Peminggiran terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat Minangkabau, sambung Indira, pada akhirnya akan selalu memicu kericuhan di tingkat masyarakat ketika suatu proses pembangunan atau investasi akan dijalankan.
Apalagi, aktivitas investasi dan pembangunan itu, bakal berdampak terhadap keberlangsungan hidup masyarakat yang sudah lama hidup dan mendiami tanah ulayat kaum. suku atau nagari. “Mereka pasti merasa tertindas dengan regulasi yang tidak melindungi mereka. Jadi selain karena mempertimbangkan akan ada masyarakat yang tergusur, JICA juga mempertimbangkan aspek dampak lingkungan yang akan ditimbulkan,” terang aktivis perempuan Sumbar ini.
Menurut Indira, pemerintah pasti akan sedikit kelabakan dengan keputusan JICA yang menyatakan bakal melakukan pengalihan trase ke lokasi lain, Sebab kenyataannya, sistem administrasi pencatatan tanah ulayat kaum, adat, nagari dan sebagainya yang berjalan saat ini masih jauh dari kata sempurna.
“Pendataan tanah ulayat kita tidak terlalu baik dan pasti akan menyebabkan kesulitan dalam menyelesaikan masalah pertanahan yang akan dilalui oleh trase baru. Pertanyaannya, apakah negara akan mengakui tanah ulayat ini,” ucapnya.
Selama ini, menurut Indira, pemerintah atau negara justru lebih suka menyederhanakan permasalahan dengan cara menganggap tanah yang akan terkena pembangunan, adalah tanah milik individual suku atau ulayat nagari. Meski disatu sisi langkah itu akan menyederhanakan permasalahan dan mempercepat jalannya investasi, namun langkah itu juga berpotensi menimbulkan konflik agraria pada kemudian hari.
Aspek penting pembangunan berkelanjutan lainnya yang menjadi concern dunia internasional selain HAM dan prinsip FPIC, menurut Indira, adalah aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan faktor keamanan infrastruktur berdasarkan pemetaan lokasi kerawanan bencana.