Pola Pikir Penghambat Kemajuan Pertanian Sumbar

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Sumatera Barat (Sumbar) memiliki potensi yang amat besar dalam pengembangan sektor pertanian. Hanya saja, pola pikir petani masih menjadi penghambat terbesar, sehingga sektor pertanian Sumbar hingga kini masih terkesan jalan di tempat.

Pakar Ekonomi Unand, Prof Elfindri, menyebutkan, Sumbar punya segala yang diperlukan untuk mendukung pertanian. Tak hanya lahan dan alam yang mendukung, pemerintah daerah juga mendukung lewat penganggaran di sektor pertanian. Seperti yang dilakukan Pemprov Sumbar dengan menganggarkan 10 persen dari APBD untuk sektor pertanian. Tapi tetap saja, tak ada perubahan berarti dalam pertanian Sumbar selama beberapa tahun terakhir.

“Masalah terbesarnya itu ada pada pola pikir petani kita. Tak hanya petani, melainkan juga masyarakat Sumbar secara keseluruhan. Kita tidak lagi melihat dari segi teknologi, tidak juga modal, lahan juga tidak. Yang mendominasi itu masalah psikologi, pola pikir. Ini berkaitan erat dengan inisiatif. Sekarang siapa coba yang akan berinisiatif? Wong, mahasiswa pertanian saja tidak ada yang jadi petani,” katanya kepada Haluan, beberapa waktu yang lalu.

Dengan kata lain, proses berpikir masyarakat Sumbar secara umum tidak merangsang anak-anak dan generasi muda untuk mencintai pertanian, padahal punya prospek besar yang amat menjanjikan.

Sementara, kaum petani sendiri terjebak pada ‘kenyamanan’ yang telah mendarah daging, sehingga enggan melakukan inovasi-inovasi baru. Bahkan, sekalipun dikenalkan dengan inovasi-inovasi baru demi meningkatkan produksi dan mendapat keuntungan yang lebih besar, para petani Sumbar masih lebih memilih cara-cara lama lantaran telah terbiasa.

Oleh karena itulah, generasi muda yang lebih terbuka dari segi pemikiran mestinya bisa menjadi agen perubahan. Nyatanya, sebagian besar generasi muda di Sumbar lebih memilih pontang-panting mencari pekerjaan ketimbang mengolah lahan yang mereka atau keluarga mereka miliki di kampung.

“Solusinya, harus ada kelompok masyarakat, khususnya generasi muda, yang semangatnya mesti dinyalakan terus. Biar mereka melakukan uji coba, melahirkan inovasi-inovasi baru. Dari 10 kelompok, paling tidak pasti ada satu yang berhasil. Namun di sisi lain, menciptakan entrepreneur baru di bidang pertanian itu tentu tidak mudah juga. Dari 100 orang, paling yang akan berlanjut cuma lima sampah sepuluh orang. Apalagi kalau tidak ada upaya sama sekali. Dibiarkan saja masyarakat bertani sekena hati mereka,” tuturnya.

Di lain pihak, perguruan tinggi yang semestinya bisa menjadi katarsis perubahan sektor pertanian Sumbar, dinilai justru terlalu teoritis, tanpa benar-benar memahami kondisi sebenarnya di lapangan.

Menurut Elfindri, sekalipun maju secara ilmu pengetahuan, kalau tidak bisa diterapkan di lapangan, maka semua teori dan inovasi yang diciptakan oleh perguruan tinggi tidak akan ada gunanya. “Kebanyakan seperti itu. Mahasiswanya tak tertarik, dosen-dosennya pun tidak memahami apa sebenarnya perubahan-perubahan yang harus mereka lakukan. Secara teori kaya, tapi tak ada implementasinya di lapangan. Itu yang kita sayangkan,” katanya.

Hal yang sama juga diakui oleh Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Distanhorbun) Sumbar, Febrina Tri Susila Putri. Ia juga mengakui bahwa pola pikir petani masih menjadi penghambat terbesar bagi perubahan-perubahan esensial dalam sektor pertanian Sumbar.

Ia mengambil contoh penggunaan pestisida yang berlebihan oleh petani Sumbar. Penggunaan pestisida yang berlebihan ini membuat kualitas produksi pertanian Sumbar, khususnya tanaman pangan dan hortikultura tak begitu bagus. Hal ini membuat Sumbar belum mampu menyentuh pasar ekspor untuk tanaman hortikultura. Padahal Sumbar merupakan produsen hortikultura terbesar keempat di Indonesia.

“Kalau untuk level Sumatera, Sumbar masih yang terbesar. Provinsi-provinsi di Pulau Sumatera masih sangat bergantung dengan produksi Sumbar. Bahkan, apabila harga produksi Sumbar naik, dampaknya akan langsung terjadi lonjakan inflasi di provinsi-provinsi lain di Pulau Sumatera. Meski demikian, sampai sekarang kita belum mampu menyentuh pasar ekspor. Masalahnya kadar pestisida tanaman kita kelewat tinggi,” katanya.

Hal yang menjadi tantangan terbesar dalam hal ini, menurut febrina adalah bagaimana mengubah pola pikir petani yang selama ini menggunakan pestisida secara berlebihan. Bagaimanapun, petani tidak akan mau serta-merta mengurangi penggunaan pestisida.

“Kalau diminta jangan gunakan banyak-banyak gunakan pestisida, ya mereka juga belum tentu mendengarkan. Karena selama bertahun-tahun sudah terbiasa melakukannya. Solusinya, kami mengenalkan penggunaan pestisida nabati yang lebih ramah lingkungan, sebagai substitusi pestisida kimia yang digunakan selama ini,” katanya.

Tak hanya pestisida, tapi juga termasuk penerapan pertanian organik yang lebih ramah lingkungan namun tetap menguntungkan. Dalam hal ini, pihaknya tidak hanya melakukan edukasi kepada petani. Namun juga dibuktikan lewat praktik langsung.

“Kalau cuma lewat edukasi dan teori saja tentu mereka belum akan mau percaya. Tetap harus ada praktiknya di lapangan, sehingga petani bisa melihat secara langsung hasilnya,” ujar Febrina. (h/dan)

Exit mobile version