Kotak Kosong Pilkada Dharmasraya Pertanda Kemunduran Demokrasi Sumbar

Bakal calon Pasangan Pilkada Dharmasraya Annisa Suci Ramadhani dan Lely Arni akan menjalani  cek kesehatan di RS M Jamil Padang.

Bakal calon Pasangan Pilkada Dharmasraya Annisa Suci Ramadhani dan Lely Arni akan menjalani  cek kesehatan di RS M Jamil Padang.

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Fenomena kotak kosong Pilkada Dharamasraya dengan satu pasangan calon yang mendaftar di KPU dinilai menjadi potret kemunduran demokrasi di Sumatra Barat.

Hingga hari pendaftaran terakhir pada Kamis (29/8) hanya ada satu paslon yang mendaftar sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Dharmasraya. Mereka adalah Annisa Suci Ramadhani dan Lely Arni yang diusung oleh Gerindra, PDIP, PKB, PPP, Hanura, PKS, Demokrat, PAN, dan Golkar. 

Pengamat Politik Universitas Negeri Padang (UNP), Reno Fernandes mengatakan, minimnya pasangan calon yang diusung oleh partai politik (parpol) memperlihatkan bahwa dinamika parpol itu cukup rumit yang berdampak pada munculnya fenomena kotak kosong Pilkada Dharamasraya.

Bahkan, parpol berani tidak mengusung kadernya untuk maju menjadi calon kepala daerah. “Ini juga menjadi fenomena yang mengherankan. Karena saya berpikir apa sih kekuatan calon yang maju ini sampai-sampai tidak ada partai yang mampu mengusung kadernya untuk melawan satu calon ini,” ujar Reno kepada Haluan, Jumat (30/8). 

Ia menyebut hal itu sebagai pertanda semakin lemahnya demokrasi, sehingga kader yang seharusnya bisa maju dan memiliki kemampuan menjadi terhambat lantaran tidak adanya peluang yang diberikan oleh partai politik. 

“Kenapa tidak ada peluang? Karena adanya calon yang memborong partai politik. Inilah yang terjadi di Dharmasraya, sehingga pasangan tersebut berpeluang besar melawan kotak kosong,” ujarnya. 

Perpanjangan waktu pendaftaran calon kepala daerah kepada daerah yang masih memiliki satu pasangan calon merupakan sebuah kesempatan bagi parpol untuk mengajukan pasangan lain agar fenomena kotak kosong tidak terjadi. 

Ia mengatakan, dinamika politik aneh lain juga terjadi beberapa waktu lalu, di mana parpol mengganti seorang calon yang merupakan ketua umum sebuah partai dan mengusung kader dari partai politik yang lain. 

Ia menganggap hal tersebut sebagai gerak-gerik politik yang semena-mena. “Begitulah realita politik saat ini, dan ini bukan mekanisme yang baik. Parpol menganggap bahwa kekuasaan ada di tangan mereka, sehingga bisa melakukan hal-hal di luar batas. Makanya terjadilah darurat demokrasi,” tuturnya. 

Reno menyebut, dengan adanya perpanjangan waktu pendaftaran kepala daerah, kemungkinan akan ada dinamika yang berubah ataupun perpecahan koalisi. 

Salah satu alasan terbesarnya adalah adanya dorongan dari masyarakat untuk mengusung calon lain. “Jika tidak ada permintaan dari masyarakat, mungkin itu tidak akan berubah. Namun jika tidak ada dorongan, timbul pertanyaan, apakah masyarakat Dharmasraya ikhlas parpol tidak memberikan pilihan lain kepada masyarakat?” tutur Reno. 

Menurutnya, demokrasi saat ini tengah dibajak oleh parpol. Seringkali parpol membuat kebijakan-kebijakan di luar nalar demokrasi. “Memang benar mereka yang bekerja di sana, tapi apa yang mereka dapatkan hari ini merupakan proses legitimasi yang diberikan oleh masyarakat. Jika parpol bekerja seenaknya dan tidak amanah, masyarakat juga bisa marah. Maka di sinilah diperlukan dorongan dari masyarakat agar parpol bisa kembali pada jalannya,” ucap Reno. 

Sementara itu, Peneliti Spektrum Politika, Andri Rusta menilai, peta politik di Kabupaten Dharmasraya tidak bisa dilepaskan dari adanya realitas politik dinasti yang dimainkan oleh beberapa elite daerah. Mencuatnya pasangan Annisa-Lely Arni merupakan bentuk konsensus bersama antara beberapa kelompok dinasti besar di Kabupaten Dharmasraya. 

“Annisa adalah anak kandung mantan Bupati Dharmasraya, Marlon. Di sana mungkin terjadi deal-deal politik antar elite politik dan pemilik modal. Sehingga suksesi kepemimpinan diserahkan kepada Marlon dan suara dibulatkan untuk Anissa,” ujarnya. 

Pengajar Ilmu Politik di Universitas Andalas (Unand) ini menilai, konsensus bersama antar elite politik pada proses peralihan kekuasaan sebenarnya adalah hal yang lazim terjadi di daerah berkultur kerajaan seperti Dharmasraya. 

Secara kultur politik, panggung kekuasan di Kabupaten Dharmasraya setidaknya dikuasai oleh empat kekuatan politik informal besar. Mereka adalah Atut selaku pengusaha tambang, keluarga Sutan Riska Tuanku Kerajaan, keluarga Marlon, dan keluarga mantan Bupati Dharmasraya yang juga Wakil Ketua DPRD, Adi Gunawan. 

“Pasangan Annisa-Lely Arni adalah representasi dari keluarga Marlon dan keluarga Sutan Riska. Apalagi, Lely Arni berasal dari PDIP,” ujarnya. 

Ia menilai, langkah keluarga Sutan Riska Tuanku Kerajaan mendukung majunya Lely Arni sebagai pendamping Annisa Marlon adalah langkah politik yang cukup realistis untuk mengamankan keberlanjutan trah politik mereka. 

“Terlepas dari itu semua ini adalah hal positif bagi Sumbar, karena baru pertama kalinya muncul pasangan kepala daerah perempuan yang lahir lewat kemenangan melawan kotak kosong,” katanya.

 Andri Rusta mengatakan, sosok Adi Gunawan memang sempat digadang-gadang akan menjadi penantang bagi pasangan Annisa-Lely Arni. Tetapi dalam perjalanannya, Adi Gunawan gagal mendapatkan dukungan dari PAN.  (*)

Exit mobile version