PADANG, HARIANHALUAN.ID – Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas (UNAND) Prof. Dr. Hariv Amali Rivai, SE, M,Si menegaskan, kegagalan program Minang Mart yang pernah diluncurkan Pemprov Sumbar beberapa tahun yang lalu, harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah (pemda) dalam menjalankan program pengembangan pelaku UMKM.
Kegagalan pemerintah daerah dalam menjalankan program yang sedari awal diniatkan untuk melindungi pelaku UMKM lokal dari serbuan perusahaan bisnis retail raksasa itu, dinilai disebabkan karena kemampuan pengambilan keputusan manajemen pengelola bisnis Minang Mart yang sangat terikat kepada aturan-aturan birokrasi.
“Hal ini membuat pengambilan keputusan manajemen Minang Mart tidak luwes dan seleluasa pengelola bisnis retail swasta atau profesional,” ujarnya kepada Haluan Minggu (10/11).
Prof Hariv Amali Rivai menuturkan, dalam bisnis retail yang memiliki tingkat persaingan bisnis ketat dan pasar yang terbuka, pengelola dituntut untuk profesional dan mampu mengambil keputusan bisnis secara cepat dan tepat.
Agar mampu menghasilkan profit bisnis, manajemen pengelola juga harus diberikan keleluasaan untuk memilih vendor penyedia produk dengan modal yang relatif murah
“Nah, Sepengetahuan saya, Minang Mart harus berbelanja kepada satu penyedia, artinya mereka dibuat kaku, sehingga dia tidak bisa berbelanja ke tempat lain, jadi memang ada hambatan aturan seperti ini,” jelasnya.
Sebagai bisnis yang awalnya dijalankan oleh BUMD, pengelola Minang Mart pasti tidak akan bisa mengambil keputusan bisnis sefleksibel keputusan yang diambil oleh pengelola retail swasta atau profesional.
Kondisi ini, adalah alasan kenapa bisnis retail Minang Mart tidak mampu bertahan dan kalah saing dari berbagai bisnis retail swasta yang saat ini semakin maju dan berkembang dimana-mana
“Sebab mereka harus tunduk kepada regulasi, apakah itu perda, atau struktur kepemilikan modal yang melibatkan pemerintah provinsi yang notabene memiliki regulasi birokrasi,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menuturkan, dalam program pemberdayaan pelaku UMKM lokal, pemerintah daerah idealnya berperan sebagai regulator dan fasilitator peningkatan kapasitas pelaku UMKM lokal. Baik itu lewat program pelatihan, pembinaan maupun pendampingan.
Saat ini, program-program semacam itu memang telah banyak dilakukan oleh Pemprov Sumbar lewat dinas-dinas terkait. Namun begitu, program-program yang telah dijalankan ini, sangat penting untuk dievaluasi.
“Evaluasi harus dilakukan agar kita tahu, seberapa efektif program yang dijalankan dan berapa dampaknya. Jangan sampai program-program yang dijalankan itu hanya buang-buang anggaran,” jelasnya.
Ia menekankan, sebelum menjalankan program-program pembinaan UMKM, pemerintah daerah harus punya peta terkait dengan sektor UMKM lokal potensial yang perlu dikembangkan.
“Sebab kalau kita Bicara UMKM ini, skopnya sangat luas, ada bidang Ekraf, industri ,jasa perdagangan dan sebagainya. Jadi artinya, pemerintah perlu melihat program-program apa yang potensial dikembangkan di Sumbar. Apakah itu bidang Ekraf, seni, industri pengolahan makanan dan sebagainya. Artinya, perlu ada skala prioritas pengembangan UMKM,” tegasnya.
Ia mengingatkan, persoalan yang dihadapi pelaku UMKM Sumbar saat ini, tidak hanya soal aspek permodalan saja. Lebih kompleks daripada itu, juga ada persoalan kemampuan pengelola UMKM untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital.
Kemampuan ini, sangat menentukan keberlangsungan bisnis para pelaku UMKM. Tanpa adanya ilmu dan pengetahuan digital, hari ini mereka tidak akan mampu memperluas jangkauan pasar, membuat bisnis semakin dikenal dan mampu berpromosi dengan murah.
“Artinya, buatlah program yang betul-betul diperlukan UMKM, jangan membuat program yang tidak dibutuhkan UMKM dan hanya menghabiskan anggaran saja. Perlu adanya pemetaan dan evaluasi program pemberdayaan telah ada,” jelasnya. (*)