PADANG, HARIANHALUAN.ID – Masalah netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) masih menjadi momok pada setiap gelaran pemilihan umum. Bahkan, Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu Sumatera Barat (Sumbar) mencatat dari 71 pelanggaran pada pemilihan umum sebelumnya 27 diantaranya merupakan pelanggaran netralitas oleh ASN.
Terbaru itu, diduga berpolitik praktis dan nodai netralitas ASN, DPRD Kota Padang juga memanggil beberapa orang camat dan lurah di Kota Padang. DPRD Kota Padang melihat praktik yang dilakukan oleh lurah yang memfasilitasi calon legislatif (caleg) di daerah mereka telah menyalahi aturan dan seharusnya hal tersebut tidak mereka lakukan dikarenakan mereka berstatus sebagai seorang ASN.
DPRD juga menemukan bukti bahwa lurah dan camat mendukung salah satu Caleg di pileg 2024 yang akan datang. Bukti-bukti berupa rekaman telepon, screenshot WhatsApp seperti Kelurahan Kampung Pondok mengajak warga bertamasya dengan memanfaatkan dana dari salah seorang caleg dan informasi tersebut di informasikan oleh pihak Lurah.
Ketua Bawaslu Sumbar, Alni, mengatakan, netralitas ASN menjadi salah satu dari lima isu yang menjadi perhatian Bawaslu menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Hal ini menjadi bagian dari Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tahun 2024 untuk isu tematik yang diluncurkan Bawaslu RI pada Minggu 13 Agustus 2023 lalu.
Dikatakannya, jika melihat pelanggaran pemilu yang betul-betul terjadi di pemilu dan pemilihan kepala daerah di Sumbar berkaitan dengan netralitas ASN, sebab proses pembuktian dan putusan terbukti. Berda dengan masalah pelanggaran politik uang yang memang aduan, dan laporan.
“Dalam pemilihan sebelumnya, pelanggaran netralitas ASN di Sumbar yang masuk dari kabupaten dan kota sekitar 71 pelanggaran dimana pelanggaran netralitas ASN sebanyak 27 pelanggaran yang diproses Bawaslu,” katanya.
Koordinasi Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat, Muhammad Khadafi, menjelaskan, untuk mencegah pelanggaran tersebut, Bawaslu telah membentuk kampung pengawasan. Kampung ini dibentuk sejak September 2022 dan hingga saat ini sudah ada di 20 tempat di Sumbar.
“Hingga saat ini sudah ada di 20 kelurahan nagari yang telah dibentuk. Kami harap sampai Januari 2024 nanti minimal satu kabupaten/kota ada tiga nagari atau kampung atau desa memiliki kampung pengawasan ini. Kami tentu akan kita tingkatkan kampung-kampung pengawasan ini secara massif,” ujarnya.
Khadafi juga mengatakan, Bawaslu Sumbar terus meningkatkan sosialisasi melalui program kampung pengawasan. Sosialisasi ini dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pucuk pimpinan hingga ke masyarakat secara utuh. Kemudian, kepada partai politik yang mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota hingga ranah rantingnya.
Selanjutnya, kepada pemilih keseluruhannya, seperti kelompok masyarakat, kepada kelompok pemuda, wanita, profesi seperti tani, kelompok ASN, kelompok pedagang. Pasalnya, semua itu memiliki potensi untuk melakukan hal sama.
Ditambahkan Ketua Bawaslu Kota Padang, Eris Nanda, tidak ada aturan yang menjelaskan ASN bisa berpolitik dan itu tertuang dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. “Dalam aturan itu disebutkan bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN pun diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun,” ucapnya.
Sementara itu, Sekda Kota Padang Andre Algamar berjanji akan menjaga netralitas ASN dalam pemilu 2024 yang akan datang. “Kita akan melakukan pengawasan yang ketat, serta kita akan melakukan perbaikan agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi.
Jika ada ASN Pemko Padang yang terlibat, Sekda berjanji akan menindak sesuai aturan yang berlaku. “Kita akan menindak jika terdapat ASN yang melanggar aturan. Oleh karena itu, kasus ini akan kita dalami lebih lanjut oleh internal,” tuturnya.
ASN Rawan Dimanfaatkan
Pengamat Politik dari Revolt Institute, Eka Vidya Putra, mengatakan, salah satu kerawanan pemilu yang telah diidentifikasi oleh Bawaslu yakninya netralitas ASN. Para ASN ini rawan dimanfaatkan kepala daerah yang dalam hal ini merupakan petahana untuk memobilisasi dukungan melalui program-program kerja populis yang bertujuan untuk meningkatkan popularitas mereka selaku politisi,” sebut Eka kepada Haluan baru-baru ini.
Eka menuturkan, dalam hal netralitas ASN ini, sebetulnya para juga ASN berada dalam situasi yang serba dilematis. Di satu sisi mereka dituntut untuk patuh kepada atasan dan wajib untuk menunaikan segala program kerja mereka yang juga merupakan pengejawantahan program unggulan atau visi misi kepala daerah. Namun di sisi lain program kerja yang mereka lakukan juga berpotensi dipolitisir untuk meraup elektabilitas bagi si kepala daerah.
“Apalagi saat ini kultur budaya kerja ASN kita saat ini masih berwatak feodalis. Dimana kata-kata atasan tidak bisa dibantah sebab hal itu menyangkut dengan keberlangsungan karir mereka di masa depan. Apalagi sejauh ini pembuktian pelanggaran netralitas ASN dalam pemilu ini juga sulit dibuktikan dan cenderung masih mengandalkan pelaporan pelanggaran semata,” terangnya.
Eka juga menambahkan, semestinya tidak sulit bagi publik untuk melihat adanya upaya mobilisasi dukungan dan elektabilitas kepala daerah jelang Pilkada lewat kebijakan atau program-program kerja yang dilakukan oleh para kepala daerah di semua tingkatan di Sumbar akhir-akhir ini. Menurutnya contoh sederhananya saja bisa dilihat melalui spanduk-spanduk atau baliho imbauan layanan masyarakat yang terpajang di sejumlah ruas jalan di Sumbar belakangan ini.
“Kadang lebih besar foto wajah si kepala daerah dibandingkan dengan isi pesan layanan masyarakat yang akan disampaikan oleh OPD terkait. Ini contoh sederhana saja. Contoh lainnya tentu juga bisa dilihat jelas oleh masyarakat pemilih dalam program pemerintah lainnya,” kata Eka
Senada dengan itu, pengamat politik dari Universitas Andalas (UNAND), Asrinaldi, juga menyatakan hal yang sama. Sepakat dengan Eka Vidya, ia juga menyebut bahwa isu netralitas ASN juga merupakan hal yang menjadi perlu perhatian di satu tahun jelang pelaksanaan Pilkada serentak 2024 mendatang.
“Isu netralitas ASN dalam pemilu ini mungkin lebih signifikan kental terasa pada saat Pilkada dibandingkan dengan Pileg ataupun Pilpres. Sebab para caleg ataupun capres yang akan bertarung tentu tidak memiliki potensi intervensi sejauh itu kepada ASN yang ada di daerah, Tapi dalam konteks Pilkada, isu ini perlu perhatian karena bagaimanapun posisi ASN ini dilematis dan rawan,” ujarnya.
Asrinaldi menjelaskan, situasi dilema yang dihadapi para ASN setiap tahun-tahun politik ini diantaranya adalah disatu sisi mereka wajib untuk mendukung visi misi kepala daerah. Tapi sisi yang lain, jika mereka menunjukkan dukungan tersebut secara nyata dan jelas, mereka berpotensi terkena aturan netralitas ASN.
“Bagi ASN persoalan dukung mendukung kepala daerah ini dilema bagi karir mereka. Jadi ketimbang mereka dikira tidak mendukung visi misi kepala daerah, pada akhirnya mereka akhirnya memutuskan mendukung salah satu calon, ini dilemanya mereka memiliki hak politik seperti itu,” kata Asrinaldi.
Dilema lainnya, sebut Asrinaldi, para ASN ini tidak seperti halnya anggota TNI atau Polri yang hak politiknya untuk dipilih dan memilih telah dinyatakan dicabut sesuai dengan aturan. Dengan posisi ASN yang memiliki hak pilih ini, menurut Asrinaldi, juga menjadi suatu kontradiktif jika dalam aturan netralitas ASN tersebut dinyatakan bahwa para ASN dilarang menghadiri kegiatan kampanye kandidat calon yang akan bertarung dalam setiap helatan pesta demokrasi.
“Sebagai pemilih dan warga negara mereka tentu juga memiliki hak untuk mengetahui visi misi kandidat yang akan dipilihnya. Sebab tentu tidak mungkin kalangan ASN yang notabene merupakan kaum cendekiawan dan terpelajar ini beli kucing dalam karung saat menjatuhkan pilihan politiknya,” tutur Asrinaldi.
Untuk itu, menurut Asrinaldi, kondisi dilematis yang dialami para ASN setiap menjelang tahun politik ini, perlu dicapai oleh pemerintah dengan mengeluarkan defenisi yang tegas terkait dengan aturan mengenai aturan netralitas ASN dalam pemilu ini.
Sebab menurut dia. pola-pola keterlibatan ASN dalam pelaksanaan beberapa pemilu sebelumnya, tidak hanya dalam bentuk dukung mendukung saja. tapi juga bahkan menurutnya sudah ada juga yang ditemukan dalam bentuk yang lebih nyata seperti misalnya menjadi operator politik. Terlebih apabila kandidat yang hendak maju tersebut merupakan petahana.
“Apalagi nanti akan diselenggarakan pemilu serentak yang akan dilakukan oleh sekitar 514 Kabupaten dan Kota yang akan memilih kepala daerah. Kondisi ini tentu pasti akan menyulitkan bagi Bawaslu dan jajarannya untuk mengawasi segala bentuk pelanggaran netralitas ASN ini,”pungkasnya.
Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Wilayah Sumbar, Febricki Saputra menyebut, peningkatan partisipasi aktif masyarakat merupakan suatu keharusan di tengah meningkatnya dinamika perpolitikan menjelang Pemilu maupun Pilkada 2024 mendatang. “Sumbar masuk dalam kategori sedang dalam indeks kerawanan Pemilu atau IKP 2024. Hal itu tidak terlepas dari tingginya kerawanan dan potensi kecurangan pemilu yang bisa terjadi,” ujarnya kepada Haluan kemarin.
Ricky menyebut, berkaca kepada pemilu sebelumnya, potensi pelanggaran pemilu yang cukup rawan terjadi di Sumbar diantaranya adalah netralitas ASN, TNI/Polri, politik uang hingga kasus pidana penyelenggara pemilu. “Sejauh ini KIPP Sumbar melihat Bahwa potensi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di Sumbar juga cukup rawan terjadi. Gejala kerawanan bahkan sudah terlihat sejak dimulainya proses rekrutmen KPU dan Bawaslu Kabupaten Kota,” ucapnya.
Peneliti lembaga riset Sumatera Barat Leadership Forum (SBLF) Edo Andrefson melihat, pada tahun-tahun politik seperti ini, ASN sejatinya berdiri di posisi serba dilematis. Di satu sisi, mereka diminta untuk netral dan bersih dari segala bentuk aktivitas politik. Sementara pada sisi lain, mereka dituntut untuk tunduk terhadap perintah wali kota yang notabene merupakan jabatan politis.
Mengingat peliknya posisi ASN nan dilematis ini, menurut Edo, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) bersama KPU dan Bawaslu, bahkan telah merumuskan aturan pembinaan pegawai dalam netralitas penyelenggaraan pemilu.
“Di sana telah dijelaskan agar para ASN tidak terpengaruh dan terlibat dalam kepentingan politik praktis, apalagi kepentingan pemenangan dan mempengaruhi guna membantu kandidat Incumbent yang masih duduk pada Pilkada selanjutnya,” terang Edo.
Berangkat dari rawannya posisi ASN dalam pemilu , Edo mengajak masyarakat Sumbar, seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta para ASN untuk mulai mencermati anggaran-anggaran dan pola pendekatan tertentu yang dilancarkan wali kota incumbent.
Sebab menurut dia, meski bagaimanapun ASN adalah jabatan birokrasi yang semestinya netral dan jauh dari segala kepentingan yang bisa membawa mereka terjebak dalam jebakan netralitas ASN yang pasti akan diawasi oleh Bawaslu serta panitia penyelenggara pemilu lainnya. (*)