PADANG, HARIANHALUAN.ID – Aktivis anti korupsi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Diki Rafiqi, menilai, skandal kasus penyelewengan dan penyimpangan pajak daerah yang diduga dilakukan Kepala Bapenda Sumbar dengan cara meminta setoran kepada para kepala UPTD Samsat di daerah-daerah, tidak ubahnya dengan praktik pungli dan premanisme yang dilakukan para preman kelas teri di pasar-pasar.
Agar kasus ini tidak menjadi bola liar yang berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat pembayar pajak taat di Sumbar, kasus ini pun harus diungkap dan dibuka seterang-terangnya kepada publik tanpa ada satupun hal yang ditutup-tutupi.
“Nah, tindakan yang dilakukan saat ini (Pemeriksaan oleh Inspektorat red) masih kurang. Harusnya dilakukan tindakan yang lebih jauh dan serius lagi dengan memakai undang-undang tindak pidana korupsi. Apalagi ini bukanlah persoalan pelanggaran etik dan disiplin ASN biasa saja,” ujarnya kepada Haluan Rabu (29/11)
Menurut Diki, dalam menangani kasus yang dikhawatirkan akan ikut berimbas terhadap kepercayaan dan ketaatan masyarakat membayar pajak ini, Inspektorat Sumbar harus berfokus kepada upaya pemulihan kerugian negara serta mendalami unsur tindak pidana korupsi yang terdapat pada kasus ini.
Namun begitu, proses penegakan hukum kasus korupsinya, harus dipastikan tetap berjalan dan tidak boleh dibiarkan hilang dan terhenti begitu saja hanya dengan penindakan secara etik oleh Inspektorat Sumbar, maupun dengan upaya pengembalian kerugian negara seperti halnya yang terjadi pada kasus dugaan korupsi dana penanganan Covid-19 di BPBD Sumbar beberapa waktu lalu.
“Menurut saya ada hal yang menjadi problem di lingkungan aparatur negara Pemprov Sumbar belakangan ini. Ada beberapa dugaan korupsi yang dilakukan oleh ASN Pemprov Sumbar. Kasus Bapenda ini adalah kasus terbaru. Artinya, Pemprov harus berubah dan memiliki visi ke depan soal pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Bukan Pelanggaran Etik ASN Biasa
Aktivis LBH Padang ini mengingatkan, Inspektorat Sumbar adalah lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap berbagai aspek pelaksanaan tugas fungsi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lingkungan Pemprov Sumbar.
Atas dasar itu, Inspektorat Sumbar harus benar-benar menyadari bahwa skandal yang terjadi di Bapenda Sumbar merupakan kasus yang menyangkut dengan kepentingan publik dan para pembayar pajak.
Karena posisinya yang begitu krusial dan penting bagi pengawasan roda pemerintahan ini, jawaban Inspektorat Sumbar yang menyatakan bahwa mereka hanya bisa membuka duduk perkara kasus ini kepada pihak yang memberi perintah, sejatinya tidak dapat dibenarkan dan justru terkesan sebagai jawaban normatif saja.
“Inspektorat selaku pengawas, seharusnya bisa bekerja lebih jauh dan serius lagi. Jika memang Inspektorat serius dan berkomitmen memberantas korupsi maka, sebaiknya Inspektorat mengumpulkan dan segera mengumumkan informasi terkait pemeriksaan kasus ini kepada publik,” katanya.
Bahkan lebih jauh lagi, sambung Diki, Inspektorat selaku pengawas kinerja lembaga daerah serta perilaku para aparatur sipil negara, juga berwenang dan sangat dimungkinkan untuk menggandeng aparat penegak hukum lainnya dalam penanganan kasus-kasus korupsi semacam ini, .
“Jadi, kalau jawabannya duduk perkara ini hanya bisa dilaporkan kepada Gubernur, itu sama saja menandakan bahwa Inspektorat adalah pesuruh Gubernur, Ini merendahkan martabat Inspektorat sendiri. Sebab seharusnya , Inspektorat adalah Watchdog yang mengawasi kerja-kerja dari Gubernuran setiap waktu,” ucapnya.
Terakhir ia tegaskan, apabila memang Pemprov Sumbar serius dan berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus dugaan skandal korupsi ini, Inspektorat Sumbar harus segera mengumumkan duduk perkara kasus ini seterang mungkin kepada publik .
“Apalagi ini bukanlah pelanggaran etis dan disipliner saja. Di sini ada potensi kerugian negara yang tentu mencukupi unsur tindak pidana korupsi. Unsur pidana korupsi inilah yang seharusnya dikejar dengan cara melibatkan kejaksaan, polisi atau bahkan KPK sekaligus,” tutup diki mengakhiri (h/fzi)