PADANG, HALUAN — Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sumatra Barat (Sumbar) masih terus terjadi, dengan para pelaku yang sebagian berlatar belakang orang-orang terdekat korban. Terbaru, Polresta Padang meringkus SL (50), lelaki warga Berok Nipah, yang diduga telah “menggagahi” putri kandungnya yang baru berusia 13 tahun.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Pemprov Sumbar, Desra Elena menyebutkan, peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sumbar terekam pada rentang Januari hingga September tahun ini. Mirisnya, rata-rata pelaku berlatar belakang orang terdekat korban.
“Saat ini sudah terkumpul sekitar 50 laporan kasus dugaan kekerasan pada anak yang kami tindak lanjuti. Sebagian besar adalah kasus kekerasan seksual, yang pelakunya didominasi oleh anggota keluarga terdekat seperti, ayah kandung, bapak tiri, paman, dan kakek korban,” ucap Elena kepada Haluan, Selasa (2/11).
Ada pun untuk rata-rata usia korban kekerasan tersebut, sambung Elena, berada pada rentang usia 13 sampai 17 tahun. Menurutnya, salah satu upaya yang diperlukan untuk melindungi anak dari potensi menjadi korban adalah dengan memberikan edukasi atau pendidikan seksual kepada anak-anak pada rentang usia tersebut.
“Pengetahuan seksual itu seperti tentang batasan-batasan, atau bagian tubuh mana yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh. Ini sangat perlu disampaikan pada anak-anak, terlebih pada mereka yang beranjak remaja, untuk mengantisipasi potensi menjadi korban kekerasan maupun pelecehan seksual,” kata Elena lagi.
Sejauh penanganan yang diberikan oleh UPTD PPA Sumbar, sambungnya lagi, dampak kekerasan atau pelecehan seksual yang dialami korban adalah timbulnya trauma atau syok jangka panjang, yang nantinya juga berpengaruh terhadap perkembangan mental korban.
“Korban perkosaan, terlebih yang usia dini, akan mengalami Rape Trauma Syndrom (RTS). Ini turunan dari PTSD (Post Trauma Syndrom Disorder), yang akan menyebabkan korban mengalami gangguan kecemasan jika teringat dengan peristiwa traumatis yang pernah dialaminya,” ujar Elena.
Tekanan mental yang diderita oleh korban pemerkosaan tersebut, menurut Elena akan bertambah parah jika kasus tersebut tidak pernah terungkap dan para pelaku masih bebas berkeliaraan di dekat korban itu sendiri.
“Dalam banyak kasus, para penyintas korban perkosaan sering dalam kondisi tertekan ketika melihat pelaku. Apalagi jika pelaku adalah orang terdekat korban yang kadang kasusnya tidak pernah terungkap. Sering kali korban berada di bawah ancaman para pelaku, atau dalam kondisi malu untuk mengakui bahwa dirinya telah menjadi korban,” ujarnya lagi.
Rumah Aman Dibutuhkan
Di sisi lain, Direktur LSM Nurani Perempuan Woman Crisis Centre (WCC), Rahmi Meri Yenti menilai, keberadaan Rumah Aman bagi para korban penyintas perkosaaan sangat dibutuhkan di Kota Padang. Mengingat, banyaknya kasus perkosaan dengan pelaku berlatar belakang orang terdekat dengan korban.
“Dalam banyak kasus, para penyintas perkosaan mengalami trauma jangka panjang saat melihat pelaku. Alangkah tersiksanya batin dan mental mereka saat dibiarkan terus menerus berada di dekat pelaku. Apalagi, di rumah yang sama. Untuk itu, selama masa pemulihan mental para penyintas ini, keberadaan Rumah Aman sangat dibutuhkan,” kata Meri.
Ada pun terkait terkait pencegahan agar kasus kekerasan seksual pada anak tak semakin sering terjadi, Rahmi menilai bahwa sangat diperlukan perubahan cara pandang masyarakat terhadap korban kasus perkosaan, yang saat ini kebanyakan enggan melapor karena takut akan mendapat stigma buruk oleh anggota masyarakat lainnya.
“Selain relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku perkosaan, cara pandang masyarakat yang kerap menyalahkan korban perkosaaan atas peristiwa yang menimpanya juga menjadi alasan enggannya para penyintas untuk berbicara dan melaporkan pelaku yang memperkosanya,” ujar Meri lagi.
Meri juga menilai, saat ini sangat dibutuhkan peningkatan peran dan pengawasan dari setiap elemen masyarakat, agar tidak ada lagi ruang bagi anggota keluarga untuk menjadi pemangsa seksual di rumah tangga sendiri.
“Harus diakui, saat ini secara perlahan masyarakat kita mulai abai dan semakin tidak mempedulikan keadaan lingkungannya. Akibatnya tidak jarang para pelaku dapat berulang kali mengulangi aksinya kepada korban yang sama, tanpa diketahui anggota keluarga lainnya,” katanya menutup.
“Aksi Apak Rutiang”
Kasus terbaru dugaan perkosaan terhadap anak di bawah umur di Kota Padang dilakukan oleh seorang ayah kandung terhadap anaknya yang baru berusia 13 tahun. Pelaku sendiri telah diringkus personel Polresta Padang di kawasan Berok Nipah, Kelurahan Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat, Senin (1/11).
“Penangkapan berawal dari kecurigaan kakak kandung korban, setelah melihat ayahnya keluar dari kamar korban dengan mengenakan kain sarung. Saat masuk ke kamar korban, si kakak ini juga melihat cairan yang diduga sperma di dekat tubuh korban yang tengah tertidur,” kata Kasat Reskrim Polresta Padang, Kompol Rico Fernanda kepada Haluan, Selasa (2/11).
Merasa curiga setelah mendapati hal tersebut, menurut Kasat Reskrim, kakak korban langsung membawa korban untuk diperiksa ke Puskesmas terdekat. Kemudian setelah dibujuk, korban akhirnya mengaku bahwa ia telah mengalami aksi kekerasan seksual sebanyak dua kali dari sang ayah.
“Setelah menerima laporan tentang kejadian ini, pelaku berhasil kami ringkus di salah satu gudang penyimpanan barang bekas di kawasan Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat,” ujar Rico.
Rico juga membeberkan, dalam kurun sebulan terakhir, Polresta Padang telah berhasil mengungkap tiga kasus perkosaan anak di bawah umur, yang mirisnya seluruh kasus itu melibatkan ayah kandung korban sebagai pelaku. Dalam salah satu kasus, bahkan korban korban diketahui sudah hamil dengan usia kandungan tujuh bulan. (h/mg-fzi)