Oleh : Hasril Chaniago
Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Moeslim Kawi (86) pergi meninggalkan nama harum dengan menebar kebaikan, terutama bagi orang yang mengenalnya, serta buat kampung halaman tanah kelahirannya. Meski sepanjang hayat hidup bersahaja, dan jauh dari gelimang harta, koresponden Harian Haluan di Riau pada 1970-an hingga 1980-an itu pada hari-hari terakhirnya tetap menebar kebaikan.
Tahun lalu, ia menghibahkan sebidang tanah miliknya adik-beradik untuk dijual dengan nilai hampir Rp2 miliar, dan hasilnya digunakan bagi pembangunan baru Masjid Baabun Nur, Jorong Kapalo Koto, Koto Tangah Simalanggang, Kecamatan Payakumbuh, Lima Puluh Kota.
Hari Minggu (28/11) lalu, Moeslim pulang kampung untuk persiapan resepsi pernikahan seorang kemenakannya yang direncanakan berlangsung pada Kamis kemarin. Tak banyak yang tahu, rupanya sehari kemudian beliau balik ke Pekanbaru, tanah tempat tempat tinggalnya selama 60 tahun terakhir. Tiba-tiba, sekitar pukul 20.00 WIB, Rabu (1/12), tersiar kabar H. Moeslim Kawi telah meninggal dunia di RS Ibnu Sina di Kota Minyak itu. Jenazahnya dimakamkan tak jauh jauh dari tempat tinggalnya di Jalan Cempaka, Pekanbaru. Innalillahi wainna ilaihi raajiun.
H. Moeslim Kawi adalah wartawan sepanjang hayat. Hampir tiga per empat usianya ia abdikan sebagai wartawan. Lahir di Payakumbuh, 4 Agustus 1935, Moeslim menjalani masa kanak-kanak di kampung halamannya. Setelah menamatkan Sekolah Rakyat (SR), ia lanjut ke SMP di Kota Payakumbuh, seangkatan dengan politisi dan mantan anggota DPR RI dari Golkar Novyan Kaman (Alm). Setamat SMP, ia bekerja sebagai pegawai tata usaha (TU) Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Payakumbuh.
Seperti dikisahkan dalam buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang (2018), sejak itulah ia tertarik dengan dunia tulis menulis. Tahun 1955, ia mulai mengirim tulisan ke Mingguan Waktoe yang terbit di Medan. Ia mengirim cerita-cerita unik yang terjadi di masyarakat, di antaranya untuk rubrik “Mari Ketawa” (cerita-cerita lucu). Tulisan pertamanya dimuat, dan sejak itu ia rajin menulis.
Ketika Harian Njata terbit di Bukittinggi tahun 1956, Moeslim pun mengirimkan berita-berita kejadian di sekitar kotanya ke surat kabar tersebut. Ternyata semua tulisan yang dikirimnya selalu dimuat nyaris tanpa dikoreksi oleh redaksi. Ketika itu, sahabat masa kecil dan teman sepermainannya, Moeslim Roesli (Alm.), sudah menjadi redaktur di surat kabar Njata yang dipimpin oleh Osman Hasibuan (Pemred) dan Soewardi Idris (Wapimred) itu.
Moeslim Roesli rupanya tahu, bahwa kode wartawan MK di Harian Njata adalah Moeslim Kawi. Suatu kali, ketika Moeslim Roesli pulang kampung, ia sengaja menemui Moeslim Kawi dan menyemangatinya agar terus menulis dan menjadi wartawan.
Beberapa kali mengirim berita, ia pun menerima kartu pers sebagai koresponden Harian Njata untuk wilayah Payakumbuh dan sekitarnya. Pengalaman paling mengesankan baginya adalah ketika ditugaskan meliput kunjungan mantan Wakil Presiden Bung Hatta ke Payakumbuh pertengahan tahun 1956. Hanya dua wartawan yang diundang waktu itu, yaitu Jamhir Hamzah (Haluan) dan Moeslim Kawi (Njata). Karena dalam acara itu tidak ada pengeras suara, Moeslim diberi tempat duduk dekat Bung Hatta agar bisa mendengar dengan jelas dan dapat mencatat setiap ucapan Proklamator tersebut.
Moeslim Kawi terus menjadi wartawan harian Njata hingga terjadinya Pergolakan Daerah dan meletusnya PRRI. Harian Njata berhenti terbit karena mendukung Dewan Banteng. Sebagai wartawan dan anak muda masa itu, Moeslim juga pendukung Dewan Banteng dan PRRI. Merasa terancam dengan aktivis orang-orang PKI yang menteror, bahkan menculik dan membunuh para pengikut PRRI, orang tuanya menyuruh Moeslim mengungsi ke “Luar” –istilah bagi para pengikut PRRI untuk pergi ke pedalaman.
Semula, ia hendak pergi ke Suliki dan bergabung dengan kenalan orang tuanya di sana. Tapi dalam perjalanan, ketika sampai di Nagari Taeh Bukit, ia dicegat oleh Letnan Noer Djaoel, Komandan Pleton dalam Batalion DBI yang dipimpin Letkol Azwar Tontong (Azwar Dt. Mangiang). Ia “dipaksa” Noer Djaoel jadi tentara PRRI dalam kompi yang dipimpinnya. Istilahnya, ia jadi tentara staf, tapi tetap memegang pistol. Di “Luar” waktu itu Moeslim juga membuat surat kabar stensilan. “Isinya tentu memberitakan kemenangan PRRI,” katanya dalam sebuah wawancara.
Ikut dalam tentara PRRI memberi pengalaman tak terlupakan bagi Moeslim. Sebab, menjelang akhir perang saudara, ia bersama 6 anggota Kompi Noer Djaoel mendapat tugas mengawal perjalanan bekas Penjabat Presiden RI Mr. Assaat dari Silayang dekat Lubuk Sikaping ke Padang Sidempuan di Tapanuli Selatan, dalam rangka memenuhi panggilan Presiden Sopekarno “Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi”. Rombongan mereka berjalan kaki melewati hutan-rimba selama dua hari dua malam.
Selesai mengawal Mr. Assaat, di Padang Sidempuan, Moeslim bertemu dengan Mohammad Natsir, dan menjadi salah seorang ajudan pembantu bekas Perdana Menteri itu. Setelah semua pimpinan dan pengikut PRRI kembali ke “Dalam”, Moeslim ditanya Pak Natsir: “Mau ke mana setelah ini”. Semula Moeslim hendak ke Medan, dan Pak Natsir menyarankan ia menemui seorang teman beliau yang memiliki percetakan dan bekerja di sana.
Namun setelah itu, ia mendapat surat dari adiknya Anilies Kawi, yang baru bekerja di Caltex, bahwa ada lowongan kerja di Pekanbaru, Moeslim kemudian pergi ke Pekanbaru. Wanti-wanti kalau nanti tidak dapat masuk Caltex, Pak Natsir memberikan secarik surat kepada Moeslim untuk diserahkan kepada sahabat beliau, Buya Zaini Koenin, Ketua Yayasan Pendidikan Islam di Pekanbaru.
Akhirnya, ke Yayasan Pendidikan Islam lah Moeslim merapat, dan menjadi pegawai tata usaha pada yayasan milik tokoh masyarakat Riau yang kemudian dikenal sebagai pendiri Universitas Islam Riau (UIR) itu. Soalnya, Moeslim terlambat sampai sehingga lowongan di Caltex sudah tutup. Hanya adiknya, Wizar Kawi, yang diterima dan berkarir hingga menjadi Kepala Humas Caltex menggantikan Moeslim Roesli yang juga sahabat Moeslim Kawi.
Sebentar bekerja di Yayasan Zaini Koenin, tahun 1962, Moeslim dapat tawaran menjadi wartawan dan redaktur surat kabar Obor yang terbit di Pekanbaru. Sejak itu, dunia jusnalistik kembali menyeret hidupnya. Setelah di Obor, ia menjadi koresponden lalu Kepala Perwakilan LKBN Antara Pekanbaru (1966-1984). Dan sejak tahun 1970-an hingga pertengahan 1980-an, merangkap pula sebagai koresponden Harian Haluan Padang untuk wilayah Riau dengan tanggung jawab setiap hari mengisi satu halaman berita-berita dari provinsi ini.
Selepas itu, Moeslim menjadi Pemimpin Redaksi Mingguan Genta (1985-1993) sampai koran tersebut beralih pemilik. Setelah itu, ia menjadi penulis lepas di Harian Riau Pos. Jeda sejenak dari Riau Pos, Muslim sempat di redaksi Tabloid Mingguan Bisnis Mandiri (2002-2003) yang didirikan Moeslim Roesli. Sejak 2004 ia diminta CEO Riau Pos, Rida K. Liamsi, menjadi Ombudsman surat kabar Riau Pos. Pekerjaan itu ia jalani lebih dari 10 tahun, hingga 2014.
Dikenal sebagai wartawan yang istikamah dengan profesinya, Moeslim Kawi bersama Moeslim Roesli adalah perintis Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Riau. Berbagai jabatan di PWI Cabang Riau pernah dipangkunya, antara lain sebagai Sekretaris (1966-1972 dan 1973-1976), anggota SIWO (1971-1973), Ketua SIWO (1976-1980), Ketua PWI Cabang Riau (1980-1986), anggota Badan Pengawas dan Pertimbangan (BPP) PWI Pusat (1987-2003), dan Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Riau (1999-2004), dan pada hingga akhir hayat sebagai panasihat PWI Cabang Riau.
Di sela-sela pekerjaan wartawan, Moeslim juga sempat terjun ke politik. Ia pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Kampar (1966-1970) dan anggota DPRD Kotamadya Pekanbaru (1970-1971). Dalam karier persnya, “MK”, demikian dia dipanggil rekan seprofesi, hampir selalu hadir di setiap kegiatan PWI tingkat nasional, seperti kongres, konferensi kerja nasional, maupun pekan olahraga wartawan (Porwanas), serta serta Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diadakan bergilir di berbagai ibu provinsi hingga 2019.
Moeslim sudah mengunjungi hampir seluruh provinsi di Indonesia. Sedang perjalanan jurnalistik ke luar negeri pernah dilakukannya antara lain ke Singapura dan Malaysia (1979-1982), serta ke Johor Baru, Kuala Lumpur, dan Hat Jai, Thailand (1995). Perjalanan paling mengesankan baginya adalah ketika mendapat kesempatan ke Tanah Suci, menunaikan ibadah haji atas fasilitasi Gubernur Riau (waktu itu) H. Soeripto (1998). Kesempatan itu ia gunakan pula untuk membuat reportase setiap hari yang dikirim ke koran Riau Pos.
Sama dengan ulama dan dokter, profesi wartawan tidak mengenal pensiun. Hari tuanya digunakan Moeslim untuk berbagi ilmu. Di antaranya, tahun 2002-2004 menjadi salah seorang staf pengajar di Lembaga Pendidikan Pers Riau (LP2R) di Pekanbaru. Selain itu juga aktif memberikan Penataran Jurnalistik di berbagai perguruan tinggi seperti di Universitas Riau (Unri), Universitas Islam Riau (UIR), dan Universitas Lancang Kuning (Unlak).
Saya pribadi telah mengenal Moeslim sejak masih kanak. Ketika saya masih SD, beliau sudah Ketua PWI Riau dan tokoh wartawan terkenal. Kalau beliau pulang kampung naik mobil, kami anak-anak memandangnya hebat sekali. Saya memanggilnya Mamak, dan beliau adalah salah satu inspirasi saya untuk memilih hidup sebagai wartawan dan penulis.
Kalau berkunjung ke Pekanbaru, saya berusaha menyempatkan diri singgah ke rumahnya di Jalan Cempaka dekat Pasar Kodim. Kami juga sering bertemu kala berkesempatan sama-sama pulang kampung. Pertemuan fisik terakhir tanggal 9 Agustus 2020, sengaja mengundang beliau ke “parak limau” saya untuk merekam pengalaman beliau sebagai pelaku sejarah PRRI selama hampir dua jam. Setelah itu, kami makan siang nasi bungklus di pondok “parak”. “Tabuka salero ambo,” katanya sambil mencuci tangan.
Mamanda Moeslim Kami mengaku selalu bersyukur, karena hingga usianya lepas 85 tahun waktu itu, masih sehat dan bicaranya tetap lantang. Daya ingat juga masih kuat. “Cuma pendengaran sedikit berkurang,” katanya. Kunci hidup sehat di usia lanjut agar tidak pikun, katanya, adalah rajin baca Qur’an dan baca koran. Selain fisik tetap aktif, “Jangan biarkan otak menganggur,” ucapnya menasihati.
Kami selalu kontak telepon secara teratur. Dalam seminggu hampir dipastikan beliau selalu 2-3 kali menelepon, paling tidak sekadar menanyakan bagaimana kabar. Benar-benar wartawan sejati, selalu memerlukan kabar terbaru. Tapi agak aneh, dalam empat bulan terakhir kami tak ada kontak suara. Menurut rekaman di HP saya, terakhir kami bicara 26 Juli 2021. Sampai akhirnya sekitar pukul 21.00 Rabu Malam (1/12) saya dapat kabar dari adik saya, Hasrul Chaniago, anggota Bamus dan mantan Wali Nagari Koto Tangah Simalanggang, bahwa beliau baru saja berpulang.
Selamat jalan, Mamanda Moeslim Kawi, wartawan yang istiqamah sepanjang hayat. (*)