Refleksi : Bahasa Energi Nusa dan Bangsa

Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Pangulu, M.Pd. Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bung Hatta/Ketum LKAAM Sumbar. (IST)

Pada 93 Tahun yang lalu, terjadi sebuah peristiwa yang bersejarah, yaitu Sumpah Pemuda (SP), tepatnya pada 28 Oktober 1928. Sekarang, masa sudah berganti, tahun sudah bertukar, tiba pula pada 28 Oktober 2021, maka ganjillah bilangan umur SP selama 93 tahun.

Setiap tahun diperingati oleh semua anak bangsa Indonesia dengan selalu membaca teks SP oleh anak bangsa yang dianggap cakap dan mampu membacanya dengan baik dengan vokal yang lantang, serta dengan tata mimik suara yang menyenangkan. Yang dibaca sebanyak tiga butir untaian bahasa yang bertenaga menyatukan nusa, bangsa, dan bahasa.

Tiga untaian SP yang salah satunya adalah bahasa yang punya energi. Lengkapnya berbunyi: ”Sumpah Pemuda”: (1) Kami Putra Putri Indonesia Mengaku Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia; (2) Kami putra putri Indonesia Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air Indonesia; (3) Kami Putra Putri Indonesia Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

Sesungguhnya, ketiga butir SP itu pada dasarnya mempunyai energi membangun nusa, bangsa, dan bahasa. Nusa diartikan sebagai tanah dan air Indonesia, bangsa diartikan warga Negara Indonesia, sedangkan bahasa adalah bahasa nasional Negara yaitu bahasa Indonesia.

Di antara yang tiga butir SP itu, dua di antaranya kalau dicuri atau diganggu orang, mungkin akan terjadi perlawanan bahkan sampai berperang. Nusa yang di dalamnya tanah dan air bisa diperebutkan. Seperti tanah Indonesia yang mempunyai deposit akan selalu diganggu atau diperebutkan orang, seperti tanah freeport di Papua. Kalau tidak kuat bangsa Indonesia menjaga dan membelanya pastilah akan diambil orang asing karena mengandung petro dolar emas dan berlian yang harganya selangit.

Begitu juga bangsa sebagai  warga Negara Indonesia kalau ada yang dicuri atau diculik tentu pihak keamanan akan mencari dan membelanya. Namun, lain halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mempunyai energi tersendiri karena bahasa semakin dipakai dan diperbutkan orang untuk memakainya, maka semakin menimbulkan energy. Ibarat pibahasa nenek moyang bangsa Indonesia, “bahasa dipakai baru, nusa dan bangsa dipakai habis”.

Jika energi diartikan suatu tenaga, penggerak, dan pengikat, maka energi bahasa sudah terbukti mampu mengikat nusa dan bangsa bahkan termasuk bangsa di dunia mampu diikatnya. Wajar nanti suatu saat bahasa Indonesia akan semakin berenergi bila menjadi bahasa pengantar di Asia Tenggara yang jumlah anggotanya sebanyak 10 negara.

Bayangkan lagi jika orang Sumatra pergi ke Papua tidak dapat secara langsung memakai tanah orang Papua. Tanah orang Papua baru boleh dipakai atau dimanfaatkan oleh orang Sumatra bila sudah melalui prosedur secara hukum. Orang Sumatra harus membawa energi untuk mendapatkan tanah orang Papua, dibeli atau disewa. Begitu juga orang Jawa kalau mau memakai tenaga orang Papua atau sebaliknya, maka orang Papua dan orang Jawa harus saling mengeluarkan energi terlabih dahulu.

Tetapi bahasa sebaliknya, bahasa mempunyai energi untuk membangun nusa dan bangsa. Jika orang Sumatra pergi ke Papua tidak perlu menghabiskan energi lain untuk berkomunikasi, sebab energi bahasa Indonesia sudah tersedia baik di Sumatra atau di Papua.

Bertemu dan beriteraksi orang Sumatra dan orang Papua, sudah sama-sama tersedia energi masing-masing daerah yang tersimpan dalam bahasa. Bahasa berada dalam diri kedua anak bangsa Sumatra dan Papua. Luar biasa energi bahasa untuk mengikat persaudaraan antara anak bangsa. Waktu orang Sumatra dan orang Papua memakai bahasa Indonesia, sangat terasa energi persaudaraan antar anak bangsa yang mampu berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain.

Persaudaraan akan terasa apabila dapat menggunakan bahasa yang sama walaupun berbeda suku bangsa. Dalam ungkapan budaya Minangkabau ada pendapat yang mengatakan, “urang badunsanak akan taraso bilo sabahaso jo saraso”(Bhs Minang) atau ‘orang bersaudara akan terasa bila sebahasa dan serasa’ (Bhs Indonesia)

Artinya, bahasa terbukti mempunyai energi mengikat persaudaraan antar bangsa. Bayangkan jika orang Sumatra bersikeras memakai bahasa daerah Sumatra, sebaliknya orang Papua bertahan pula memakai bahasa daerahnya, maka energi bahasa Indonesia kurang terasa nikmatnya.

Walaupun bahasa sudah dipastikan mempunyai energi membangun nusa dan bangsa, namun masih ada anak bangsa sebagian yang leceh dengan bahasa Indonesia. Leceh itu dapat kita lihat di raung-ruang publik, masih ada anak bangsa Indonesia penggunaan  bahasanya yang tidak baik dan tidak benar.

Bahkan pengguna bahasa ada yang tidak paham menggunakan bahasa Indonesia standar, salah menggunakan ejaan, keliru memakai kaidah bahasa, asalan memakai tata bahasa Indonesia. Padahal di ruang-ruang publik, bahasa yang tampil di muka umum akan dibaca masyarakat umum.

Jika kaidah bahasanya salah, ejaan bahasanya salah, tata bahasanya salah, tampil pula di tengah public, maka secara tidak langsung telah melakukan pembodohan dan pembiaran. Jika terjadi perbuatan pembodohan dan pembiyaran terhadap penggunaan bahasa siapakah yang bertanggung jawab meluruskannya.

Padahal Undang-Undang Bahasa mulai dari UUD 1945 pasal 36, bahwa: “Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia”. Begitu juga Undang-Undang Nomor 29 tahun 2009 tentang Bahasa Negara, Lambang Negara, dan Lagu Negara, telah diatur semuanya di situ.

Walaupun ada yang aneh juga dalam undang-undang tersebut. Anehnya terlihat, jika lagu negara dipelesetkan bisa didenda dan dipidana. Jika lambang negara dihina dapat didenda dan dipenjara. Tetapi kalau bahasa Indonesia ejaan bahasa Indonesia dilecehkan orang, kaidah bahasa Indonesia dicemari orang, tata bahasa Indonesia diinjak orang, tidak didenda tidak ada dipidana.

Namun, lembaga Pembina Bahasa yang resmi boleh menegur dan meluruskan. Kalau sekadar menegur dan meluruskan pemakai bahasa Indonesia tidak akan cemas dan takut apalagi tidak ada denda dan pidananya.

Sudah saatnya dosen dan guru bahasa Indonesia atau program studi bahasa Indonesia atau balai bahasa Indonesia, angkat suara mengusulkan ke pemerintah pusat agar hukuman terhadap pelanggar bahasa Indonesia dapat didenda dan dipidana pula serperti lagu dan lambang negara yang dilecehkan.

Dirgahayu 93 tahun sumpah pemuda. Pemuda bangkit Indonesia maju. Bahasa Indonesia mengikat Indonesia kuat.Insya Allah !!!

*Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Pangulu, M.Pd. Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bung Hatta/Ketum LKAAM Sumbar.

Exit mobile version