PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pengamat Sosial Universitas Negeri Padang (UNP), Erianjoni, menilai 7 ribuan lebih masyarakat Sumbar yang sedang rawat jalan mengalami gangguan kejiwaan disebabkan karena tekanan hidup. Tekanan hidup ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi karena selama pandemi Covid-19 banyak usaha kecil yang tumbang, jumlahnya mencapai ratusan hingga ribuan yang gulung tikar.
“Kita melihat saat ini dari data RSJ HB Saanin itu penyebab orang mengalami gangguan jiwa karena tekanan hidup,” ujarnya kepada Haluan, Rabu (10/5) di Padang.
Erianjoni mengatakan, faktor pandemi yang melahirkan penurunan usaha yang menjadi gulung tikar, sehingga orang tersebut stres dan mengalami tekanan hidup. Menurutnya, dari variabel ekonomi itulah yang mendeterminasi terjadinya masalah keluarga, masalah usaha, penghargaan oleh masyarakat, kehilangan pekerjaan, hingga PHK. “Inilah yang memicu peningkatan gangguan kejiwaan di Sumbar. Variabel ekonomi yang paling berperan dalam kasus ini,” katanya.
Tidak hanya itu, kata Erianjoni, masyarakat sudah mulai individualis yang tidak lagi memikirkan, tidak lagi memberikan dampingan, dan dukungan serta nasihat kepada sesamanya. Kemudian di sisi ini para pelaku gangguan jiwa juga individualis tidak mau curhat dengan keluarga, teman, tetangga dan masyarakat sekitarnya.
“Kita tidak mau berhubungan dan orang lain juga tidak mau peduli. Jadi, ada faktor-faktor lemahnya dukungan sosial atau solidaritas sosial dari berubahnya keluarga kita dari keluarga inti, ataupun keluarga luas maupun kaum. Ini yang paling mendasar, akibatnya kita terjadi masalah orang menyelesaikan masalahnya tersebut dengan sendiri-sendiri,” katanya.
Lebih jauh Erianjoni mengatakan, muaranya ekonomi dari Covid-19, banyak orang yang pulang dari rantau tertekan yang akhirnya mengalami gangguan kejiwaan. Kemudian ditinggal pasangan, karena orang zaman sekarang gaya hidupnya materialisme, hidup yang matre menyebabkan orang seperti tersebut.
Konsep, ‘ada uang abang sayang, tidak ada uang abang ditendang’, ini terjadi akibat tekanan hidup bermuara dari faktor ekonomi dan lemahnya dukungan sosial.
“Maka jika ada tekanan hidup orang menjadi rentan dan tidak kuat, yang akhirnya mengalami gangguan kejiwaan. Sementara tuntutan dan kompetensi hidup semakin tinggi, sehingga orang yang gagal dalam percepatan tersebut yang tersingkir,” ujarnya.
Erianjoni menambahkan, keluarga dan pemerintah harus memberikan dukungan. Pemerintah harus mengadvokasi orang yang mengalami sakit jiwa tersebut dengan memberikan perlindungan, jaminan kesehatan, dan memberikan bantuan-bantuan, serta jangan dibiarkan nanti jumlahnya meningkat.
“Dinas Sosial (Dinsos) agar lebih proaktif mendata, dan mendatangi keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan. Mungkin gangguan belum berat masih bisa diselamatkan. Bagi sudah berat itu sulit, sehingga perlu semacam kolaborasi antara keluarga dan pemerintah nagari, desa, kelurahan dengan pemerintah. Jangan hanya dibebankan kepada keluarga saja, dan harus ada dukungan dari non keluarga seperti pemerintah,” ucapnya. (fdi)