Kekerasan Seksual Marak Terjadi, Perda Ketahanan Keluarga Pemprov Sumbar Menuai Tanya

Ilustrasi Ketahanan Keluarga. Pixabay

PADANG, HALUAN — Sejak diterbikan tahun 2018 lalu, implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) Nomor 17  Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga dinilai masih cukup lemah. Oleh karena itu, evaluasi dalam pelaksanaan regulasi itu dinilai sangat mendesak, terutama guna melindungi anak-anak dari potensi aksi kekerasan seksual.

 

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Andalas (Unand) Aidinil Zetra menilai, Perda Nomor 17 Tahun 2018 seyogyanya sangat tepat guna mewujudkan keharmonisan serta menumbuhkan rasa saling menghargai dalam keluarga. Sehingga, kualitas keluarga terus berkembang dan meningkat, baik secara fisik, sosial, dan mental-spiritual.

“Namun, implementasi Perda ini masih lemah. Ada beberapa faktor yang membuat Perda ini tidak efektif, di antaranya ketersediaan sumber daya untuk pelaksanaan Perda, dan koordinasi yang tidak jalan antara organisasi pelaksana, baik formal maupun informal yaitu antara pemerintah daerah, keluarga, dan masyarakat,” kata Aidinil kepada Haluan, Selasa (23/11).

Menurutnya, komunikasi antara pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Perda tersebut belum terkoordinir dengan jelas, dan terkesan tidak konsisten dalam menjalankan ketetapan yang telah diatur dalam Perda tersebut. Termasuk juga koordinasi dengan elemen-elemen masyarakat yang terlibat dalam membangun ketahan keluarga.

“Peran pemerintah dalam penerapan Perda ini hampir tak terlihat serius. Selain itu, peran masyarakat juga lemah. Seluruhnya hampir tidak ada komunikasi dan koordinasi yang jelas. Padahal, di dalam Perda ini segala sesuatunya telah diatur sedemikian rupa,” katanya lagi.

Aidinil menambahkan, Pemda mestinya memfasilitasi penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga, mulai dari memberikan perlindungan, pemenuhan kebutuhan, penghormatan, dan diseminasi secara teratur terhadap penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga.

“Jika komunikasi dan koordinasi dalam pelaksanaan Perda ini baik, maka semua pihak akan dapat mengetahui dan menjalankan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing,” katanya.

Mungkin Tak Relevan Lagi

Sementara itu, Pengamat Sosial dari UIN Imam Bonjol Padang, Muhammad Taufik, juga menyampaikan hal yang sama, bahwa secara legalitas dan keabsahan, Perda Ketahanan Keluarga tersebut tidak bermasalah. Namun yang menjadi masalah adalah para penanggung jawab dari pelaksanaan Perda itu sendiri.

“Jika pelaksananya adalah Satpol PP, maka apakah perangkatnya cukup untuk mengawal ini. Lalu, variabel terakhir ada di masayrakat, apakah dinamika perubahan dan transformasi yang terjadi di tengah masyarakat dijawab dengan aturan atau Perda yang diterbitkan itu. Bisa jadi tidak berjalannya Perda itu karena tidak menjamah perubahan-perubahan yang terjadi di tengah masyarakat. Sederhananya, Perda tidak lagi relevan,” kata Taufik.

Ia menilai, salah satu tujuan dari Perda Nomor 17 Tahun 2018 adalah untuk mengatasi masalah kekerasan seksual sebagaimana marak terjadi belakangan ini di Sumbar. Namun faktanya, masalah itu belum cukup mampu diatasi oleh Perda Ketahanan Keluarga, lantaran belum diimplementasikan dengan baik.

“Perda-perda yang ada setelah bertahun-tahun terbit itu, tidak lagi pernah dievaluasi dan dikaji. Pemda tidak serius dalam melakukan evaluasi terhadap berbagai produk aturan hukum yang sudah mereka terbitkan. Saya belum pernah mendengar Pemda menggelar diskusi atau semacamnya tentang evaluasi efektivitas sebuah Perda. Di sini letak kelemahannya,” ucap Taufik lagi.

Selain itu, sambung Taufik, berulangnya kasus kekerasan seksual terhadap anak kuat diduga karena belum munculnya ketegasan Kepala Daerah di Sumbar untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak. Menurutnya, simpati atas kekerasan seksual terhadap anak tidak cukup untuk menghentikan kasus, tetapi butuh tindakan yang jelas dari kepala daerah.

“Saat kepala daerah sudah memiliki pengetahuan dan kepedulian atas ancaman seperti ini, maka akan muncul empati, setelah itu dia akan langsung action dengan melahirkan kebijakan. Kita lihat sekarang, jangankan jadi political will, dijadikan diskursus pun tidak, apalagi melahirkan kebijakan,” katanya.

Taufik  menilai, terbitnya Perda yang berkaitan dengan ketahan keluarga atau penanggulangan kekerasan terhadap anak lahir karena kewajiban dari UU di atasnya yang menuntut kepala daerah untuk melahirkan produk aturan serupa. Jadi, bukan lahir dari empati atau kepedulian kepala daerah dalam membangun ketahanan keluarga.

Padahal, kata Taufik, salah satu penyebab masih munculnya kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah lemahnya proteksi dari keluarga inti kepada anggota keluarga. Di samping itu, perubahan nilai yang terjadi membuat anak tidak lagi dijadikan aset komunitas atau komunal.

“Anak sekarang menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya atau sebatas keluarga inti saja. Sensitivitas kolektif masyarakat sudah berkurang, nilai yang dianut masyarakat sekarang sangat individualis. Sifat atau nilai kolektif, kekeluargaan, dan gotong royong sudah mulai pudar, sehingga kepedulian sesama terhadap lingkungan lemah,” katanya.

Taufik menambahkan, dalam menyelesaikan persoalan ini, diperlukan kesadaran dan kepedulian bersama serta mencari kebijakan bersama agar tidak lagi terulang. Sebab, selama ini kata Taufik, negara atau pemerintah membicarakan negara dengan perspektif negara atau kepala daerah saja.

Ribuan Kasus Kekerasan

Sebelumnya diberitakan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sumbar mencatat jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sumbar mencapai 1.000 kasus dalam empat tahun terakhir. Kepala daerah dan seluruh pihak diminta lebih peduli dan berperan aktif melindungi anak-anak dari ancaman predator seksual anak.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas PPPA Provinsi Sumbar, Desra Elena menyampaikan, jumlah anak korban kekerasan seksual di Sumbar sudah menunjukkan gejala yang semakin mengkhawatirkan. Ditambah lagi sebagian besar pelaku berlatar belakang orang dekat korban.

“Jumlah anak korban kekerasan seksual di Sumbar terbilang banyak dan mengkhawatirkan. Total dalam empat tahun terakhir ada 1.026 kasus. Apalagi para pelaku kekerasan, terutama kekerasan seksual, kebanyakan berasal dari lingkaran terdekat korban seperti anggota keluarga,” ujar Elena kepada Haluan, Jumat (19/11).

Berdasarkan laporan Dinas PPPA Sumbar, pada 2018 jumlah kekerasan seksual terhadap anak tercatat 282 kasus, kemudian pada 2019 meningkat menjadi 320 kasus, lalu pada 2020 korban kekerasan seksual mencapai 299 korban. Sementara itu pada 2021, dari Januari sampai November, jumlah kasus kekerasan anak mencapai 125 kasus.

Menurut Elena, perlu peran aktif dari seluruh pihak dalam mencegah kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dinas PPPA sendiri telah memberikan arahan kepada Unit PPPA tingkat kota dan kabupaten untuk menyalakan deteksi dini dengan cara meningkatkan pengawasan di lingkungan masyarakat.

“Belakangan ini, concern dari masyarakat tentang isu kekerasan seksual di Sumbar kami nilai meningkat, kenaikan kepedulian masyarakat akan terus kami dorong dengan cara menggencarkan sosialisasi dan membentuk tim pengawasan hingga lingkungan RT dan RW,” ujarnya. (h/mg-rga)

Exit mobile version