Pengurus Pusat MKTI Sumbar Prof Dr Bujang Rusman : Bisa Jadi Rujukan Hukum Kepemilikan Lahan

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air  Indonesia (MKTI) Sumatera Barat (Sumbar),  Prof Dr Bujang Rusman, menilai pecahnya konflik agraria di Nagari Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, dan sejumlah lokasi lainnya di Indonesia, disebabkan karena tidak duduknya aspek hukum status kepemilikan lahan

Penetapan status lahan tidak dilakukan dengan mengacu kepada dua undang-undang pokok pertanahan,  yakninya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Kehutanan. Akibatnya, aktivitas investasi mendapatkan penolakan sengit dari masyarakat terdampak.

“Hak masyarakat adat dipinggirkan. Padahal mereka telah ada jauh sebelum indonesia merdeka dari penjajahan. Persoalan kepemilikan tanah tidak pernah didudukkan bersama-sama lalu tiba-tiba pemerintah datang mengkapling tanah mereka,” ujarnya kepada Haluan Rabu (13/9).

Bujang Rusman menyebutkan, eksistensi masyarakat hukum adat selaku pemegang hak ulayat, sebenarnya telah dijamin oleh undang-undang. Atas dasar itu, aspek hukum kepemilikan tanah yang diatur dalam  UUPA dan UU Kehutanan, mesti sinkron dan disosialisasikan kepada masyarakat.

“Misalnya saja konflik agraria di Rempang-Galang. Di sana mereka sudah ada sejak tahun 1723. Mereka bahkan keturunan pejuang perang. Konflik agraria di sana terjadi karena negara tidak menghormati hak ulayat yang seharusnya mereka lindungi,” katanya.

Anggota Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumatera Barat ini, menyebut, pengabaian hak ulayat oleh negara diperparah lagi dengan diabaikannya partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan dan keputusan investasi.

Padahal di banyak negara maju lainnya, sebut Bujang Rustam, aspek partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut ruang hidup, sangat dijunjung tinggi keberadaannya. “Misalnya saja ada sistem referendum, pengambilan keputusan iya atau tidak, sepakat atau tidak sepakat. Proses inilah yang absen di negara kita hari ini. Pemerintah seharusnya tidak bisa bertindak semaunya dan mengabaikan suara-suara masyarakat,” tutur dia.

Dalam konteks Sumbar dan masyarakat hukum adat Minangkabau, sambung dia, seharusnya proses urun rembuk dan musyawarah yang ada dalam falsafah adat, tali nan tigo sapilin itu berjalan. Namun nyatanya tidak, ini lah yang menyebabkan pecahnya konflik agraria di Nagari Air Bangis.

“Masyarakat hukum adat ini telah jauh sebelum indonesia merdeka. Maka sudah seharusnya negara lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada terus-terusan melindungi dan berpihak kepada investor,” pungkasnya. (h/fzi)

Exit mobile version