Pilar Konservasi di Sumbar, Perhutanan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat

Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozarwardi

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) terus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelestarian serta pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat melalui program perhutanan sosial. Hal itu merupakan suatu keharusan mengingat 2.286.883 hektare atau 54,43 persen dari total luas wilayah administratif Sumbar, termasuk ke dalam kawasan hutan.
Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozarwardi, menyebut, Pemprov Sumbar telah mengalokasikan 500 ribu hektare luas lahan perhutanan sosial yang hasilnya dapat diakses, dikelola serta dimanfaatkan, oleh masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan.
“Target luasan 500 ribu hektare perhutanan sosial itu, sebanding dengan satu per tiga dari total luas hutan yang dikelola Pemprov Sumbar. Dibandingkan provinsi lain, perhutanan sosial Sumbar adalah yang terluas. Artinya, ini adalah bagian dari keberpihakan pemerintah kepada masyarakat,” ujarnya kepada Haluan Jumat (9/6).
Yozawardi meyakini, perhutanan sosial merupakan alternatif menjaga kelestarian hutan sembari meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Hal itu tidak terlepas dari kenyataan bahwa dari total 1.159 nagari dan desa yang ada di Sumbar, 950 nagari atau 81,97 persen diantaranya berada di dalam atau sekitar kawasan hutan.
Data yang menunjukkan betapa tingginya ketergantungan hidup mayoritas masyarakat Sumbar terhadap hutan itu, kata Yozawardi, merupakan alasan utama kenapa Sumbar mesti melaksanakan skema perhutanan sosial yang benar, serta sesuai dengan prinsip pelestarian dan keberlanjutan pengelolaan hutan.
Ia menyampaikan, dari total 500 ribu hektare target alokasi, capaian luas perhutanan sosial Sumbar saat ini telah mencapai angka 287.553,78 hektare. Hak pengelolaan lima skema perhutanan sosial yang terdiri dari, Hutan Nagari, Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan (KK) serta Hutan Adat (HA) diberikan kepada 205 unit Kelompok Tani Hutan (KTH) atau Kelompok Perhutanan Sosial (KPS). “Total yang telah difasilitasi atau diberdayakan dengan adanya perhutanan sosial berjumlah 175.892 Kepala Keluarga (KK). Jumlah ini setara dengan 15 persen dari total jumlah penduduk Sumatera Barat. Perhitungan ini baru diasumsikan jika satu keluarga memiliki 4 orang anggota keluarga,” ucapnya.
Langkah fasilitasi pemanfaatan hasil hutan dalam skema perhutanan sosial itu pun, lanjut Yozawardi, juga diikuti dengan langkah pengembangan usaha, pemberdayaan ekonomi masyarakat hingga dukungan pengembangan potensi wisata alam yang ada di dalam atau sekitar hutan seperti air terjun, danau maupun sebagainya.
Yozawardi menyampaikan, sejak beberapa tahun belakangan, Dinas Kehutanan Sumbar setiap tahunnya memberikan bantuan pengadaan 3.000 cop stud lebah madu galo-galo bagi kelompok petani hutan pembudidaya madu yang ada di sekitar hutan perhutanan sosial Sumbar. “Kita juga meningkatkan sarana prasarana ekowisata. Seperti yang pernah kita lakukan melalui pengadaan glamping di kawasan Kopi Solok Radjo. Taram dan 31 destinasi ekowisata yang ada di kawasan perhutanan sosial Sumbar lainnya,” jelasnya.
Peningkatan sarana prasarana ekowisata yang telah dilakukan Dinas Kehutanan Sumbar pun, kata Yozawardi, juga telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hasil itu mulai terlihat pada musim libur lebaran Idulfitri 1444 H kemarin. Dimana ketika itu, khusus objek ekowisata yang telah difasilitasi Dinas Kehutanan, telah dikunjungi oleh 86.180 orang lebih wisatawan selama 11 hari musim libur lebaran. Perputaran uang dari retribusi karcis dan parkir di seluruh destinasi wisata itu pun, menurutnya mencapai angka 979 juta. Atau hampir satu miliar.
“Jadi, dampak pemanfaatan hutan dengan memperhatikan kelestarian hutan ini sangatlah luar biasa. Itu baru dari sisi ekowisata saja, belum lagi dari segi pendampingan budidaya lebah madu galo-galo yang saat ini sudah bisa memproduksi 1,5 ton per bulan,” pungkasnya.
Apresiasi WALHI
Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumbar, mengapresiasi keseriusan Pemprov Sumbar dalam menjalankan dan mengelola skema perhutanan sosial yang diyakini adalah langkah strategis untuk menjaga kelestarian alam sekaligus menggerakkan perekonomian masyarakat tempatan sekitar hutan.
Kendati demikian, WALHI meminta agar Pemprov Sumbar memastikan tiga hal dalam pengelolaan skema perhutanan sosial. Ketiga hal tersebut diantaranya adalah hilirisasi industri hasil panen, pemasaran, serta peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) anggota Kelompok Tani Hutan (KTH).
“Ketiga hal ini penting untuk dipastikan oleh Pemprov Sumbar, agar kemudian upaya untuk menjaga kelestarian hutan dan menciptakan kemandirian ekonomi masyarakat tempatan sekitar hutan sebagai goals skema perhutanan sosial bisa tercapai,” ujar Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan Hidup WALHI Sumbar, Tomi Adam, kepada Haluan Kamis (9/6).
Tomi mengungkapkan, sejak beberapa tahun belakangan, Pemprov Sumbar memang telah melibatkan banyak stakeholder dan jaringan NGO termasuk WALHI dalam mendorong progress Penyelenggaraan skema perhutanan sosial di Sumbar. Beberapa proyek skema perhutanan sosial yang didampingi WALHI Sumbar di sejumlah wilayah, kata Tomi, bahkan menunjukkan hasil yang positif dan terbukti mampu meningkatkan perekonomian masyarakat serta menjamin kelestarian hutan seperti halnya yang telah berhasil dilakukan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) di Nagari Kapujan, Koto Marapak, Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan.
“Di sana (Nagari Kapujan, red) kami telah mengembangkan produk sirup dari buah pala yang hasilnya didapat dari wilayah kelola perhutanan sosial. Dengan sinergi dengan Dinas Kehutanan, KLHK, dan pihak terkait lainnya, hasil panennya kini sudah dipasarkan ke Hotel Bumi Minang secara rutin,” paparnya.
Kepastian pasar tempat penyaluran hasil panen, serta hilirisasi industri hasil panen buah pala seperti yang telah bisa dinikmati oleh KTH di Nagari Kapujan itu, kata Tomi, harusnya bisa menjadi pilot project bagi Pemprov Sumbar dalam melakukan pengelolaan terhadap ratusan KTH lainnya yang telah terbentuk di sejumlah wilayah.
Sebab bagaimanapun, sambung Tomi, dengan luas wilayah kelola pada skema perhutanan sosial yang relatif luas dan bahkan bisa mencapai luasan ratusan hektar, langkah untuk memastikan harga hasil hutan bukan kayu yang akan didapat oleh KTH di kemudian hari tetap tinggi, adalah hal yang sangat krusial dan perlu dipikirkan sedari dini.
“Nah, dengan hilirisasi industri hasil panen seperti halnya produk olahan sirup buah pala ini, harga hasil hutan bukan kayu skema perhutanan sosial akan tetap tinggi. Makanya ini perlu didorong dan ditunjang oleh hilirisasi industri, dukungan teknologi serta penciptaan pasar yang permanen kedepannya,” terang Tomi.
Selain itu, ia juga berharap agar ke depannya Pemprov Sumbar bisa terus berupaya untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai bagian dari masyarakat yang menikmati langsung hasil dari skema perhutanan sosial.
“Pembinaan dan peningkatan SDM pengelola KTH ini harus terus dilakukan, terutama dalam hal penggunaan teknologi ataupun transfer ilmu pengetahuan. Dengan peningkatan SDM ini, harapannya hilirisasi industri hasil panen di wilayah kelola perhutanan sosial bisa berjalan dengan sukses,” sebutnya.
WALHI Sumbar, disampaikan Tomi, juga mendukung penuh komitmen Pemprov Sumbar dalam menjalankan skema perhutanan sosial yang selain akan berdampak secara ekonomi kemasyarakatan, juga dinilai bisa menjadi harapan baru dalam mitigasi konflik agraria yang kerap terjadi antara masyarakat dan aparatur negara.
“Skema perhutanan sosial ini sekaligus juga akan melegalkan aktivitas masyarakat mengambil hasil hutan bukan kayu pada kawasan lindung ataupun mengambil kayu di hutan produksi hasil hutan bukan kayu. Untuk itu program ini perlu terus didukung dan disinergikan Pemprov Sumbar bersama dengan pemerintah daerah, LSM maupun NGO lainnya ke depannya,” tutup Tomi.
Perda Perhutanan Sosial
Sementara itu, Juru Bicara Komisi II DPRD Sumbar yang juga Pengusul Ranperda Perhutanan Sosial, Muzli M. Nur, memaparkan, perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat. Pelaksananya, masyarakat setempat, atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.
Bicara di Sumbar, perhutanan sosial menjadi isu strategis Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Sumbar, yang merupakan bagian dari Isu produktivitas dan nilai tambah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Kebijakan ini sudah dimasukan ke dalam Dokumen Rencana Pembangunan jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2016-2021. Selanjutnya dalam RPJMD juga dinyatakan bahwa skema perhutanan sosial merupakan salah satu upaya pemerintah daerah dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup mengingat Provinsi Sumbar.
Lebih lanjut ia menyampaikan, adapun tujuan diusulkannya Ranperda tentang Perhutanan Sosial sebagai prakarsa DPRD pertama, untuk mewujudkan kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat, keseimbangan lingkungan, dan menampung dinamika sosial budaya yang memerlukan percepatan akses legal berupa persetujuan dan pengakuan, serta peningkatan kapasitas masyarakat.
Kedua, mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui pengelolaan perhutanan sosial yang lestari, sebagai sumber penghidupan dan kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya serta keseimbangan ekosistem. Selanjutnya, menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan, dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan pengelolaan perhutanan sosial. Kemudian, untuk memperkuat koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi perencanaan kebijakan, program dan kegiatan yang diprakarsai lintas pihak dalam rangka memperkuat partisipasi masyarakat serta mendorong terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender dalam pengelolaan perhutanan sosial. (h/fzi/len)

Exit mobile version