“After Pemilu masalah kesehatan jiwa itu ada. Meningkat dari yang pertama kalau dia gagal ada, dia mengeluarkan banyak uang, mungkin materi tidak berhasil, ekspektasi tidak terpenuhi sehingga mengalami gangguan cemas. Gangguan tidur, kecemasan, kemudian panik, ada depresi, stres itu bisa terjadi,” ungkapnya dalam diskusi pada Jumat.
“Sehingga penanganan sederhana, pengobatan ringan, atau obat-obat yang membantu tidur atau psikoterapi sehingga dia bisa curhat, itu cukup membantu. Tetapi ternyata bukan cuma calonnya saja. Tim suksesnua, keluarganya, itu ada juga,” ujarnya dikutip dari detikhealt.
Menurutnya, baik calon maupun pendukung yang kemudian mengalami gangguan mental pasca kegagalan ini mungkin terlibat secara emosional terlalu dalam. Jangankan pada orang yang memberikan dukungan secara langsung, orang yang terpapar konten media sosial pun bisa mengalami kondisi serupa jika mental dan fisiknya ‘terkuras’ pasca kegagalan tersebut.
“Saya dapati pada pasien-pasien lansia. Menarik berita politik buat mereka. Bisa nonton sampai malam, tau-tau kurang tidur, kurang minum, itu mempengaruhi. Hal-hal sederhana yang terganggu pada lansia, itu bisa mengganggu kondisi mental,” pungkas dr Lahargo.
Lebih lanjut menurutnya, tidak ada penanganan khusus di rumah sakit untuk orang-orang yang mengalami gangguan mental pasca kegagalan di Pemilu. Pun ‘trigger’-nya memang Pemilu, pasien bisa diberi pengobatan atau psikoterapi. Sedangkan untuk perawatan, bisa diberikan jika ada indikasi seseorang melakukan perilaku yang membahayakan untuk diri sendiri dan orang lain.
Ditambahkan Alfi, ada beberapa tips bagaimana caleg seharusnya merespon agar tidak berujung stres yang memicu gangguan kejiwaan. Pertama, sadari dan akui bahwa ada sesuatu yang terjadi. Kemudian rehat, tenang, dan menata perasaan atau hati.