daripada foto ketua umum partainya. Tanda tangan yang warga berikan di daftar hadir diganjar dengan sekotak snek dan nasi bungkus sepuluh ribu, meski di anggaran dituliskan dua puluh ribu. Pak Kopen menyampaikan tujuan resesnya dengan panjang lebar dan penuh wibawa. Segala macam pertanyaan warga telah dijawab dengan penuh retorik dan meyakinkan. Semua warga senang, semua warga pulang membawa makanan dan uang 50 ribu per orang. Tak ada yang lebih membahagiakan dari menjemput sesuatu hingga terbawa, bukan? Media dan tim dokumentasi Pak Kopen pun juga membawa uang yang tidak sedikit.

“Sahrul. Apa kau melihat Nura?” tanya Pak Kopen kepada salah satu anggotanya yang sedang beberes membersihkan ruangan.

“Tidak tahu, Pak. Setelah Bapak datang, saya tidak melihatnya lagi.”

Pak Kopen berjalan ke luar ruangan dan menelpon Nura. Panggilan pertama tak terjawab. Ia coba sekali lagi. Diangkat.

“Kamu dimana? Resesnya telah selesai.” Nada bicara Pak Kopen sedikit keras.

Cara bicara Nura terdengar ngos-ngosan. “Ma..maaf, Pak. Ini, Pak. Tadi saya balik ke rumah bapak menjemput buk…buku catatan saya tinggal, Pak.”

“Kamu lagi ngapain? Kok begitu bicaranya?”

“A..anu, Pak. Saya ta… tadi dikejar anjing tetangga waktu beli rokok di kedai depan rumah bapak. Jadinya saya lari, Pak. Sedikit lagi, Pak. Kebetulan buku catatan saya juga belum ketemu. Habis ini saya jalan ke lokasi, Pak.”

Pak Kopen mematikan telepon. Sejalan dengan itu, Nura menyelesaikan kerjaannya di kamar Pak Kopen. Seseorang terlihat menghampiri Pak Kopen.

“Mohon maaf, Pak. Ini buku catatan Pak Nura yang tadi dipakai pembawa acara sewaktu reses, lengkap dengan daftar pertanyaan dan jawaban yang sudah dicatat pembawa acara.”

Pak Kopen terheran. Ia ambil buku catatan itu, Ia telepon kembali Nura.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.

           

Padang, 2021

Mahareta Iqbal Jamal. Lahir di Padang, 11 Maret 1995. Alumni Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Bergiat di Sani Films dan Lab Pauh 9.

Exit mobile version