Direktur LBH Padang, Indira Suryani : JICA Pertimbangkan HAM, Lingkungan dan Kawasan Rawan Gempa

Direktur LBH Padang, Indira Suryani

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengapresiasi putusan  Japan International Coorporation Agency (JICA) yang telah mengabulkan aspirasi masyarakat hukum adat di lima nagari terdampak rencana pembangunan Jalan Tol Padang-Pekanbaru trase  Pangkalan-Payakumbuh yang akan membelah serta menggusur ruang hidup yang telah mereka tempati secara turun temurun.

Direktur LBH Padang, Indira Suryani, menilai, keputusan pengalihan Trase jalan tol  yang disanggupi JICA tersebut tidak terlepas dari adanya kesadaran dunia internasional terhadap pengakuan prinsip-prinsip Free Prior And Informed Consent (FPIC) yang mesti dipastikan berjalan dalam setiap proses investasi pembangunan.

“Prinsip FPIC mesti diakomodir dalam proses investasi pembangunan berkelanjutan di dunia global. Masyarakat adat terdampak, tidak boleh dipaksa untuk setuju tanpa mendapatkan informasi yang cukup. Mereka mesti bisa menerima atau menolak proses pembangunan yang akan berjalan,” ujarnya kepada Haluan Kamis (21/9).

Indira menegaskan, proses pembangunan yang tetap dipaksakan berjalan tanpa memperhatikan berjalannya prinsip FPIC bagi masyarakat terdampak, pasti akan menimbulkan ekses-ekses konflik lanjutan seperti kekerasan, diskriminasi , kemiskinan atau bahkan pelanggaran  Hak Asasi Manusia.

Kondisi-kondisi yang lahir akibat terjadinya konflik agraria yang berujung  perampasan hak esensial ruang hidup manusia ini,  tegas Indira, saat ini  terjadi di hampir di seluruh provinsi di  Indonesia atau bahkan Sumbar khususnya.

“Pembangunan terkait pemanfaatan tanah yang dilakukan swasta di Sumatra Barat, hampir selalu berujung konflik agraria. Hal ini terjadi karena negara tidak mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dan tanah ulayat  di Sumatra Barat,” ungkapnya.

Peminggiran terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat Minangkabau, sambung Indira, pada akhirnya akan selalu memicu kericuhan di tingkat masyarakat ketika suatu proses pembangunan atau investasi akan dijalankan.

Apalagi, aktivitas investasi dan pembangunan itu, bakal berdampak terhadap keberlangsungan hidup masyarakat yang sudah lama hidup dan mendiami tanah ulayat kaum. suku atau nagari. “Mereka pasti merasa tertindas dengan regulasi yang tidak melindungi mereka. Jadi selain karena mempertimbangkan akan ada masyarakat yang tergusur, JICA juga mempertimbangkan aspek dampak lingkungan yang akan ditimbulkan,” terang aktivis perempuan Sumbar ini.

Menurut Indira, pemerintah pasti akan sedikit kelabakan dengan keputusan JICA yang menyatakan bakal melakukan pengalihan trase ke lokasi lain, Sebab kenyataannya, sistem  administrasi pencatatan tanah ulayat kaum, adat, nagari dan sebagainya yang berjalan saat ini masih jauh dari kata sempurna.

“Pendataan tanah ulayat kita tidak terlalu baik dan pasti akan menyebabkan kesulitan dalam menyelesaikan masalah pertanahan yang akan dilalui oleh trase baru. Pertanyaannya, apakah negara akan mengakui tanah ulayat ini,” ucapnya.

Selama ini, menurut Indira, pemerintah atau negara justru lebih suka menyederhanakan permasalahan dengan cara menganggap tanah yang akan terkena pembangunan, adalah tanah milik individual suku atau ulayat nagari. Meski disatu sisi langkah itu akan menyederhanakan permasalahan dan mempercepat jalannya investasi, namun langkah itu juga berpotensi menimbulkan konflik agraria pada kemudian hari.

Aspek penting pembangunan berkelanjutan lainnya  yang menjadi concern dunia internasional selain HAM dan prinsip FPIC, menurut Indira, adalah aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan faktor keamanan infrastruktur berdasarkan pemetaan lokasi kerawanan bencana.

Pertimbangan ini, pasti telah dipikirkan oleh JICA sebelum memutuskan melanjutkan pembangunan trase 1 jalan tol Pangkalan-Payakumbuh yang notabene informasinya akan dilakukan dengan cara melubangi bukit dan membuat terowongan sepanjang 27 Kilometer.

“Aspek keamanan publiknya mesti dikaji serius. termasuk kajian aspek Biodiversity flora fauna yang hidup di sekitaran hutan. Saya pikir keputusan JICA lahir karena mereka mempertimbangkan konflik dengan masyarakat, lingkungan dan situasi sumbar yang rawan gempa,” pungkasnya. (h/fzi)

Exit mobile version