Showcase Buni-Bunian, Komponis Lintas Genre Sumatera Unjuk Gigi di Padang

FKM Sumbar kembali menggelar Showcase Buni-Bunian #4 di Kota Padang dengan menampilkan berbagai kalangan mulai dari komunitas, musisi, praktisi, akademisi dan lainnya.

FKM Sumbar kembali menggelar Showcase Buni-Bunian #4 di Kota Padang dengan menampilkan berbagai kalangan mulai dari komunitas, musisi, praktisi, akademisi dan lainnya.

PADANG, HARIANHALUAN.ID— Showcase Buni-Bunian #4 yang digelar Forum Komponis Muda Sumatra Barat (FKM Sumbar) di Kota Padang berhasil mencuri antusias publik dengan hadirnya beragam pengunjung dari berbagai kalangan mulai dari komunitas, musisi, praktisi, akademisi dan lainnya.

Ketua FKM Sumbar Jumaidil Firdaus menyebutkan showcase #1 hingga #3 kali ini disambut dengan antusias masyarakat yang cukup tinggi, sebagai bentuk apresiasi karya komponis. Helatan ini sengaja digelar di ruang publik sehingga komposisi musik yang dihadirkan tidak berjarak dari masyarakat.

“Dari Showcase Buni-Bunian #1 hingga #4, terhitung ada 20 komponis yang kami libatkan. Pada helatan kali ini, kita memperluas jangkauan. Jika dulu hanya merangkul komponis dari Sumatra Barat, kini melibatkan 2 daerah lain yakni Jambi dan Bangko. Selain itu, helatan kali ini juga menampilkan karya dari komponis perempuan,” ujarnya Jumat (24/5/2024).

Showcase Buni-Bunian #4 melibatkan 6 komponis berbakat asal 5 daerah di Sumatra yakni Angga Mozaik dari Pariaman, Yogi Rizaldi dari Jambi, Azzura Yenli Nazrita dari Agam, Deni Januarta dari Padang, Deddy Setiawan dari Bangko dan Ossi Dharma dari Padang.

Angga Mozaik menjadi penampil pertama dengan judul karya Overcoding. Overcoding berangkat dari pembacaan pengkarya tentang budaya Minangkabau, di mana kode menjadi fenomena sekaligus konsep sentral. Pada praktik komunikasi sosial, kode menjelma dalam bentuk dialek, bahasa, postur, gestur, sikap dan lainnya yang secara tidak langsung membentuk identitas individu, kelompok atau suku. Pengkarya menggunakan laptop untuk menafsirkan ‘kode’ dalam bentuk audio atau suara yang diolah dengan gaya soundart.

Deddy “Chunded” Setiawan menyuguhkan karya yang berjudul Phubbing. Pengkarya membaca fenomena di mana orang lebih memilih fokus kepada gadget dan mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Kondisi itu menimbulkan ketidaknyamanan karena interaksi antar personal yang berubah.

Kemudian ada Ossi Darma dengan judul karya Suasanada. Pada karyanya, Ossi mencoba mendobrak asumsi lama bahwa minor cenderung sedih dan mayor cenderung senang. Ia meyakini bahwa setiap jalinan nada di setiap instrumen memiliki suasana tersendiri dan interpretasi yang luas. Ossi menghadirkan komposisi musik yang menggabungkan musik digital dengan beberapa medium tradisional.

Yogi Rizaldi tampil pada Showcase Buni-Bunian ini dengan karyanya berjudul Trance. Trance merupakan kondisi kesadaran yang berada di luar kendali pikiran. Pengkarya mengamati fenomena trance yang terjadi saat pembacaan mantra (nyerau) untuk memanggil roh halus pada upacara ritual tradisi ngagah harimau pada masyarakat Pulau Tengah, Kabupaten Kerinci. Beberapa bagian syairnya berisi tentang mantra tradisi dan diiring musik digital, gitar, dan triangle.

Deni Januarta membawa karya yang berjudul Sisyphus. Pengkarya mengamati tentang hilangnya makna, nilai , dan kemanusiaan pada pencapaian karya seni itu sendiri. Melalui karyanya, Deni ingin menyampaikan bahwa karya merupakan wujud yang sangat personal, jujur, dan apa adanya.

Terakhir ada Azzura Yenli Nazrita yang menampilkan karya komposisi dengan judul Niscala. Niscala berasal dari bahasa sansekerta yang berarti kuat dan kokoh. Pengkarya membaca fenomena perempuan yang berjuang untuk hidup, di tengah gempuran budaya patriarki. Pembacaan itu kemudian dijelma dalam syair lagu, ketukan gong yang dipukul oleh 6 perempuan yang duduk melingkar, dan gerakan tubuh para penampil.

“Pada sesi pertama, setiap komponis menampilkan karyanya. Di sesi kedua, mereka diminta untuk memaparkan gagasan dan proses kreatif dalam berkarya,” ujar Jumaidil.

Seniman multi instrumentalist Taufik Adam menilai, Showcase Buni-Bunian kali ini menarik karena disupport oleh banyak komunitas. Ia juga menyebutkan bahwa seluruh pembiayaan kegiatan dikumpulkan secara kolektif mulai dari penyediaan tempat, peralatan, sound system sampai ke konsumsi penampil. 

“Showcase Buni-Bunian ini merupakan ruang eksperimental yang menghasilkan praktik baru, dikritik dan kemudian diperbaharui,” ujarnya. (*)

Exit mobile version