PADANG, HARIANHALUAN.ID– Kontestasi pemilihan kepala daerah atau Pilkada Sumbar pada November mendatang masih minim dari calon perempuan. Fenomena ini dinilai akibat gagalnya kaderisasi partai politik di Sumbar
Berdasarkan sejumlah nama yang telah muncul untuk maju di Pilkada Sumbar di tingkat provinsi atau kabupaten/walikota terdapat beberapa kandidat perempuan yaitu anggota DPD RI, Emma Yohan serta politisi dari PKB, Sovia Laurent, yang akan bersaing di Pilwako Padang. Selanjutnya, lulusan Amerika, Winda Lorita yang akan maju di Pilwako Payakumbuh, dan Emiko Epyardi yang disebut akan berlaga di Pilkada Kabupaten Solok.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand), Asrinaldi, menyebutkan, meski tak banyak, majunya sejumlah tokoh perempuan dalam bursa Pilkada 2024 merupakan langkah yang patut diapresiasi.
Menurutnya, hal ini menunjukkan perkembangan positif dalam demokrasi di Indonesia, di mana perempuan mulai mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk bersaing dalam institusi pemerintahan.
“Saya melihat mereka sebagai sosok yang demokratis, bahwa mereka melihat kekuatan politik tidak melulu harus dipegang oleh laki laki. Perempuan juga punya kesempatan yang sama sepanjang mereka memiliki kompetensi yang bisa mereka bawa untuk bersaing dalam institusi pemerintahan,” kata Asrinaldi.
Asrinaldi juga menyoroti bahwa di banyak negara lain, perempuan telah berhasil menjadi pemimpin yang sukses. Namun, di Indonesia, budaya patriarki masih kuat sehingga perempuan seringkali tidak diperhitungkan sebagai pemimpin yang potensial.
“Patriarki masih membudaya di negara ini. Menurut survei, masyarakat Sumbar memang tidak mempermasalahkan pemimpin itu dari kalangan perempuan atau laki-laki. Namun, ketika tokoh perempuan yang maju, mereka masih tampak ragu-ragu untuk memilih. Artinya mereka melihat kalau sosok perempuan masih banyak halangan untuk menjadi pemimpin sehingga perempuan harus bekerja lebih dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk memilihnya,” ucapnya.
Asrinaldi menegaskan bahwa peluang untuk perempuan menjalankan roda pemerintahan sama besarnya dengan laki-laki. Dalam pandangannya, seharusnya tidak ada diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam memilih pemimpin.
“Dalam permasalahan ini, masyarakat seharusnya lebih paham bahwa yang paling penting adalah siapa sosok figur yang maju tersebut. Jangan sampai ada diskriminasi dalam demokrasi,” ujar Asrinaldi.
Dengan semakin banyaknya tokoh perempuan yang maju dalam Pilkada 2024, diharapkan masyarakat dapat lebih terbuka dan objektif dalam memilih pemimpin, sehingga demokrasi di Indonesia bisa berkembang lebih inklusif dan adil.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Riset Aljabar Eksekutif Indonesia, Arifki Chaniago, menyatakan bahwa panggung politik Sumbar sebenarnya sangat terbuka bagi kandidat politisi perempuan.
Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya Emma Yohana sebagai Anggota DPD RI dua kali berturut-turut serta keberhasilan empat politisi wanita Sumbar lainnya yang duduk di kursi DPR-RI pada Pileg 2024 lalu.
“Kalau di level legislatif, kepemimpinan wanita punya ruang yang besar. Namun, dalam konteks Kepala Daerah, sejauh ini belum pernah ada Bupati/Wali Kota perempuan,” ujar Arifki.
Arifki mengakui bahwa tidak banyak politisi wanita Minang yang muncul tanpa privilege tertentu, baik itu sebagai istri politisi atau pengusaha. Kondisi ini dipengaruhi oleh mahalnya biaya politik dalam sistem perpolitikan Indonesia saat ini, ditambah dengan berubahnya perspektif masyarakat pemilih Sumbar yang cenderung mengutamakan faktor takah (keterampilan), tageh (kekuatan), dan tokoh (kepribadian) dalam menetapkan kriteria pemimpin ideal. (*)