PADANG, HARIANHALUAN.ID — Hampir seluruh wilayah pesisir pantai di Provinsi Sumatra Barat, saat ini tengah menghadapi ancaman kerusakan serius akibat terjadinya abrasi pantai atau pengikisan daratan oleh gelombang air laut.
Perlu langkah serius dan kongkrit dari pemerintah daerah untuk menyelamatkan wilayah daratan pesisir pantai Sumatra Barat yang kian hari makin berkurang dikikis gelombang Abrasi.
Terutama dengan menyusun ulang dokumen rencana zonasi serta detil tata ruang yang sampai saat ini masih banyak menyalahi aturan serta mengabaikan wilayah-wilayah tertentu yang seharusnya tetap menjadi daerah konservasi seperti hutan bakau, mangrove dan nipah.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Barat mengatakan, laju pengikisan daratan wilayah pesisir Sumbar oleh gelombang laut atau abrasi, terus meningkat berkali-kali lipat sejak sepuluh tahun belakangan.
“Laju abrasi pantai Sumbar saat ini bahkan sudah mencapai 4 sampai 10 meter per tahunnya. Meningkat berkali-kali lipat dibandingkan dengan laju abrasi sepuluh tahun yang lalu,” ujar Kepala Departemen Advokasi WALHI Sumbar, Tomi Adam kepada Haluan Selasa (16/1/2024).
Beberapa titik abrasi pantai terparah berdasarkan amatan Walhi Sumbar, diantaranya adalah di daerah Sungai Limau dan Gasan di Kabupaten Padang Pariaman serta di sejumlah lokasi di Kota Padang seperti di Pantai Padang, Purus, Pasia Jambak, Pasia Nan Tigo, Muaro dan sebagainya
Berdasarkan tinjauan lapangan Walhi Sumbar di sejumlah daerah itu, akan ada ribuan kepala keluarga nelayan yang akan terancam kehilangan tempat tinggal dan wilayah kelolanya akibat terjadinya abrasi pantai.
“Sudah banyak rumah masyarakat yang bagian belakangnya sudah habis dan langsung menghadap gelombang atau ombak. Dampaknya sudah sangat serius baik dari segi hilangnya rumah masyarakat atau bahkan terjadinya banjir Rob seperti di Pasaman maupun daerah lainnya,” kata Tomi menjelaskan,
Tomi menilai, kerusakan lingkungan akibat abrasi, juga semakin diperparah dengan banyaknya persoalan yang terjadi di seputar penata kelolaan zonasi wilayah pesisir pantai Sumbar. Terutama akibat terjadinya pembiaran alih fungsi kawasan lindung wilayah pesisir.
“Ada pembiaran di wilayah-wilayah yang bukan dari perkotaan, hal itu terjadi di Kota Padang dan Padang Pariaman. Dua kota ini tidak lagi memainkan peran untuk melindungi wilayah sempadannya dari abrasi,” bebernya.
Kondisi yang terjadi di dua Kota itu, kata Tomi, terjadi banyak pembiaran atas tumbuhnya bisnis tambak-tambak udang ilegal di daerah-daerah yang seharusnya menjadi kawasan lindung atau areal vegetasi tanaman Mangrove, bakau atau Nipah.
“Di dua kota ini , bahkan banyak ditemukan tambak udang berada di titik lokasi nol meter pasang tertinggi. Bukan lagi di 100 tapi sudah di 0 meter. Ini terjadi di Tambak Udang yang berada di dekat Bandara Internasional Minangkabau,” tutur tomi. (*)