Tutupan Hutan Terus Berkurang, Pemerintah Klaim Pembalakan Liar Menurun

Salah satu daerah kawasan hutan di Sumbar

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Selama beberapa tahun terakhir, luas tutupan hutan Sumatera Barat terus berkurang. Namun, di sisi lain, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar) justru mengklaim bahwa kasus pembalakan liar juga terus menurun. 

Berdasarkan analisis Citra Sentinel II yang dilakukan oleh tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Sumbar kehilangan 27.447 hektare atau 1,5 persen hutan sepanjang tahun 2022.

 Padahal, jika merujuk total luasan hutan Sumbar, lebih dari separuh wilayah Sumbar merupakan kawasan hutan, dengan luas 2.286.883 hektare atau sekitar 52 persen dari total luas wilayah provinsi. Pada 2021 jumlah tersebut menyusut menjadi 41 persen atau 1.744.549 hektare, dan pada 2022 kembali berkurang sebanyak 27.447 hektare. 

Berkurangnya luas tutupan hutan biasanya berbanding lurus dengan peningkatan kasus pembalakan liar. Aktivitas pembalakan liar selama ini telah menggerus tutupan hutan. Di Sumbar, seolah berbanding terbalik dengan berkurangnya luas tutupan hutan, kasus pembalakan liar justru diklaim semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir.

 Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Sumbar, Yozarwardi menyatakan, pihaknya telah menetapkan baseline tutupan hutan sebesar 15 ribu hektare per tahun. Artinya, setiap tahun diproyeksikan akan ada sekitar 15 ribu hektare luasan hutan yang hilang. Baseline sebesar 15 ribu hektare ini, menurut Yozarwardi, merupakan imbas dari pembangunan infrastuktur daerah yang terus berjalan.

“Lebih dari separuh wilayah Sumbar itu adalah hutan. Nah, di sisi lain, pembangunan daerah kan terus berjalan, apakah itu berupa jalan, jembatan, dan sebagainya. Jadi, mau tidak mau tentu akan melewati wilayah hutan juga. Contohnya seperti pembangunan jalan Alahan Panjang-Bayang. Itu pembangunannya melewati kawasan hutan lindung. Apakah itu boleh? Boleh. Karena itu kan termasuk pembangunan strategis, yang juga bagian dari langkah mitigasi bencana,” katanya, Jumat (14/4).

Berkurangnya tutupan hutan karena pembangunan infrastruktur tersebut, ujarnya, ditoleransi oleh negara. Selain untuk pembangunan infrastruktur, negara juga menoleransi pembukaan wilayah hutan untuk program transmigrasi. Selanjutnya, ada program Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Dalam hal ini, negara memberikan izin kepada korporasi untuk memanfaatkan hutan.

“Kalau PBPH-nya untuk tanaman industri, misalnya untuk tanaman Eucalyptus, jelas jika usianya sudah enam tahun, dia akan dibabat habis. Sehingga tentu tutupan hutan juga akan ikut berkurang,” katanya. Selain deforestasi yang ditoleransi oleh negara itu, juga ada faktor-faktor lain yang berada di luar kendali, seperti kebakaran hutan dan bencana alam berupa longsor dan sebagainya.

Di samping itu, Yozarwardi juga tak menampik bahwa sampai saat ini masih ada aktivitas pembalakan liar dan perambahan hutan. Kendati demikian, ia mengklaim jumlahnya terus berkurang. Hal ini dikarenakan, pihaknya terus mendorong langkah-langkah persuasive guna menekan aktivitas pembalakan liar dan perambahan hutan. Pihaknya memfasilitasi para perambah hutan dengan program perhutanan sosial.

“Dulu kan kalau kedapatan langsung ditangkap dan dipenjara. Sekarang tidak lagi. Mereka kami beri dua pilihan, mau dipidana atau mengelola hutan melalui perhutanan sosial. Ada itu bekan pembalak liar tapi sekarang sudah sukses memproduksi madu lebah galo-galo lewat program perhutanan sosial. Karena apa? Karena langkah persuasive itu tadi,” katanya. 

Akibat Pembalakan Liar dan Tambang Ilegal

Sebelumnya,  Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf menyatakan, aktivitas manusia menjadi penyebab berkurangnya tutupan hutan di Sumbar, seperti pertambangan emas ilegal dan pembalakan liar. Berdasarkan data yang dikeluarkan Warsi dalam catatan akhir tahun 2022, pertambangan emas tanpa izin atau ilegal di Sumbar terdapat di empat daerah, yakni Kabupaten Dharmasraya seluas 2.179 hektare, Solok 1.330 hektare.

 Kemudian Solok Selatan 2.939 hektare dan Sijunjung 1.174 hektare. Tambang emas ilegal biasanya terjadi di sungai utama atau pun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL), hutan produksi, dan hutan lindung.

Penambangan emas ilegal tersebut mengakibatkan kerusakan hutan dan lingkungan serta timbulnya bencana longsor di sekitar kawasan tambang. “Perlu adanya komitmen yang kuat untuk menanggulangi tindakan ilegal yang mengakibatkan kehilangan tutupan hutan,” ujar Rudi. 

Oleh sebab itu, lanjutnya tugas bersama semua pihak ke depannya yakni menahan laju deforestasi, peningkatan kegiatan pemulihan hutan, peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat penjaga hutan dan penggunaan alat pengendali kegiatan illegal dalam hutan. (dan) 

Exit mobile version