PADANG, HARIANHALUAN.ID – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mencatat, terdapat 23 tambang galian C maupun non galian C yang beroperasi di dalam kawasan hutan lindung di seluruh penjuru Sumatera Barat (Sumbar). Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah, menyatakan akan segera mengevaluasi seluruh perizinan tambang galian C yang terindikasi merusak lingkungan dan memicu terjadinya bencana banjir dan longsor di sejumlah daerah.
Koordinator Advokasi LBH Padang, Diki Rafiqi, menyebut, aktivitas pertambangan di Sumbar sekilas memang terlihat bernilai ekonomis. Namun dampak ekonomi tersebut, sesungguhnya tidaklah sebanding dengan kerusakan lingkungan dan bencana ekologis jangka panjang yang ditimbulkannya. Perizinan tambang-tambang ini mesti segera dievaluasi karena aktivitas mereka lebih banyak memicu kerusakan lingkungan dan bencana ekologis daripada memberikan manfaat kepada masyarakat dan perekonomian daerah.
“Aktivitas tambang di berbagai daerah di Sumatera Barat banyak menimbulkan berbagai persoalan seperti kerusakan lingkungan, merusak akses jalan lintas, memicu bencana banjir longsor, hingga alih fungsi kawasan hutan. Kerusakan ekologis ini tak bisa dihitung dengan angka sekalipun ada rumus tersendiri yang dikeluarkan KLHK untuk pemulihan lingkungan,” ujarnya kepada Haluan Rabu (27/12).
Diki mencontohkan, beberapa waktu lalu, LBH Padang pernah membuat simulasi perhitungan kerugian ekologis yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan Mineral yang dioperasikan oleh PT Mineral Sukses Makmur (MSM) yang Izin Usaha Pertambangan (IUP) nya masuk ke dalam kawasan hutan lindung
Aktivitas tambang tersebut, kata Diki, beberapa tahun yang lalu bahkan pernah diketahui telah memicu terjadinya longsor yang sempat memutus akses jalan Solok-Solok Selatan karena memang beroperasi persis di bibir jalan.
“Kami hitung kerugian negara yang diakibatkan saat itu angkanya mencapai Rp36 miliar. Sedangkan akibat dari beroperasinya tambang-tambang seperti ini sangat luar biasa, jalan lintas rusak dan bahkan sampai sekarang pun jalan itu tidak pernah diperbaiki padahal itu adalah akses jalan provinsi,” ungkapnya.
Menurut Diki, saat ini kondisi yang sama juga terjadi di daerah Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Lima Puluh Kota. Di daerah itu, saat ini bahkan masih ada beberapa tambang batu yang beroperasi dengan menggunakan metode peledakan dengan menggunakan dinamit.
“Akibatnya selain longsor, rumah masyarakat sekitar retak. Nah, kerugian seperti inilah yang biasanya tidak pernah dihitung. Padahal dahulu sebelum tahun 2017 ketika Gubernur Sumbar masih dijabat Irwan Prayitno, beliau sempat mencabut beberapa izin tambang yang berada di sekitar Pangkalan karena cukup banyak tambang yang berada disana,” ucapnya.
Diki menyebut, di daerah Pangkalan Koto Baru, saat ini masih ada beberapa tambang berizin yang masih beroperasi. Akan tetapi tambang-tambang ini berada tepat di pinggir jalan sehingga meningkatkan risiko bencana longsor yang berpotensi memutus akses jalan penghubung Provinsi Sumbar dan Riau. Padahal, menurut Diki, apabila jalan penghubung Sumbar dan Riau ini terputus, kerugian yang ditimbulkannya akan sangat luar biasa. Sebab pada kenyataannya, akses jalan tersebut sangatlah krusial karena digunakan untuk mengangkut hasil panen sayuran masyarakat dari Sumbar ke luar daerah.
“Seperti banjir dan longsor yang baru saja terjadi di Pangkalan, masyarakat yang paling terdampak hari ini justru adalah masyarakat Alahan Panjang karena supply sayur-sayuran ke Pekanbaru terhambat dan membuat ongkos produksi mereka membengkak,” ujarnya.
Diki juga mengakui, kerumitan pengawasan tambang di dalam kawasan hutan semakin rumit usai disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Sebab menurutnya, Undang-Undang sapu jagat itu membagi kewenangan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan tambang Galian C dan tambang non Galian C.
“Yang menjadi persoalan, penerbitan izin tambang dalam kawasan hutan semakin dipermudah lewat sistem pengurusan izin via Online Submission System atau OSS. Sementara hasil PNBP dari tambang tambang itu sendiri, pada kenyataannya tidak sebanding dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan,” ungkapnya.
Atas dasar pertimbangan itu, menurut Diki maka sudah semestinya Gubernur melakukan evaluasi besar-besaran terhadap perizinan seluruh tambang yang beroperasi di Sumbar “Harusnya sudah sejak dulu Gubernur melakukan evaluasi. Jangan sampai hanya karena ada bencana seperti saat ini dievaluasi. Sementara tambang-tambang galian C di Jalan Solok-Solok Selatan yang telah berpuluh-puluh tahun melumpuhkan dan merusak jalan dan itu tidak pernah dievaluasi,” pungkasnya. (h/fzi)