Politik Dinasti, Racun Mematikan bagi Iklim Demokrasi

PADANG, HARIANHALUAN.ID – Pakar Politik dari Universitas Andalas, Prof. Dr. Asrinaldi, S. Sos.,M. Si menilai, politik dinasti adalah racun berbahaya bagi iklim demokrasi yang semestinya menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara yang berkompeten untuk ikut dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Legislatif (Pileg) di tingkat lokal.

“Persoalannya, politik dinasti menjamur karena aturan hukum yang secara tegas melarangnya tidak ada. Padahal hal ini pernah dibunyikan dalam Undang-Undang  Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada yang akhirnya dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia atau HAM,”  ujarnya kepada Haluan Senin (16/10).

Undang-Undang yang telah dicabut MK tersebut, jelas Asrinaldi, pada dasarnya mengatur agar seluruh kandidat kepala daerah dan calon legislatif yang akan berlaga di suatu pesta demokrasi, hendaknya tidak berpotensi memiliki konflik kepentingan dalam artian punya hubungan darah dan keluarga dengan sang  kepala daerah.

Baik sebagai istri, suami, orangtua,  mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik , kakak dan ipar (kecuali telah jeda satu periode atau lima tahun. Undang-Undang yang diharapkan mencegah munculnya politik dinasti ini telah dicabut oleh MK dengan alasan membatasi hak politik warga negara.

“Akibatnya orang merasa tidak ada aturan hukum yang melarang hal-hal yang menjurus ke politik dinasti dalam pemilihan tingkat lokal maupun nasional. Makanya saat ini banyak calon yang memiliki hubungan keluarga. Baik itu anak, istri, menantu dan sebagainya,” kata dia.

Menurut Asrinaldi, politik dinasti yang saat ini mulai banyak bermunculan di tingkat daerah, lokal maupun nasional  adalah ancaman nyata bagi kualitas dan perkembangan demokrasi. Sebab praktik dinasti politik, telah  memangkas dan mengebiri hak warga negara biasa  yang tidak punya akses khusus untuk mencalonkan diri sebagai pejabat negara lewat partai politik

“Mobilitas sosial  warga negara biasa untuk menjadi elite tertutup oleh politik dinasti. Selain disebabkan oleh kuatnya watak partai yang oligarkis, politik dinasti juga dipicu oleh kegagalan rekrutmen dan kaderisasi partai politik,” jelasnya.

Kondisi itu, pada akhirnya menyebabkan partai politik akhirnya lebih memilih memajukan orang-orang yang berada di dekat lingkaran keluarga elite parpol untuk diusung dibandingkan dengan para  kader yang dinilai berasal dari kalangan biasa dan tidak punya modal politik cukup besar.

Ekses negatif politik dinasti lainnya, sambung Asrinaldi, adalah tidak berjalannya mekanisme check and balance antara eksekutif dan legislatif. Apalagi di sejumlah daerah, kadang ditemukan adanya fenomena sang bapak menjadi Bupati, dan sang anak menjadi ketua DPRD.

Kondisi seperti ini, rawan memunculkan kebijakan-kebijakan yang tidak lagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Khususnya pada kebijakan-kebijakan dan peraturan daerah tertentu yang membutuhkan pendalaman antara eksekutif dan legislatif.

“Nah kebijakan seperti inilah yang sangat kita khawatirkan muncul dari terus langgengnya politik dinasti. Sebab pada intinya, demokrasi memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi warga negara untuk berkompetisi. Akan sangat berbahaya jika politik justru dikuasai oleh segelintir keluarga tertentu saja,” pungkas dia mengakhiri. (h/fzi)

Exit mobile version