Polda Sumbar kembali Berlakukan Sistem Tilang Manual

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Sumbar memastikan akan kembali memberlakukan sistem tilang manual non elektronik bagi sejumlah pelanggaran kasat mata fatal yang berpotensi membahayakan diri pengendara dan orang lain. Pemberlakuan sistem tilang manual itu diharapkan kembali mengembalikan citra baik kepolisian yaitu dengan berani menolak ‘uang damai’ dari masyarakat.

Pemberlakukan sistem tilang non elektronik tersebut dilakukan sesuai dengan Petunjuk dan Arahan (Jukrah) Kakorlantas Mabes Polri bernomor ST/830/IV/HUK 6.2/2023. “Telegram tersebut menyatakan bahwa setiap pelanggaran lalu lintas yang berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas dengan fatal, dapat ditindak dengan Penindakan Pelanggaran (Dakgar) Non Elektronik,” ujar  Dirlantas Polda Sumbar, Kombes Pol Hilman Widjaya, kepada Haluan Kamis (18/5).

Kombes Hilman menjelaskan, terdapat 12 kategori pelanggaran lalu lintas kasat mata  yang dapat ditindak secara langsung  oleh jajaran Polisi Lalu Lintas (Polantas) di lapangan secara manual. 

Dijelaskannya, pelanggaran tersebut diantaranya adalah pengendara di bawah umur, berboncengan lebih dari satu orang, menggunakan ponsel saat berkendara, menerobos lampu merah, tidak menggunakan helm serta melawan arus. 

“Lalu berkendara melebihi batas kecepatan, di bawah pengaruh alkohol, kendaraan bermotor yang tidak sesuai peruntukan atau spek teknis kendaraan, tidak memasang plat nomor hingga kendaraan angkutan Over Dimension  Over Loading atau ODOL, juga bisa ditilang secara manual, ” jelasnya. 

Ia menegaskan, kategori pelanggaran tersebut, bisa langsung ditindak oleh jajaran Polantas yang berada di lapangan. Pemberlakuan tilang manual dilakukan bagi setiap pelanggaran fatal yang berpotensi  membahayakan nyawa pengendara maupun orang lain.  “Pada dasarnya bertujuan untuk menekan angka pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas,” tutupnya. 

Diketahui, sebelumnya, Kakorlantas Mabes Polri sempat melarang jajaran kepolisian melakukan penilangan secara manual bagi pengendara. Larangan tersebut tercantum dalam Surat Telegram bernomor ST/2264/X/HUM.3.4.5./2022 yang ditandatangani langsung oleh Kakorlantas Mabes  Polri Irjen Firman Shantyabudi atas nama Kapolri pada tanggal 18 Oktober 2022 lalu. 

Instruksi tersebut merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo kepada jajaran Polri pada 14 Oktober 2022 lalu menyusul terjadinya rentetan  peristiwa yang memicu terjadinya penurunan citra Polri di mata publik. 

Ketika itu, jajaran Polantas diminta untuk mengedepankan atau memaksimalkan penindakan melalui tilang elektronik atau ETLE baik statis maupun mobile. Sehingga tidak lagi menggunakan tilang manual yang kerap disalahgunakan para oknum polisi nakal. 

Sementara sebagai gantinya, Korlantas Mabes Polri mengklaim telah menyiapkan serta memasang ribuan kamera ETLE statis di seluruh Indonesia. Namun dalam perkembangannya, peniadaan tilang manual malah meningkatkan angka pelanggaran lalu lintas oleh masyarakat.

Penyelarasan Penegakkan Hukum

Dihubungi terpisah, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Negeri Padang (UNP) Eka Vidya, memandang pemberlakuan kembali sistem tilang manual oleh pihak kepolisian harus menjadi momentum untuk menyelaraskan  kembali penegakan hukum lalu lintas secara  formal dan  informal.

Sebab menurut Eka, bagi rata-rata  masyarakat Indonesia saat ini, sistem tilang manual yang dilakukan oleh Polantas di lapangan, sudah terlanjur dianggap bisa diselesaikan  dengan cara kekeluargaan atau pemberian uang damai. 

“Padahal tidak semua polisi yang meminta uang saat melakukan penilangan. Namun, kebiasaan  masyarakat kita sudah terlanjur seperti itu, entah maksudnya sebagai ungkapan terima kasih atau tujuan lainnya,” ujar Eka Vidya kepada Haluan Kamis (18/5).

Eka menilai, kebiasaan masyarakat yang terkena tilang manual memberikan uang damai kepada polisi, mengindikasikan bahwa penegakan hukum pelanggaran lalu lintas masih belum selaras secara formal dan informal.  “Hukum formal artinya sesuai prosedur, sementara hukum informal adalah  kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Nah, regulasi  baru bisa benar-benar tegak jika hukum formal dan informalnya selaras,” ucapnya.

Agar hukum penegakan lalu lintas benar-benar bisa berjalan dengan baik serta tidak memberikan ruang bagi perilaku korup yang bisa menjatuhkan citra Polri di tengah masyarakat, kata Eka, setiap anggota Polri harus berani menolak segala bentuk pemberian uang dari masyarakat.

“Masyarakat  harusnya juga seperti itu, tidak lagi membiasakan memberi uang kepada polisi. Sebab bagaimanapun, kebiasaan itu harus mulai dihilangkan agar tidak menjadi budaya yang bukan lagi dianggap sebagai suatu penyimpangan,” tegas Eka.

Eka bahkan menyebut, pemberian uang damai atau suap, sejatinya  merupakan  penyakit yang telah terlanjur menjadi budaya yang  menjangkiti masyarakat, pejabat atau bahkan aparat penegak hukum di negeri ini.  “Untuk itu, jika tilang manual ini berkaitan  dengan citra, sudah seharusnya para  polisi mulai menolak uang damai, begitupun masyarakatnya. Penyimpangan ini harus mulai diubah dan dihilangkan agar tidak terus menerus menjadi budaya,” tutupnya.

Perlu Penyempurnaan

Sementara itu, Ketua Pusat Transportasi LPPM Unand, Yosritzal, PhD menilai, pihak kepolisian masih tetap harus mempertahankan mekanisme tilang manual sembari terus berupaya menyempurnakan  sistem tilang secara elektronik. 

“Kedua sistem tilang tetap harus dilakukan secara bersamaan untuk menekan angka pelanggaran lalu lintas. Namun sistem tilang elektronik serta perangkatnya  juga perlu terus disempurnakan,”  ujarnya kepada Haluan Kamis (18/5).

Yosritzal menyebut, perangkat kamera tilang elektronik statis  yang digunakan aparat kepolisian saat ini, kualitasnya masih terbilang belum optimal. Akibatnya nomor plat kendaraan pelanggar masih sering tidak terbaca. 

Begitupun dengan sistem tilang ETLE  Handheld yang notabene hanya mengandalkan kamera ponsel serta membuat Polantas harus selalu bergerak secara  mobile dan membuat biaya operasional menjadi lebih  tinggi. 

“Kalau tilang manual dampak dan efek jeranya bagi pelanggar lebih terasa. Sebab STNK atau kendaraan langsung ditahan. Sementara kalau tilang elektronik bahkan kadang kala pelanggar tidak sadar bahwa ia telah melakukan pelanggaran,” jelas Yos. 

Agar sistem tilang elektronik lebih sempurna serta  bisa memberikan efek jera bagi pelanggar, kata Yos, kamera tilang yang digunakan perlu dilengkapi dengan sensor pembaca  pelanggaran secara otomatis. 

“Namun sebenarnya yang paling penting itu adalah pencegahan pelanggarannya.  Jangan sampai kita membuat peluang terjadinya pelanggaran lalu ditindak. Itu yang tidak boleh,” ucapnya. 

Yos menerangkan, aturan lalu lintas yang ada saat ini, masih memiliki banyak celah dan kekurangan, baik dari segi rambu-rambu lalu lintas atau bahkan segi kejelasan aturan.  Ia mencontohkan, pada  UU lalu lintas  No 14 tahun 1992 yang lama, dijelaskan bahwa ‘Pengendara yang Hendak Belok Kiri di Suatu Persimpangan, Boleh Langsung dan Tidak Harus Berhenti’. 

Sementara pada UU Nomor 22 tahun 2009, disebutkan bahwa ‘Pengendara yang Hendak Belok Kiri Boleh Lanjut Jika Diizinkan serta Terdapat  Rambu-Rambu yang  Bertuliskan Belok Kiri Jalan Terus’. 

“Nah, pertanyaannya, apakah sudah semua persimpangan ada saat ini telah dilengkapi dengan tanda itu? Saya rasa belum semuanya, jadi ini perlu dibenahi,” kata Yos. 

Belum dilengkapinya semua persimpangan dengan rambu lalu lintas semacam itu, sambung Yos, juga ditambah dengan kenyataan bahwa upaya sosialisasi UU Nomor 22 tahun 2009 sampai saat ini pun masih belum dilakukan dengan maksimal. 

“Selain kurang sosialisasi,  UU Nomor 12 tahun 2009 sampai saat ini petunjuk turunannya juga belum ada. Kemudian UU ini juga belum mengakomodir perkembangan zaman, seperti pesatnya pertumbuhan ojek online,” terang Yos. 

Ia juga menegaskan, UU tentang angkutan dan jalan yang berlaku saat ini itu pun, sudah semestinya direvisi meski rencana perubahannya sudah ada sejak tahun 2015 silam “Tahun 2015, saya sempat terlibat dalam penyusunan naskah akademiknya. Namun, sampai saat ini  Undang-Undang baru yang juga mengakomodir transportasi online itu pun juga masih belum ada. Padahal undang-undang itu sudah lama dan waktunya direvisi,” tutup Yosritzal.(fzi)

Exit mobile version