PADANG, HARIANHALUAN.ID – Pakar otonomi daerah Indonesia, Prof. Djohermansyah Djohan pada peringatan Hari Jadi Sumatra Barat ke-78 menyampaikan beberapa pesan sebagai strategi akselerasi pemerintahan Sumatra Barat ke depan. Dia berpesan agar pandai-pandai menjalin relasi dengan pemerintah pusat dan rangkul para perantau.
Menyigi capaian yang diraih Sumatra Barat saat ini, baik dari IPM, angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, indek demokrasi serta total APBD tahun 2023, Djohermansyah mengungkap beberapa kendala.
Daerah ini juga termasuk minim sumber daya alam dari mineral dan pertambangan, serta industri dan jasa tidak berkembang. Kendala juga terkait kepada kemandirian fiskal. Kolaborasi dengan stakeholder kurang berkembang, serta relasi dengan pusat kurang terjalin.
Untuk itu, beberapa strategi akselerasi yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Sumatra Barat ke depan, menurut Djohermansyah Djohan, antara lain, pandai-pandai menjalin relasi dengan orang pusat atau penguasa negara. Sapa dan rangkul para perantau.
“Perkuat perencanaan terintegrasi kabupaten/kota, provinsi dan pusat, manfaatkan momentum pascapemilu dan Pilkada 2024. Kemudian, bangun governansi publik, gerakkan desentralisasi budaya secara masif, serta kembangkan pilot proyek DPRD inovatif,” saran akademisi dan birokrat kelahiran Padang, 21 Desember 1954, ini.
Kepada Haluan beberapa hari lalu, Prof. Djo, panggilan akrab Dirjen Otda Kemendagri tahun 2010 ini, mengilas balik kepemimpinan efektif, legitimate dan acceptable sejumlah pemimpin Sumbar masa lalu. Ada Harun Zein, Azwar Anas dan Hasan Basri Durin.
Menyadari begitu hancurnya mentalitas harga diri orang Minang pascakekalahan PRRI, Gubernur Sumbar saat itu, Harun Zein kemudian menggelorakan semangat mambangkik batang tarandam di tengah-tengah masyarakat banyak.
Gerakan rakyat ini, diikuti dengan dimainkannya politik malakok ke pemerintah pusat era orde baru oleh Gubernur Harun Zein beserta sejumlah Gubernur penerus kepemimpinannya. Politik yang lebih adaptif dan kompromis dengan Jakarta ini, diambil karena para pemimpin Sumbar saat itu, sadar betul bahwa Sumbar tidak punya kemampuan yang cukup untuk membangun daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat.
“Itu sesuai dengan pepatah Minang, kalau takuik jo ujuang badia, lari ka pangka badia. itu yang dilakukan pemerintah daerah Sumbar waktu itu, mulai dari Pak Harun Zein, Azwar Anas hingga Hasan Basri Durin,” ucapnya.
Prof Djo bercerita, para pemimpin Sumbar usai PRRI kala itu, benar-benar bersungguh-sungguh untuk merebut kembali hati pemerintah pusat era orde baru. Lewat kepiawaian sederet mantan pemimpin Sumbar pasca PRRI mengambil kembali hati pemerintah pusat ini, satu persatu program maupun mega proyek pembangunan dari pusat pun akhirnya mulai mengucur deras ke Sumatra Barat.
Selain personal touch sejumlah mantan Gubernur Sumbar yang berhasil menyenangkan hati pemerintah pusat, tambah Prof Djo, pada masa itu Sumbar juga memiliki kepemimpinan daerah yang efektif dan dapat diterima oleh semua kalangan. Mulai dari jajaran bupati/wali kota, akademisi, tokoh agama maupun adat. Ketika itu semuanya seiya sekata dan satu garis komando bahu membahu membangun Sumbar.
“Kepemimpinan Sumbar saat itu dapat diterima semua pihak atau acceptable. Sebab selain pimpinan daerah, mereka juga pimpinan adat sebagai datuak, serta pandai pula mengaji di surau sebagai ulama. Konsep tali tigo sapilin tigo tungku sajarangan memang saat itu benar-benar hidup,” jelas Prof Djo.
Menurutnya, kepemimpinan yang efektif, acceptable, stabil dan didukung penuh masyarakat banyak seperti yang pernah terjadi di era kepemimpinan Gubernur Harun Zein dan setelahnya, telah terbukti mampu mewujudkan percepatan pembangunan Sumbar di masa lalu.
Namun sayangnya, menurut Prof Djo, kepemimpinan efektif, legitimate dan acceptable seperti yang pernah terjadi di Sumbar pada masa lampau, nyaris sulit diwujudkan didalam sistem politik demokrasi Indonesia yang menganut sistem one man one vote seperti saat ini.
Sebab dalam sistem kepartaian serta demokrasi Indonesia saat ini, pada akhirnya membuat semua kebijakan politik, termasuk pembangunan, diputuskan lewat kacamata pertimbangan elektoral pemilu.
“Terjadi perubahan sistem politik, sistem pemerintahan kita tidak begitu efektif. Begitupun dengan aksesibilitas jaringan pemerintahan ke bawah. Dengan bupati/wali kota tidak cukup acceptable, apalagi dengan rakyat yang kini sudah tidak lagi menaruh rasa hormat kepada pemimpinnya,” ucap Pakar Otonomi Daerah Indonesia ini.
Hubungan daerah dengan pemerintah pusat pun, kini tidak lagi begitu baik. Sebab harus diakui, pada masa sekarang ini, baiknya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, sangat ditentukan oleh faktor kemenangan elektoral pilpres dan sebagainya.
“Jadi sakali aia gadang, sakali tapian barubah. Cukup sulit bagi kita untuk mambangkik batang tarandam. Saya meyakini, kejayaan suatu bangsa, itu dipergilirkan. Ini penting untuk kita refleksi. Dulu kita memang hebat, Tapi sekarang tidak lagi. Kita tidak boleh terus-terusan terjebak dengan masa lalu,” ucap Prof Djo.
Meskipun demikian, dengan segala keterbatasan sumber pembiayaan pembangunan yang ada, di tengah realitas politik saat ini, sangat penting bagi Sumbar untuk memiliki kepemimpinan yang acceptable dan dapat diterima semua pihak. Baik itu di skala daerah maupun nasional. “Sebab kepemimpinan seperti itu, sudah pernah terbukti berhasil untuk mewujudkan percepatan pembangunan. Sekalipun kita memiliki sumber daya alam dan jumlah APBD yang sangat terbatas,” ujarnya. (*)