Kasus Kekerasan Anak di Sumbar Kian Mengkhawatirkan 

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Padang mencatat sebanyak 42 kasus kekerasan terhadap anak.

Kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa Nia Kurnia di Kayu Tanam, Padang Pariaman harus menjadi peringatan keras bagi Sumbar

PADANG, HARIANHALUAN.ID— Belum usai kegemparan publik Sumbar usai terungkapnya kasus pelecehan seksual sesama jenis yang dilakukan oknum penjaga guru di Madrasah Tarbiyah Islamiyyah (MTI) Canduang, Kabupaten Agam, kasus kekerasan anak serupa kembali terjadi di pondok pesantren lainnya di Agam. 

Kali ini peristiwa yang sama terungkap di salah satu pesantren di Kecamatan Tilatang Kamang. Seorang santri senior lelaki dilaporkan telah menyodomi berkali-kali seorang juniornya di sebuah gubuk yang berada di areal perkebunan warga. 

Dua kasus perilaku seksual menyimpang ini menyentak kesadaran masyarakat Sumbar. Menyalakan alarm terkait rentan terjadinya kasus-kasus LGBT yang menyasar institusi pendidikan serta mengancam moralitas generasi muda masa depan Sumatera Barat (Sumbar). 

Data terbaru Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Sumbar menyatakan, tren terjadinya kekerasan seksual maupun fisik terhadap anak dan perempuan di Ranah Minang dari tahun ke tahun kian mengkhawatirkan. Pada tahun 2023 lalu, tercatat ada sebanyak 783 kasus kekerasan terhadap anak dengan jumlah korban mencapai 841 orang. 

Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan, berjumlah sebanyak 268 kasus dengan jumlah korban berjumlah 272 orang. Terbaru, per 30 Juni 2024 kemarin, Simfoni PPA mencatat adanya 242 kasus kekerasan terhadap anak dengan jumlah korban 274 orang. 

Sumber yang sama juga merekam 105 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban berjumlah 105 orang. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumbar sendiri juga menunjukkan terjadinya tren kenaikan, setidaknya dalam empat tahun terakhir. 

Pada tahun 2020 jumlah kasus yang tercatat berjumlah 427 kasus. Angka itu, kemudian naik menjadi 548 kasus pada 2021 dan 567 kasus pada 2022. Pun halnya dengan kasus kekerasan terhadap perempuan. 

Pada 2020 tercatat sebanyak 188 kasus. Lalu, pada 2021 naik menjadi 205 kasus dan kembali naik pada 2022 menjadi 228 kasus. 

Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Hak Perempuan dan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3 AP2KB) Sumbar, Rosmadeli membenarkan terjadinya tren kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak Sumbar tersebut. 

“Seperti tahun-tahun sebelumnya, tren kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan pada tahun 2024 ini masih didominasi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan keluarga. Pelakunya rata-rata adalah orang terdekat,” ujarnya.

Rosmadeli menyatakan, kasus kekerasan seksual di Sumbar saat ini cukup mengkhawatirkan. Sebagian besar pelaku, justru adalah orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung bagi korban. 

Para pelaku rata-rata adalah orang yang sangat sulit untuk dipercaya melakukan aksi keji itu. Contohnya saja, ada kasus yang dilakukan oleh guru, ayah kandung, atau bahkan keluarga terdekat korban lainnya. 

Namun begitu, jika dilihat dari angka pelaporan kasus, kejadian seperti ini masih berupa fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan diperkirakan masih belum mampu menggambarkan jumlah kasus sesungguhnya yang terjadi di masyarakat. 

“Perlu kita cermati, untuk kasus kekerasan terhadap anak, satu pelaku bisa saja punya lebih dari satu korban. Namun kasus kekerasan terhadap perempuan, satu pelaku satu korban. Bentuknya berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” katanya. 

Rosmadeli menegaskan bahwa di tengah kondisi ini, DP3AP2KB Sumbar tidak tinggal diam. Dalam waktu dekat, pihaknya bersama Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Sumbar akan segera mengumpulkan seluruh keluarga korban yang bersekolah di dua pesantren di Kabupaten Agam yang saat ini tengah berkasus. 

Para keluarga korban akan mendapatkan edukasi penguatan serta dan pendampingan secara massal oleh ahli dan psikolog. Namun hal itu berpotensi sulit dilakukan secara sempurna jika para orang tua panik dan memindahkan anak mereka ke sekolah lainnya. 

“Seharusnya dalam kondisi seperti ini kita tidak boleh panik dahulu. Kita harus mengumpulkan secara massal semua orang tua yang anaknya menjadi korban. Kita edukasi secara massal oleh psikolog. Penguatan ini penting demi sempurnanya proses rehabilitasi psikologis dan mental anak-anak yang menjadi korban,” tuturnya. 

Rosmadeli menjelaskan, para orang tua yang anaknya terindikasi pernah menjadi korban, harus tahu gejala perilaku apa yang perlu diwaspadai dari si anak serta cara penanganan maupun apa yang harus dilakukan. 

Oleh karena itu, seluruh keluarga korban diharapkan tetap tenang dan tidak panik. Ia memastikan, proses penjangkauan, pendampingan, maupun asesmen akan segera dilakukan secara bertahap oleh dinas terkait di pemerintah kabupaten/kota maupun provinsi. 

“Saat ini bukan lagi saatnya bagi kita untuk mencari siapa yang salah. Pelaku sudah ditangkap polisi, proses hukum sedang berjalan. Kita sudah seharusnya mulai fokus kepada pemulihan para korban,” katanya lagi. 

Rosmadeli menyampaikan, ada dua strategi pencegahan yang selama ini terus dilancarkan DP3AP2KB Sumbar, yaitu penguatan kalangan keluarga rentan yang berasal dari kalangan keluarga miskin dan mendorong edukasi seksual secara dini bagi seluruh anak-anak. 

“Kasus kekerasan akan sangat rentan menimpa keluarga kalangan miskin. Maka dari itu, kalangan ini kami jangkau dengan cara meningkatkan ekonomi perempuan penyintas kekerasan, yang di dalam keluarganya sudah ada pelaku maupun korban kekerasan. Itu menjadi target advokasi kita bersama dengan berbagai pihak,” katanya. 

Kedua, seluruh pihak harus mulai peduli untuk meningkatkan edukasi terhadap anak untuk bisa menolak kekerasan, atau bahkan angkat bicara jika menjadi korban apabila mengalami. 

“Makanya edukasi pendidikan seks dini kepada anak dan edukasi bagaimana sang anak menghormati dirinya penting kita lakukan. Sehingga anak bisa menolak atau bahkan speak up jika menjadi korban,” ujarnya. (*)

Exit mobile version