Indonesia Tempati Posisi Ke-2, Kasus TB di Kota Padang Makin Mengkhawatirkan

PADANG, HARIANHALUAN.ID – Berdasarkan Global TB Report 2023, Indonesia menempati posisi ke-2 terbanyak kasus tuberculosis setelah India dan diikuti oleh China di posisi ketiga.

Hal tersebut dikatakan Kabid P2P Dinkes Padang, dr Gentina saat ekspose kegiatan investigasi TB di Kota Padang oleh Konsorsium Komunitas Pena Bulu-Stop TB Partnership Indonesia (PB-STPI), Rabu (29/11/2023).

“Di Indonesia terdapat 1.060.000 kasus TBC. Kasus ini tidak hanya dialami orang dewasa, tetapi orang yang memiliki imunitas rendah seperti anak dan lansia yang memiliki penyakit penyerta/komorbid,” kata Gentina.

Gentina mengatakan, TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini seringkali menunjukkan gejala yang umum, seperti penyakit lainnya, sehingga orang dapat terinfeksi tanpa menyadarinya. Karena itu, penting untuk mengenali tanda dan gejala TBC.

Gejala utama TBC, batuk terus-menerus (berdahak maupun tidak berdahak). Gejala yang lainnya, demam dan meriang dalam jangka waktu yang panjang, sesak nafas dan nyeri dada, berat badan menurun.

“Ketika batuk, terkadang dahak bercampur darah, nafsu makan menurun dan berkeringat di malam hari meski tanpa melakukan kegiatan. Dengan mengenali gejala dan tanda TBC, kita dapat segera mencari pengobatan dan mencegah penyebaran penyakit ke orang lain,” ujarnya.

Ia menyebutkan, meski TB menjadi penyakit masif yang mematikan, politik anggaran pemerintah daerah masih sangat rendah. “Di Kota Padang, Dinkes dianggarkan dalam APBD Rp28 juta untuk TB ini selama satu tahun. Jika tadi ditanyakan berapa idealnya, saya kira sebanyak APBD Kota Padang (lk Rp2 triliunan),” ucapnya.

Di sisi lain, kata Manager SR Penabulu-STPI Sumbar, Dedi Abdul Kadir, Pemerintah Indonesia masih terus berupaya mengakselerasi untuk mengeliminasi TB dari 30 provinsinya.

“Untuk mewujudkan Indonesia bebas penyakit TBC, tentu butuh kerja dan sinergitas bersama, baik dari eksekutif, legislatif, komunitas, organisasi masyarakat dan media massa,” katanya.

Hal ini sesuai dengan strategi Sub Recipient (SR) Penabulu-STPI dalam upaya meningkatkan keterlibatan organisasi masyarakat sipil dan komunitas terdampak TBC dalam mempengaruhi pemerintah daerah mengeliminasi TBC melalui pendekatan multi sektor.

Dedi Abdul Kadir mengatakan, kegiatan ini merupakan pertemuan untuk membahas analisa situasi TBC, perkembangan jejaring District-Based Public Private-Mix (DPPM) dan kaitannya dengan pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) terkait TBC.

”Keterlibatan ini penting untuk mendorong munculnya kebijakan dan dukungan pemangku kepentingan dalam eliminasi TBC di daerah. Salah satu komponen pemersatu pemerintah daerah dalam menanggulangi TBC adalah adanya indikator SPM kesehatan yang mencantumkan isu TBC,” kata Dedi.

Dikatakannya, Kemendagri menerbitkan Permendagri Nomor 59/2021 tentang penerapan SPM sebagai salah satu instrumen yang digunakan untuk pelaksanaan tugas sesuai amanat Perpres 67/2021.

Permendagri 59/2021 meminta pemda memprioritaskan TBC sebagai salah satu jenis pelayanan dasar. Tertulis bahwa pelayanan kesehatan orang terduga TBC menjadi salah satu indikator SPM kesehatan di kabupaten dan kota.

Lebih lanjut dikatakan Dedi, penemuan kasus menjadi kewajiban minimal pemda yang harus dicapai 100 persen. Dalam tahapan penerapan SPM diketahui bahwa perlu adanya kerangka anggaran TBC yang jelas dan wajar atas kinerja jumlah yang akan dilayani.

Dedi menyampaikan, tujuan kegiatan ini untuk mendorong kesadaran menyebarkan informasi positif kepada publik, serta masyarakat luas tentang TBC dan bagaimana keterlibatan para pihak sangat dibutuhkan untuk dapat eliminasi TBC.

”Selain itu, mendorong peningkatan dan penemuan kasus secara aktif, serta dalam proses pencatatan dan pelaporannya di
layanan kesehatan pemerintah, sehingga tidak terjadi lagi perbedaan data kasus TB,” tuturnya sembari menyebut dari 800 kasus yang dientri ke SITB hanya 295 kasus yang terbaca oleh sistem. (*)

Exit mobile version