Pemerintah Dinilai Tak Serius Berantas Tambang Ilegal

Peristiwa longsor lubang tambang emas di Nagari Sungai Abu, Kabupaten Solok lalu menambah daftar panjang bencana ekologi

Peristiwa longsor lubang tambang emas di Nagari Sungai Abu, Kabupaten Solok lalu menambah daftar panjang bencana ekologi

SOLOK, HARIANHALUAN.ID — Peristiwa longsor lubang tambang emas di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok yang terjadi Kamis (26/9) lalu menambah daftar panjang bencana ekologi akibat keberadaan tambang tambang ilegal di Sumatera Barat (Sumbar). 

Musibah yang telah berulang kali terjadi itu semestinya dapat dicegah jika pemerintah dan penegak hukum benar-benar serius memberantas tambang-tambang ilegal. 

Potensi bencana ekologi akibat keberadaan tambang-tambang ilegal ini sudah acap kali diperingatkan. Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Hidup Walhi Sumbar, Tommy Adam mengatakan, bencana yang terjadi di Nagari Sungai Abu merupakan akumulasi krisis ekologis karena ketidakadilan dan abainya pemerintah dalam tata kelola sumber daya alam. Sehingga masyarakat kecil dan lingkungan menjadi korban. 

Menurutnya, pemerintah daerah (pemda), dalam hal ini pemerintah provinsi dan kabupaten/kota gagal dalam membangun ekosistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat harus mempertaruhkan nyawa dan mengorbankan lingkungan demi menghidupi keluarga. 

“Persoalan tambang ilegal di Nagari Sungai Abu bahkan telah dilaporkan oleh masyarakat sejak tahun 2015 ke Polda Sumbar. Namun, aktivitas tambang ilegal yang menggunakan alat berat masih terus terjadi di sana,” katanya, Minggu (29/9). 

Ia menyebut, semua pihak harus berhenti menyalahkan masyarakat kecil dan mengguna kan kemiskinan dan kesulitan ekonomi mereka sebagai alasan dilematis dalam menyikapi kongkalingkong dibalik masifnya aktivitas tambang ilegal di berbagai daerah di Sumbar. 

“Pemerintah dan penegak hukum harus bernyali dan berani mengungkap ke publik tentang siapa pelaku utama dan penikmat untung besar dari siklus bisnis tambang ilegal. Mereka adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab atas korban jiwa dan rusaknya lingkungan hidup,” ujarnya. 

Walhi Sumbar juga mempertanyakan siapa pemilik dan nama di balik bisnis alat berat dan pasokan BBM ke tambang ilegal tersebut. Kemudian, siapa pemain bisnis keamanan (beking) yang menerima aliran dana, sebagai alasan keamanan, dan siapa pula yang mendanai dan menampung hasil-hasil tambang ilegal tersebut. 

“Siapapun mereka, harus bertanggung jawab. Bahkan, sekalipun jika mereka ada di dalam dan di sekitar kantor-kantor penegak hukum, kantor-kantor legislatif, atau kantor-kantor eksekutif,” ujar Tommy. 

Apalagi, sangat tidak adil jika kemudian keuntungan paling besar dari tambang ilegal ini hanya dinikmati segelintir elite, yang bahkan tidak menyentuh lumpur tambang sekali pun. Lalu, ketika terjadi bencana, masyarakat kecil yang menerima dampak paling besar. 

“Perlu diingat PETI tidak hanya melanggar hukum negara (UU Minerba), tapi juga bertentangan dengan hukum Islam. PETI merupakan sumber ekonomi yang haram. Pembiaran aktivitas PETI sama saja dengan membiarkan umat dalam ekonomi haram. Silakan lihat fatwa MUI Nomor 22 Tahun 2011,” tuturnya. 

Lebih jauh ia mengatakan, pemda adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas upaya membangun ekonomi yang berkeadilan, aman, dan berkelanjutan bagi masyarakat. 

“Dengan adanya kejadian di Nagari Sungai Abu, kami mendesak aparat berwajib dan pemangku kepentingan terkait melakukan penertiban dan pengawasan secara konsisten. Dengan kejadian ini diharapkan kedepan semua pihak dapat menghadirkan sumber penghidupan yang aman bagi masyarakat,” kata Tommy. 

Tommy juga meminta pengawasan yang dilakukan pihak terkait untuk lebih konsisten. Terutama pihak kepolisian dalam mengawal dan mengawasi setiap aktivitas yang tidak berizin dengan menggandeng dinas lainnya. 

“Berdasarkan catatan Walhi, Kabupaten Solok tidak satu-satunya daerah yang memiliki tambang ilegal. Artinya, aktivitas tambang ilegal masih banyak daerah-daerah lain di Sumbar, seperti Kabupaten Solok Selatan, Sijunjung dan Pasaman Barat. Apalagi, dampak tambang ilegal cukup kompleks, mulai dari potensi kerawanan bagi pelaku tambang sendiri, namun juga kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Exit mobile version