“Pusako tinggi adalah identitas kebanggan masyarakat Minang. Jika Pusako telah hilang, sako, gelar adat, dan perangkatnya juga akan hilang. Hilang pusako habislah sako. Kita tidak ingin itu semua terjadi,” tegasnya.
Alwen Bentri yang ternyata juga merupakan akademisi dari Universitas Negeri Padang (UNP) ini meyakini, persoalan penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan jalan tol, yang akan melintasi tanah mereka, sebenarnya hanyalah persoalan komunikasi dan cara pandang saja,
Di satu sisi, sebut dia, semua pihak mesti memakai frame yang sama bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) Jalan Tol sangat penting bagi Sumbar. Namun di sisi lain, masyarakat luas juga harus diajak untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai, adat, budaya, dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat hukum adat Minangkabau. “Oleh karena itu, kerjasama antara pemimpin fungsional di tengah masyarakat, niniak mamak dan pemimpin formal di pemerintah daerah harus saling berkomunikasi, kerjasama, memahami, dan tidak memaksakan kehendak,” ucapnya.
Ia membeberkan, lima nagari yang awalnya direncanakan bakal dilintasi oleh trase jalan tol Payakumbuh Pangkalan, diantaranya adalah Nagari Gurun, Lubuak Batingkok, Koto Tangah Simalanggang dan Nagari Taeh Baruah. Kelima nagari tersebut, adalah daerah padat penduduk yang di dalamnya ada sawah, Rumah Gadang suku dan kaum, ladang, kebun dan bahkan pandam pakuburan yang milik ulayat nagari, Suku dan Kaum,
“Sangat banyak masyarakat yang selama ini datang menangis kepada saya. Mereka sangat takut bila harus tergusur dan terusir dari tanahnya. Kepedihan inilah yang tidak dirasakan para pejabat tinggi jika pembangunan ini tetap berjalan,” ungkapnya.
Namun demikian, Alwen Dt Lelo mewakili masyarakat di lima nagari, menyampaikan ungkapan terima kasih atas keputusan JICA yang akhirnya mengabulkan permintaan mereka untuk mengalihkan trase jalan tol ini ke daerah yang lebih tidak mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat.