Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumbar Tommy Adam : Banyak Pembukaan Lahan dan Tambang Galian C

Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan Hidup Walhi Sumbar, Tommy Adam

PADANG, HARIANHALUAN.ID – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar), menyebut, bencana banjir dan longsor yang  memutus akses jalan Nasional dari Provinsi Sumbar menuju Riau di daerah Pangkalan, Kabupaten Lima Puluh Kota, dilatar belakangi oleh terjadinya alih fungsi lahan secara masif yang semakin diperparah dengan terbitnya izin tambang  galian C di dalam kawasan hutan.

Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumbar, Tommy Adam, mengatakan, alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan lindung tersebut, telah terbukti  meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir dan longsor ketika curah hujan mengalami peningkatan intensitas.

“Jadi, faktor penyebabnya bukan curah hujan, tapi alih fungsi lahan di areal hulu DAS Kampar itu yang terjadi. Walhi beberapa waktu  lalu memang banyak melakukan kajian di Kabupaten Lima Puluh Kota  terkait dengan alih fungsi lahan karena pembukaan lahan akibat tambang galian C serta pembukaan lahan perkebunan Gambir yang menjadi komoditas utama di daerah itu,” ujarnya kepada Haluan Selasa (26/12).

Tommy menuturkan, ekspansi perkebunan Gambir di daerah itu sejak beberapa waktu belakangan, telah menghilangkan tutupan lahan kawasan hutan yang seharusnya menjadi areal tangkapan atau resapan air.

Disaat yang bersamaan, setelah ditelusuri oleh Walhi Sumbar, Pemerintah Provinsi Sumbar, ternyata juga banyak menerbitkan izin tambang galian C di daerah Pangkalan yang saat ini menjadi salah satu daerah terdampak banjir terparah.

“Banyak izin tambang galian C yang setelah kita overlay ternyata berada di kawasan hutan lindung atau catchment area. Ini tambang galian C legal berizin, namun seharusnya jika dicermati, izin AMDAL-nya seharusnya ditolak karena berada di kawasan hutan lindung,” ungkap Tommy.

Selain ekspansi kebun Gambir serta  penerbitan izin tambang Galian C di dalam kawasan hutan, menurut Tommy, bencana banjir dan longsor yang terjadi di wilayah Luhak Nan Bungsu itu, juga ikut disebabkan oleh tidak terkendalinya aktivitas pembalakan liar atau illegal logging yang terjadi di hulu DAS Kampar tepatnya di daerah Pangkalan.

Kondisi ini bahkan telah terbukti menyebabkan daerah Pangkalan selalu menjadi wilayah langganan banjir setiap kali memasuki musim penghujan. Namun sayangnya, pemerintah daerah setempat terlihat belum  memiliki langkah-langkah mitigasi yang konkret dan jelas meskipun di daerah tersebut telah berulang kali ditemukannya aktivitas illegal logging.

“Di daerah Pangkalan, banjir sebenarnya sudah menjadi siklus bencana tahunan, Pemda seharusnya melakukan mitigasi. Apalagi selama ini  daerah Pangkalan khususnya kawasan hulu DAS Kampar adalah daerah rawan illegal logging,” ungkapnya,

Tommy menambahkan, alih fungsi lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota, tidak hanya terjadi di daerah Pangkalan saja. Kondisi yang sama bahkan juga dialami oleh tiga Nagari yang berada di kawasan Geopark Harau yang menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di daerah tersebut.

Berdasarkan analisis citra satelit, sebut Tommy, tiga daerah yang berada di sekitaran Geopark Harau, yakninya di Nagari Harau, Taruang-Taruang dan Solok Bio-Bio juga telah mengalami deforestasi sedemikian parahnya. Hal itu terbukti dengan terendam banjirnya kawasan wisata Harau beberapa waktu lalu.

“Setidaknya selama 20 tahun terakhir, sudah hilang lebih 1.000 hektare kawasan hutan lindung di 3 nagari kawasan Harau.  Seperti di Nagari Harau 880 hektare, Nagari Solok Bio-Bio 244 hektare dan Nagari Tarantang 131 hektare. Kalau kondisi ini dibiarkan, ancaman bencana lebih besar bisa terjadi kapan saja,” pungkasnya. (h/ fzi)

Exit mobile version