Bahayakan Bisnis Perantau Minang, LKAAM Sumbar Minta Aksi Sweeping Dihentikan

LKAAM Sumbar meminta aksi sweeping  rumah makan Padang Non Minang segera  dihentikan agar tidak berdampak terhadap keberlangsungan bisnis jutaan orang Minang yang hidup di tanah perantauan Selasa (5/11).  FAUZI

PADANG, HARIANHALUAN.ID – Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat meminta para pengusaha Rumah Makan (RM) Padang di tanah perantauan untuk segera menghentikan aksi Sweeping terhadap rumah makan padang yang tidak dikelola oleh orang Minang asli.

Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, Fauzi Bahar Datuak Nan Sati, menegaskan, tindakan yang memicu kontroversi itu harus segera dihentikan agar tidak semakin meluas dan berdampak bagi jutaan orang Minang lainnya yang hidup di tanah perantauan. “Semua pihak harus menahan diri sebelum ada ketetapan atau kesepakatan terkait dengan lisensi rumah makan padang,” ujarnya saat menggelar konferensi pers di Kantor LKAAM Sumbar Selasa (5/11).

Menurut Fauzi Bahar, insiden penertiban rumah makan padang yang tidak dikelola oleh orang Minang asli di Cirebon beberapa waktu lalu, bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan bisnis para pengusaha Minang lainnya di tanah perantauan. “Orang bisa saja memboikot seluruh makanan Minangkabau. Itu kan berbahaya. Tidak hanya di Cirebon namun juga bisa terjadi di seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Selaku Ketua LKAAM Sumbar, Mantan Walikota Padang dua periode ini meminta para perantau Minang untuk menjalin hubungan baik dengan warga lokal. Hal ini sesuai dengan Falsafah Minang yang berbunyi Dima Bumi Dipijak Disitu Langik Dijunjuang.

Untuk meredam semua polemik yang saat ini  telah terlanjur terjadi, Fauzi Bahar menyatakan LKAAM Sumbar akan segera berkoordinasi dengan pimpinan ormas Ikatan Keluarga Minang (IKM). “Bahkan kalau seandainya kami (LKAAM Sumbar) harus berangkat ke Cirebon, kami akan berangkat kesana. Namun Alhamdulillah persoalan ini sudah dimediasi oleh Polres Cirebon,” ucapnya.

Ia berharap, kejadian ini harus menjadi insiden terakhir yang tidak boleh lagi terulang di masa yang akan datang . Apalagi selama ini, masyarakat Minangkabau dikenal sebagai bangsa perantau yang bisa membaur serta gampang diajak bermusyawarah. “Apalagi ini hanya persoalan harga. Jadi sebelum masalah ini meluas kemana-mana. kami berharap agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Semua pihak harus menahan diri sebelum adanya  ketetapan kita terkait  lisensi,” katanya.

Sementara itu, Ketua Harian Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Minang (IKM) Andre Rosiade pun telah angkat bicara terkait dengan pemasangan lisensi IKM di Rumah Makan Padang yang memicu kontroversi di media sosial ini.

Andre menegaskan, pemasangan lisensi tersebut merupakan salah satu cara menjaga orisinalitas cita rasa masakan asli Ranah Minang. “Lisensi itu dalam rangka untuk memastikan cita rasa, cita rasa bahwa masakan padang sesuai dengan ciri khas rasa padangnya,” ujar Andre dalam video yang diunggah di instagram resmi pribadinya  Jumat (1/11) kemarin.

Dalam video itu Andre menegaskan bahwa siapa saja boleh berjualan nasi Padang. Pemasangan lisensi tidak hanya diberikan kepada penjual yang berasal dari Minan saja. “Restoran Padang itu boleh dimiliki oleh masyarakat yang bukan orang Minang,” kata anggota Komisi VI DPR itu. Andre  juga menegaskan pemberian lisensi itu tidak dipungut biaya alias gratis. Lisensi yang dikeluarkan IKM semata-mata hanya untuk menjaga cita rasa masakan Minang bukan melarang masyarakat lain berjualan nasi Padang. 

Sebelumnya, polemik ini muncul usai beredarnya video penertiban rumah makan padang yang tidak dikelola oleh orang Minang  oleh sekelompok orang yang tergabung dalam Ormas Perhimpunan Rumah Makan Padang Cirebon (PRPMC). Video berdurasi satu menit yang memperlihatkan aksi  ormas PRPMC mencopot tulisan “masakan padang” di rumah makan yang tidak dikelola orang Minang itu, memicu kontroversi dan menuai  beragam tanggapan dari warganet. 

Bahkan ada yang menganggap aksi penertiban serta pemasangan lisensi dari Ikatan Keluarga Minang (IKM) di rumah makan yang dikelola oleh orang Padang asli itu, adalah bentuk rasisme bermotif persaingan bisnis.  Ormas PRPMC telah memberikan pernyataan resmi terkait dengan aksi penertiban itu. Dalam keterangan resmi yang beredar, PRPMC menyatakan aksi itu bukanlah Sweeping. Melainkan penolakan terhadap label harga Rp 10 ribu yang dipasang rumah makan Padang yang tidak dikelola oleh orang Minang asli.

Dalam keterangan resminya, PRPMC menegaskan pihaknya tidak melarang orang di luar Minang berjualan nasi Padang. Namun begitu, mereka diingatkan untuk tidak memasang label murah dengan harga Rp 10 ribu. “Assalamualaikum, sanak maaf sabalunnyo Ado yang menanggapi iko sebagai sweeping, tapi kito ndak melakukan sweeping. Pencopotan itu atas kehendak yang punyo, karena menolak pencopotan label harga (10.000),” tulisnya.

“Kita tidak melarang orang non-Minang berjualan Nasi Padang, tapi minta kerja samanya agar tidak menjadikan label “murah” dan “harga 10.000″ jadi alat promosi. Kalau yang bersangkutan menolak, ya kita tentu sebagai komunitas Minang keberatan wajar merasa keberatan,” bunyi keterangan resmi PRMPC yang beredar di media sosial. (*)

Exit mobile version