Bakal Disahkan DPRD dan Pemda Sumbar, Perda Tanah Ulayat Jangan Jadi Perda ‘Mandul’ 

Gubernur Sumbar Copot Kadistanhorbun

Gedung DPRD Sumbar

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Sumatera Barat (Sumbar) bersama pemerintah daerah telah merampungkan pembahasan Ranperda tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat. Perda Tanah Ulayat ini diharapkan tak menjadi payung hukum yang mandul dalam menyelesaikan konflik agraria nantinya sehingga perlu dikawal dan diawasi.

Sesuai agenda yang ditetapkan oleh DPRD Kamis (14/9) (hari ini, red) akan dilaksanakan rapat akhir pembahasan dengan agenda penyampaian pendapat akhir fraksi-fraksi atas Ranperda terkait.

“Komisi I bersama pemerintah daerah telah merampungkan pembahasan Ranperda tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat. Ranperda ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat agar pemanfaatan Tanah Ulayat dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat,” ujar Wakil Ketua DPRD Sumbar, Irsyad Syafar saat agenda rapat paripurna yang digelar DPRD, Selasa (12/9).

Ia mengatakan, sesuai tahapan pembahasan Ranperda yang diatur dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019, di akhir pembicaraan tingkat pertama fraksi-fraksi akan menyampaikan pendapat akhirnya. Rapat akhir pembahasan ini belumlah ada diagendakan dalam rapat bamus yang sudah diputuskan sebelumnya, sehingga melalui forum rapat paripurna hari itu disepakati untuk diagendakan Kamis (14/9).

“Dengan dilaksanakannya rapat akhir pembahasan dalam bentuk penyampaian pendapat akhir fraksi-fraksi, setelahnya Ranperda tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat akan bisa dilakukan proses fasilitasi oleh Kemendagri,” tuturnya.

Jangan ‘Mandul’

Sementara itu, Pakar Kehutanan dari Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat (SB) Dr Ir Firman Hidayat, M.T menilai, penerapan Perda tanah ulayat oleh eksekutif dan legislatif perlu dikawal dan diawasi agar tidak menjadi Perda mandul yang tidak bisa diterapkan.

Firman Hidayat menegaskan, Perda Tanah ulayat perlu disosialisasikan dengan masif dan berkelanjutan kepada para niniak mamak yang tergabung secara formal dan non formal di lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN), dan Badan Musyawarah Nagari (BPN).

“Strategi terjitu juga bisa dilakukan lewat institusi sekolah atau pendidikan. Sebaiknya pengetahuan soal tanah ulayat juga dijadikan sebagai salah satu muatan kurikulum sekolah,” ujarnya kepada Haluan Rabu (13/9).

Jika perlu, menurut Mantan Dekan Kehutanan UM Sumbar ini, pendidikan dan pengetahuan  dasar soal tanah ulayat juga perlu dijadikan sebagai bahan pembekalan bagi para pengantin  baru yang akan menikah. Hal ini, bertujuan agar seluruh masyarakat mengetahui dan memahami pokok-pokok penting yang termuat di dalam Perda Tanah Ulayat yang diharapkan akan menjadi semacam instrumen pelindung hak ulayat dari gempuran investasi dan penerbitan perizinan oleh pemerintah.

“Intinya, sosialisasi Perda tanah ulayat tidak boleh berhenti begitu saja, Kalau perlu perda itu disosialisasikan dalam setiap acara kenagarian yang berjalan di pemerintahan desa atau nagari,” kata dia.

Lebih lanjut, dalam kesempatan itu Firman Hidayat juga menyinggung soal konflik agraria penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Air Bangis yang belakangan ini ramai-ramai ditolak oleh masyarakat terdampak.

Menurut Firman Hidayat, Polemik PSN Air Bangis yang disebut-sebut berbagai pihak muncul karena adanya kepentingan lain yang bermain dibalik Koperasi Serba Usaha (KSU) Air Bangis pemegang izin Perhutanan Sosial skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) cukup janggal.

Selama ini, sebut dia, program perhutanan sosial yang sejatinya diharapkan menjembatani pengelolaan tanah negara oleh masyarakat itu, dievaluasi berdasarkan klasifikasi kelas yang telah dianugerahkan oleh instansi terkait.

Kelompok PS, kata dia, dibagi mulai dari kategori Bronze hingga Platinum berdasarkan indikator penilaian  oleh Dinas Kehutanan setempat. Sedangkan proses evaluasi, telah dijadikan sebagai program rutin bagi penyuluh kehutanan dan Kelompok Pengelola Hutan (KPH) setempat.

“Makanya kasus KSU Air Bangis ini cukup aneh, mulai dari segi perizinan hingga pelaksanaan. Meski belum mempelajari secara utuh, namun saya melihat ini cukup aneh karena komoditas utamanya adalah tanaman sawit. Padahal seharusnya untuk skema Perhutanan Sosial ini, seharusnya tanaman sawit tidak menjadi pilihan,”ucapnya.

Ia meminta, kasus ini perlu ditelusuri oleh pemerintah daerah dengan serius dan cermat. Sebab menurut dia, kasus ini bukannya tidak mungkin akan menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan program perhutanan sosial Sumbar kedepannya. “Saya kira ini patut dievaluasi. keganjilan izin Perhutanan Sosial  KSU Air Bangis ini Tidak boleh diabaikan dan perlu dibuat seterang mungkin kepada publik dan masyarakat luas,”tutupnya. (h/len/fzi)

Exit mobile version