“Nah, saksi yang diperiksa kabarnya sudah ratusan orang . Namun sampai saat ini masih belum ada satupun yang ditetapkan sebagai tersangka. Ini tentu mengundang pertanyaan juga tentang kualitas penyidik yang menangani perkara,” ujar aktivis yang saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI) ini.
Jika memang proses penetapan tersangka dalam kasus ini terganjal dengan masih belum keluarnya taksiran kerugian negara oleh BPK RI, kata Fuad, seharusnya penyidik bisa secara aktif meminta hal itu kepada pihak terkait. Sebab menurutnya, walau bagaimanapun penanganan perkara oleh pihak kepolisian bersifat aktif.
“Apalagi kasus korupsi SLB ini sudah bergulir sejak setahun yang lalu. Artinya penyidik bisa saja menagih hal itu kepada BPK RI. Keaktifan ini penting. Sebab bagaimanapun masyarakat menilai keseriusan komitmen pemberantasan korupsi aparat kepolisian dari kasus-kasus semacam ini,” ungkapnya.
Mengingat kasus dugaan korupsi pengadaan sarana prasarana belajar di 50 SLB ini telah bergulir sejak lama di Polresta Padang dan masih belum ada perkembangan berarti, sebut Fuad, maka sudah seharusnya penanganan kasus ini disupervisi langsung oleh Polda Sumbar melalui Bagian Pengawasan Penyidikan (Bagwassidik).
“Bagwassidik Polda Sumbar harus mulai mempertanyakan, kenapa sudah sekian tahun tidak ada ujung pangkalnya perkara ini, jika akan dilimpahkan ke kejaksaan, ya segera limpahkan, tapi kalau memang tidak ditemukan tindak pidananya, terbitkan SP3,” tegasnya.
Mekanisme supervisi kasus serupa, lanjutnya, juga bisa diterapkan bagi sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani pihak kejaksaan. Ia menyebut, setiap kasus korupsi yang bergulir di kejaksaan, pasti diawasi oleh Asisten Pengawasan atau Aswas Kejaksaan Tinggi.