PADANG, HARIANHALUAN.ID – Mandeknya sejumlah kasus korupsi di Sumatera Barat (Sumbar) terus menjadi sorotan sejumlah pihak. Penanganan kasus korupsi yang terkesan berlarut-larut dan tidak kunjung mengalami perkembangan berarti ini, berpotensi semakin menggerus kepercayaan publik terhadap komitmen penegak hukum dalam pengusutan perkara kasus korupsi di Sumbar.
Seperti dugaan korupsi gedung kebudayaan, dugaan korupsi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sumbar dan yang teranyar dugaan korupsi pengadaan sarana prasarana di 50 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang telah ditangani Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satreskrim Polresta Padang sejak setahun yang lalu.
Aktivis sekaligus Pegiat Anti Korupsi Sumatera Barat, Samaratul Fuad. Samaratul Fuad menilai, penanganan kasus korupsi yang terkesan berlarut-larut dan tidak kunjung mengalami perkembangan berarti ini, berpotensi semakin menggerus kepercayaan publik terhadap komitmen penegak hukum dalam pengusutan perkara kasus korupsi di Sumbar.
“Jika tidak ingin hal itu terjadi, maka seperti kasus dugaan korupsi SLB, Polresta Padang harus bisa menjelaskan sedetail mungkin kepada masyarakat tentang kendala dan problem yang dihadapi dalam penanganan kasus ataupun pelimpahan tersangka,” ujarnya kepada Haluan Selasa (2/5) di Padang.
Ia menilai, lambannya penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana 50 SLB di Sumbar ini, cukup ganjil. Sebab menurutnya jumlah saksi yang diperiksa dalam perkara ini bahkan sudah sangat banyak dan terbilang fantastis.
Secara logika, kata Fuad, saksi yang dipanggil oleh penyidik untuk menjalani proses pemeriksaan pada dasarnya merupakan mereka yang diduga mengetahui duduk perkara suatu kasus. Sehingga, cukup mengherankan jika dalam kasus ini aparat kepolisian masih belum berhasil menetapkan satu orang pun sebagai tersangka.
“Nah, saksi yang diperiksa kabarnya sudah ratusan orang . Namun sampai saat ini masih belum ada satupun yang ditetapkan sebagai tersangka. Ini tentu mengundang pertanyaan juga tentang kualitas penyidik yang menangani perkara,” ujar aktivis yang saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI) ini.
Jika memang proses penetapan tersangka dalam kasus ini terganjal dengan masih belum keluarnya taksiran kerugian negara oleh BPK RI, kata Fuad, seharusnya penyidik bisa secara aktif meminta hal itu kepada pihak terkait. Sebab menurutnya, walau bagaimanapun penanganan perkara oleh pihak kepolisian bersifat aktif.
“Apalagi kasus korupsi SLB ini sudah bergulir sejak setahun yang lalu. Artinya penyidik bisa saja menagih hal itu kepada BPK RI. Keaktifan ini penting. Sebab bagaimanapun masyarakat menilai keseriusan komitmen pemberantasan korupsi aparat kepolisian dari kasus-kasus semacam ini,” ungkapnya.
Mengingat kasus dugaan korupsi pengadaan sarana prasarana belajar di 50 SLB ini telah bergulir sejak lama di Polresta Padang dan masih belum ada perkembangan berarti, sebut Fuad, maka sudah seharusnya penanganan kasus ini disupervisi langsung oleh Polda Sumbar melalui Bagian Pengawasan Penyidikan (Bagwassidik).
“Bagwassidik Polda Sumbar harus mulai mempertanyakan, kenapa sudah sekian tahun tidak ada ujung pangkalnya perkara ini, jika akan dilimpahkan ke kejaksaan, ya segera limpahkan, tapi kalau memang tidak ditemukan tindak pidananya, terbitkan SP3,” tegasnya.
Mekanisme supervisi kasus serupa, lanjutnya, juga bisa diterapkan bagi sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani pihak kejaksaan. Ia menyebut, setiap kasus korupsi yang bergulir di kejaksaan, pasti diawasi oleh Asisten Pengawasan atau Aswas Kejaksaan Tinggi.
“Jadi, jika memang ada kasus korupsi yang bergulir di kejaksaan dan sampai saat ini masih belum ada ujung pangkalnya, penanganan kasus itu bisa dipertanyakan kepada Aswas Kejati sebagai pihak yang mengawasi kinerja para jaksa,” pungkasnya kemudian.
Fenomena Gunung Es
Di sisi lain, pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol (IB) Padang, Muhammad Kosim, melihat, terjadinya berbagai bentuk tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di dunia pendidikan Indonesia dan di Sumbar hari ini, sebenarnya merupakan hal yang sudah jamak diketahui dan telah menjadi semacam rahasia umum.
“Kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana belajar di 50 SLB di Sumbar itu sebenarnya hanyalah bagian kecil dari fenomena gunung es saja. Sebab harus kita akui bahwasanya segala bentuk KKN itu sudah terjadi sejak lama di sekolah, madrasah negeri dan swasta sampai hari ini,” ujarnya kepada Haluan Selasa (2/5).
Kosim menuturkan, di sekolah maupun madrasah negeri, potensi korupsi kerap terjadi pada mata anggaran yang berasal dari APBN maupun APBD. Sedangkan di sekolah atau madrasah swasta, kata dia, anggaran yang paling rawan untuk dikorupsi adalah dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS.
Kendati sebenarnya fenomena tersebut sangat banyak terjadi, namun menurut Kosim kasus-kasus semacam itu cenderung sulit untuk diangkat ke permukaan. Sebab menurut dia, kebanyakan orang yang mengetahuinya cenderung memilih untuk tidak bersuara ketimbang melaporkannya kepada aparat penegak hukum lantaran takut terkena delik pencemaran nama baik
“Fenomena KKN di institusi pendidikan ini sebenarnya kasusnya sangatlah banyak, tapi orang banyak yang tidak bersuara saja. Karena bagaimanapun suatu laporan korupsi ini tentu butuh bukti, dan saksi. Nah, jika tidak ada bukti kan bisa saja si pelapor ini kemudian terkena delik pencemaran nama baik. Lalu siapa yang berani menanggung risiko seperti itu?” ucapnya
Tidak hanya tindak pidana korupsi, Kosim menyebut, aksi-aksi kolusi, nepotisme dan sogok menyogok, sebetulnya juga terjadi dalam proses pencairan insentif sertifikasi guru, pengangkatan guru honorer, serta pengangkatan kepala sekolah negeri.
Mirisnya, fenomena-fenomena koruptif semacam itu tidak hanya terjadi di Sumbar saja, melainkan juga terjadi di banyak daerah lainnya di Indonesia serta sudah terlanjur dianggap sebagai hal yang biasa saja.
“Nah, jadi jika bicara korupsi di dunia pendidikan kita pada hari ini, itu sebetulnya sangat luar biasa banyak, silahkan saja di investigasi, kalau masih tidak percaya jika ada kepala sekolah yang baru diangkat, tanya saja berapa uang setoran yang mereka setorkan berkala. Begitupun dalam proses pencairan sertifikasi guru, tanya saja kepada mereka, apakah mereka menerima penuh atau ada uang ucapan terima kasih,” kata Kosim menerangkan
Berangkat dari kenyataan bahwa perilaku koruptif yang terjadi di institusi pendidikan hari ini sudah sedemikian menggurita dan mengkhawatirkannya, menurut Kosim, sangat diperlukan adanya suatu instrumen ataupun sistem mekanisme pengawasan dan pencegahan tindakan koruptif di seluruh institusi pendidikan.
Dikatakannya, instrumen tersebut bisa saja berbentuk pembentukan Satuan Tugas (Satgas) atau bahkan penyediaan sistem pelaporan Whistle Blower yang menjamin kerahasiaan identitas pelapor. Sebab menurut dia, tumbuh suburnya segala bentuk tindakan korupsi, juga tidak terlepas dari adanya pembiaran yang disebabkan minimnya kesadaran masyarakat untuk melapor.
“Namun langkah-langkah semacam itu tentu juga harus diikuti oleh komitmen yang kuat dari semua pihak untuk mewujudkan terbebasnya dunia pendidikan kita dari aksi-aksi koruptif. Terutama dari aparat penegak hukum itu sendiri,” ungkapnya.
Langkah-langkah pembenahan sistem semacam itu, menurut Kosim, juga akan lebih efektif dan konkret dibandingkan dengan hanya menggelorakan semangat anti korupsi dalam bentuk simbolik seperti misalnya pemasangan pin bertuliskan ‘Saya Anti Sogok’ di seragam Aparatur Sipil Negara (ASN) saja.
“Jadi, tidak cukup hanya dengan pemasangan pin anti sogok saja, hari ini kita butuh semacam gerakan bersama anti korupsi di dunia pendidikan. Harus ada misalnya pembinaan guru yang menyelipkan materi anti korupsi yang perlu terus digaungkan. Apalagi saat ini juga sudah ada yang namanya Zona Integritas (ZI). Saya kita itu penting untuk diterapkan dan dikawal pelaksanaanya di sekolah,” tuturnya.
Masih Menggantung
Sementara itu, penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan sarana prasarana belajar 50 SLB yang tersebar di sejumlah Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat, hingga saat ini masih menggantung dan belum menunjukkan perkembangan berarti meski telah bertahun-tahun ditangani Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Padang.
Kasat Reskrim Polresta Padang, Kompol Dedy Ardiansyah Putra, menyebut, hingga saat ini pihaknya masih berupaya melengkapi alat bukti, sembari menanti hasil audit kerugian negara yang masih tengah dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
“Penyelidikan terus berlanjut. Namun penetapan tersangka belum bisa dilakukan lantaran hasil audit kerugian negara masih belum kami terima dari BPK RI,” ujarnya kepada Haluan Selasa (2/5).
Dedy menyebut, dalam perjalanan kasus tersebut, pihaknya telah memeriksa puluhan orang saksi yang diduga mengetahui duduk perkara kasus tersebut. Namun sayangnya, akselerasi penyidikan belum bisa dilakukan lantaran masih belum keluarnya hasil taksiran kerugian Negara.
“Sampai saat ini kami masih menunggu audit kerugian negara dari BPK. Jika hasil audit sudah diterima, akselerasi penanganan kasus baru bisa dilakukan. Termasuk penetapan tersangka,” jelasnya.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana belajar yang terjadi di 50 lebih Sekolah Luar Biasa (SLB) itu, diketahui telah bergulir di Polresta Padang sejak awal tahun 2022 lalu.
Kasus korupsi yang sempat menggegerkan dunia pendidikan Sumbar lantaran banyaknya SLB yang menjadi objek bancakan tersebut, berawal dari ditemukannya indikasi penggelembungan dana proyek pengadaan 150 item sarana dan prasarana belajar senilai Rp4,5 miliar di sejumlah SLB yang tersebar di beberapa daerah di Sumbar.
Proyek pengadaan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2019 itu, diduga bermasalah karena ditemukan adanya barang yang tidak sesuai dengan kontrak, spesifikasi, serta terindikasi kuat telah digelembungkan sehingga menimbulkan potensi kerugian negara.
Penyelidikan diketahui telah dimulai Polresta Padang usai mendapatkan laporan dari masyarakat sejak awal tahun 2022 lalu hingga akhirnya status penanganan dinaikkan ke tingkat penyidikan pada tanggal 15 Juli 2022 silam.
Dalam perjalanannya, aparat kepolisian diketahui telah melakukan pemeriksaan terhadap puluhan orang kepala SLB, ASN Dinas Pendidikan Sumbar, hingga rekanan pemegang proyek.
Kendati demikian, sampai saat ini belum ada satupun nama ditetapkan sebagai tersangka lantaran masih belum keluarnya hasil audit nilai taksiran kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus ini dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
“Untuk kasus korupsi SLB, Kita masih menunggu perhitungan kerugian negara yang masih belum turun dari BPK RI. Penetapan tersangka menunggu perkembangan hasil penyelidikan,” ujar Kasat Reskrim Polresta Padang, Kompol Dedy Ardiansyah Putra kepada Haluan saat dikonfirmasi mengenai perkembangan kasus ini pada pertengahan Januari 2023 lalu. (fzi)