Diskusi Publik 19 Tahun AJI Padang, Pertaruhan Muruah Demokrasi di Tengah Gejolak Pemilu

Diskusi Publik AJI Padang dengan tema Masyarakat Sipil Menghadapi Pemilu 2024 menyoroti sejumlah tantangan demokrasi hari ini di tengah dinamika tahun politik. IST

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Dinamika Pemilu 2024 yang terus bergulir tidak boleh menggerus demokrasi yang berdampak pada menyempitnya ruang kebebasan masyarakat sipil masyarakat, krisis politik lingkungan, hingga marginalisasi masyarakat adat di Sumatera Barat (Sumbar).

Hal ini menjadi sorotan utama dalam diskusi publik 19 Tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang Sabtu, (27/1). Hadir sebagai pembicara Direktur LBH Padang Indira Suryani, Direktur WALHI Sumbar Wengki Purwanti, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Charles Simabura, dan Direktur YCMM Rivai Lubis dengan moderator Hendra Makmur dari AJI Padang.

Direktur Pusako Charles Simabura berpendapat, Pemilu 2024 merupakan pertaruhan demokrasi, yang terlihat nyata dimainkan oleh aktor politik.

“Jika 2019 terlihat polarisasi, di Pemilu 2024 kita lihat bagaimana dinasti politik tanpa malu memamerkan hasrat kekuasaan mereka, misal upaya perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode,” ujar Charles.

Pemberangusan demokrasi, imbuh Charles justru dilakukan oleh pemimpin sipil yang sebelumnya diharapkan dapat membawa perubahan positif namun kini menuai kekecewaan.

“Kita sama-sama saksikan bagaimana seorang pemimpin sipil akhirnya berubah haluan dan meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi yang pernah dijunjung tinggi,” tambahnya.

Untuk itu, ia menambahkan, inisiatif kolektif dari masyarakat sipil dalam memperjuangkan demokrasi perlu dirawat.

“Kita berada di titik pertaruhan demokrasi. Kita ingin memilih pemimpin baru yang dapat membawa perubahan positif atau mempertahankan kebijakan masa lalu yang telah terbukti berhasil,” ujarnya. 

Direktur LBH Padang Indira Suryani mengungkapkan penyempitan ruang gerak masyarakat sipil ditandai dengan tren kasus kriminalisasi yang mencapai puncaknya pada 2023.

“Kami melihat angka kriminalisasi terhadap petani dan penangkapan pembela HAM melonjak drastis pada tahun 2023. Aparat melakukan intimidasi terhadap mereka yang berani menyuarakan pendapat,” ujarnya.

Tak hanya kriminalisasi, penyempitan ruang gerak masyarakat sipil, menurutnya ditandai dengan maraknya pembubaran demonstrasi. 

“Sepuluh tahun lalu, demonstrasi jarang dibubarkan. Namun kini kami sering melihat penangkapan dan pembubaran demonstrasi oleh aparat keamanan,” ujar Indira. 

Sementara itu, Direktur WALHI Sumbar Wengki Purwanto menyoroti bagaimana krisis politik membawa krisis ekologi. Ia mengibaratkan panen bencana ekologis akan semakin terakumulasi jika memilih pemimpin yang peduli terhadap lingkungan..

Wengki melihat bahwa agenda pembangunan pemerintah saat ini lebih mengutamakan kepentingan pengusaha daripada kepentingan rakyat.

“Contoh PSN di Air Bangis. Bagaimana bisa 70 persen dari luas wilayah nagari tersebut diberikan kepada badan hukum korporasi. Rakyat dipenjara karena berada di kawasan hutan yang ironisnya akan dihapuskan untuk kepentingan komersialisasi,” paparnya.

Di sisi lain, Direktur YCM Mentawai Rifai Lubis menyoroti marginalisasi yang dialami oleh masyarakat adat dalam proses pembangunan. Ia menilai, kebijakan dan undang-undang yang ada cenderung mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.

“Pemilu hanya memberi harga pada kelompok mayoritas, sementara masyarakat adat sering diabaikan,” tuturnya.

Rifai menjelaskan idealnya pemilihan pemimpin dan pengambilan kebijakan harus memperhitungkan hak-hak masyarakat adat. “Salah satu fungsi pemilu adalah seleksi kebijakan. Pemilu harus menawarkan kebijakan yang mengakomodasi hak-hak masyarakat adat,” tambahnya. (h/fzi)

Exit mobile version