PADANG, HARIANHALUAN.ID — Minimnya perhatian dari pemerintah daerah (pemda), terutama dari segi anggaran, membuat para atlet Sumatera Barat (Sumbar) harus berjuang secara mandiri selama persiapan untuk menghadapi Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2024 Aceh-Sumut.
Kenshi asal Sumbar, Nico yang berhasil meraih satu medali emas pada PON XXI 2024 Aceh-Sumut menjelaskan bahwa persiapannya dalam menghadapi PON tahun ini memakan waktu sembilan bulan. Kurun waktu sembilan bulan tersebut ia bagi menjadi tiga bagian, yakni tiga bulan latihan fisik, tiga bulan latihan teknik, dan tiga bulan strategi.
“Dengan jadwal latihan 3-5 kali sehari, karena kondisi badan yang overwight makanya harus menurunkan berat dari 90 kg ke 65 kg,” ujarnya kepada Haluan, Selasa (24/9).
Nico mengaku, selama mempersiapkan diri untuk menghadapi PON, ia hanya menerima biaya pembinaan atlet pada tiga bulan awal tahun 2024 sebesar Rp6 juta. Selebihnya ia menggunakan biaya pribadi selama persiapan.
“Menjelang PON memang banyak menghabiskan dana pribadi, terutama untuk suplemen dan transportasi. Karena atlet butuh asupan gizi yang cukup, sedangkan dana subsidi tidak ada kejelasan. Saat tes kesehatan, hasilnya hampir 90 persen atlet kekurangan gizi. Kalau seperti itu, bagaimana atlet akan maksimal saat bertanding?” ujarnya.
Namun berkat kegigihan dan kerja kerasnya, Nico berhasil menyumbangkan medali emas bagi kontingen Sumbar. Terlebih yang membuat semangatnya membara karena keinginannya untuk bisa berangkat umrah bersama dengan istrinya.
“Atlet perlu memiliki motivasi yang kuat untuk bisa juara. Meskipun di tengah kondisi yang sulit tapi kita harus tetap fokus untuk mencapai tujuan. Jangan sampai karena pembiayaan membuat harapan kita pupus,” ujarnya.
Ia sangat menyayangkan minimnya perhatian pemerintah daerah (pemda) kepada atlet untuk persiapan PON. Selama persiapan seharusnya atlet harus didukung dengan pembiayaan yang cukup, sehingga dengan perhatian yang diberikan menjadi motivasi tambahan bagi atlet selama persiapan hingga di pertandingan.
“Dengan adanya dukungan, atlet semestinya tidak lagi memikirkan biaya untuk memenuhi gizi dan suplemennya. Sehingga mereka bisa fokus latihan menjelang pertandingan,” ujarnya.
Nico berharap, ke depannya pemda dan KONI dapat bersinergi demi memajukan dunia olahraga di Sumbar. Sehingga persiapan PON selanjutnya dapat lebih baik dan diharapkan meningkatkan prestasi olahraga Sumbar di kancah nasional. “Sebab atlet berjuang untuk Sumbar, sementara kebutuhan atlet tidak terpenuhi. Apalagi atlet diminta untuk bisa meraih hasil yang maksimal,” ujarnya.
Terpisah, atlet binaraga Sumbar, Iwan Samurai yang berhasil meraih quattrick medali emas selama keikutsertaannya dalam empat edisi PON terakhir mengatakan, kunci kesuksesannya ialah berlatih setiap hari dengan konsisten. Apalagi cabor binaraga butuh waktu untuk bisa menumbuhkan massa otot. Dalam PON tahun ini ia fokus latihan selama setahun penuh yang dibagi menjadi tiga fase, yakni bulking, maintaining, dan cutting.
“Selain itu juga harus dibarengi dengan menjaga kebugaran badan dengan memperhatikan pola makan dan pola istirahat,” ujarnya.
Iwan menyebut, persiapan menghadapi PON banyak menghabiskan biaya, terutama untuk pemenuhan suplemen. Namun, berkat kerja keras dan usahanya, kendala pembiayaan dapat ia hadapi, sehingga bisa mengharumkan nama Sumbar di bidang olahraga.
“Alhamdulillah kebutuhan untuk persiapan PON bisa terpenuhi. Kita harus bisa mandiri, karena menjadi seorang binaraga tidak mudah butuh waktu dan biaya. Jangan mudah menyerah hanya terkendala oleh satu hal saja,” ujarnya.
Iwan mengapresiasi atlet-atlet yang telah berhasil menyumbangkan medali bagi Ranah Minang meskipun dalam keadaan keterbatasan dana. Ia berharap agar KONI mengikat atlet yang berprestasi itu untuk mencegah adanya atlet-atlet potensial yang pindah ke daerah lain.
“Setelah mereka pulang seharusnya langsung diberikan dana pembinaan setiap bulannya agar atlet merasa dihargai dan diperhatikan. Supaya jangan ada atlet yang pindah. Karena pada PON ini ada atlet pindahan yang meraih medali emas. Oleh karena itu, jangan sampai hal ini terjadi lagi,” ujarnya.
Ia menilai atlet-atlet Sumbar secara potensi dan bakat tidak kalah dengan atlet-atlet dari daerah lain. Hanya saja perlu diperhatikan lebih baik lagi. Sehingga ke depannya olahraga Sumbar semakin maju.
“Terbukti atlet Sumbar masih bisa membawa pulang medali. Walaupun memang dibandingkan PON sebelumnya memang merosot. Diharapkan atlet lebih diperhatikan, karena talenta saja tidak cukup,” ujarnya.
Diketahui, Iwan Samurai menjadi orang yang pertama yang berhasil meloloskan cabor binaraga dalam ajang PON sekaligus mendapatkan medali emas pertama cabor binaraga di Sumbar.
Di sisi lain, cabor taekwondo pada PON kali ini belum bisa mengulang kembali kesuksesan membawa medali emas pada PON XX Papua lewat taekwondoin Delva Rizki. Terkait hal itu pelatih taekwondo Sumbar, Remon menjelaskan bahwa Delva Rizki telah habis masa top performanya. Selain itu, kegagalan membawa pulang medali emas juga disebabkan oleh cedera yang dialaminya ketika bertanding di babak kualifikasi PON di Bogor dan Bekasi tahun lalu.
“Delva telah memasuki usia ujung performanya. Terlebih tangannya yang pernah patah pada pra-PON lalu, sehingga performanya tidak maksimal. Namun, kami tetap bersyukur bisa mencapai babak final,” ujarnya.
Remon menambahkan, persiapan atlet taekwondo untuk PON kali ini tidak maksimal akibat pengprov baru mengadakan training camp (TC) mulai bulan Mei. Ia menilai TC yang diadakan ini mepet dan atlet kekurangan waktu untuk melakukan. Akibatnya, sehingga hasil yang ingin dicapai tidak optimal.
“Sebelum pengprov mengadakan TC untuk atlet, kami hanya melakukan latihan mandiri masing-masing atlet. Kami tidak punya cukup waktu untuk latihan, terlebih kami dalam masa transisi. Pelatih yang dulu pernah dibawa saat pra-PON tidak diikutsertakan pada PON kali ini,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Umum Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Sumbar, Ediswal menyebut kesuksesan cabor gulat pada PON Aceh-Sumut dikarenakan atlet gulat Sumbar memasuki usia yang matang.
“Beda dengan PON Papua, di mana atlet kita rata-rata berusia 17 tahun, yang secara umur masih belum matang. Sedangkan pada PON ini atlet kita sudah masuk usia yang matang (golden age), di mana fisik dan mentalnya sudah terbentuk,” ujarnya.
Selain itu, saat PON Papua lalu, Ediswal menyebut ada beberapa atlet yang potensial mendapat medali emas tidak bisa berangkat dikarenakan mengikuti pendidikan.
“Tentu untuk PON kali ini atlet lebih serius, karena pada PON sebelumnya nyaris membawa pulang emas dan juga dukungan yang diberikan oleh orang tua menjadi motivasi tambahan bagi atlet saat bertanding. Tidak lupa dukungan dari pengprov yang kuat untuk cabor gulat,” ujarnya. (*)