HARIANHALUAN.ID – Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan (Pemkab Pessel) harus mampu melakukan terobosan penting dalam meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Salah satunya dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam (SDA), serta potensi pariwisata budaya dan sejarah yang dimiliki.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Pessel, Syafril Saputra ketika dihubungi Haluan kemarin. Ia menyebutkan, SDA yang dikandung dalam perut bumi dan di atasnya, harus menjadi prioritas utama untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya demi mendukung percepatan pertumbuhan ekononomi daerah.
Beberapa di antaranya seperti pertambangan emas, batu bara dan lain sebagainya, melalui BUMD yang bisa bekerja sama dengan pihak PT Antam dan PT Dempo atau perusahaan tambang lainnya baik swasta nasional maupun asing. Untuk diketahui, PT Antam merupakan perusahaan berbasis SDA terkemuka yang terdiversifikasi dan memiliki kegiatan yang terintegrasi secara vertikal dengan komoditas utama bijih nikel, feronikel, emas, perak, bauksit, alumina dan jasa pengolahan dan pemurnian logam mulia.
PT Antam juga berpengalaman lebih dari 50 tahun dan memiliki cadangan nikel dan bauksit yang berkualitas tinggi dan berjumlah besar. PT Antam merupakan satu-satunya entitas pengolahan dan pemurnian logam mulia di Indonesia yang telah memiliki sertifikasi London Bullion Market Association (LBMA).
Untuk tambang emas, Pessel memiliki Tambang Salido atau Tambang Gunung Arum merupakan tambang emas tertua di Indonesia yang terletak di Desa Salido Ketek, Nagari Tambang. Di Desa Salido Ketek ini pernah beroperasi sebuah pertambangan emas yang dikelola oleh VOC selama lebih kurang 150 tahun. Di daerah tersebut juga ditemukan bangunan berupa 300 anak tangga yang menuju perbukitan dan terowongan sepanjang 300
meter peninggalan Belanda.
“Untuk pembangunan museum pembangkit listrik dan tambang emas di Salido Ketek itu penting dilakukan secepatnya. Selain mengingatkan generasi sekarang pada sejarah, sekaligus dapat menjadi bagian dari pengembangan kawasan wisata yang menarik dan menantang,” tuturnya.
Pada area pusat pembangkit listrik mikrohida peninggalan Belanda itu ada tangga beton yang berjumlah 135 anak tangga ke atas perbukitan tempat sumber air yang dulunya dijadikan energi untuk pembangkit lisrik mikorhidro Salido Ketek. Pada puncak bukit
sumber energi bagi pembangkit listrik Salido Ketek itu terhampar pesona alam yang mengagumkan. Pesona panorama perkampungan tradisonal yang dikelilingi oleh hutan yang asri, sungai air yang masih alami, pusat buah-buahan, terutama bila musim durian, merupakan aset area bekas pembangkit listrik mikrohidro buatan Belanda sebagai daya tarik wisata.
Artinya, Salido ketek di zaman Belanda sudah memiliki pembangkit listrik dan bisa dibayangkan terang benderangnya Salido Ketek pada waktu itu. Kini pembangkit tenaga listrik itu masih ada di Salido Ketek dan dengan segala nilai sejarah dan riwayatnya, sehingga tidak tertutup kemungkinan dikembangkan sebagai objek wisata yang terintegrasi dengan kawasan Madeh. Pusat pembangkit listrik Salido Ketek pada masa dahulunya digunakan terkait eksploitasi tambang emas Gunung Harun, tetapi tambang ini merugi dan ditutup.
Kemudian pembangkit listrik mikrohidro di Salido Ketek itu dimanfaatkan oleh Semen Padang dengan membangun jaringan sepanjang 42 km dari Salido Kecil ke Padang. Kejadian alam sempat menggangu keberadaan pembangkit listrik Salido Ketek, seperti ketika Sungai Salido Ketek meluap pada 1959, sehingga merusak tiang penjangga pipanya. Kini, setelah ratusan tahun berlalu pembangkit listrik mikrohidro Salido Ketek masih ada bekasnya dan beberapa bangunan penunjangnya.
Meskipun tambang emas di Salido Ketek sudah lama ditinggalkan, tetapi sekarang masih dimanfaatkan yang bersifat usaha skala kecil oleh masyarakat di Kampung Bungo Pasang dengan cara mengelondong bongkahan pasir emas. Sebagai kawasan tambang pada masa dulunya, di Nagari Bungo Pasang Salido banyak bekas mesin pembangkit yang berserakan di sekitar pusat mikrohidro. Bekas pembangkit listrik ini sebenarnya perlu diselamatkan dan dibangunan sebuah Museum Pesisir Selatan untuk menyimpan barang-barang bekas mesin pembangkit era kolonial tersebut.
Meskipun sekarang pembangkit listrik mikrohidro Salido Ketek yang dibangun Belanda itu tinggal nama dan sudah dilakukan rehabilitasi dengan pembangkit listrik yang baru, tetapi bekas-bekas pembangkit listrik buatan Belanda masih ada di Salido Ketek. Apalagi sumber air yang dijadikan energi pembangkit listrik mikrohidro di Salido Ketek itu terletak di pucak bukit dengan panoramanya yang indah.
Apalagi lokasi pembangkit listrik di Salido Ketek itu juga tidak terpisahkan dari jalur sejarah (history line) kawasan ini dengan Kapal Boeloengan yang tenggelam di Teluk Mendeh dan lokasi tambang Emas SanLaida. Karena itu, dengan membangunan museum sejarah di kawasan pembangkit listik peninggalan Belanda yang representatif di Salido Ketek, akan menjadikan Salido Ketek sebagai kawasan wisata yang terintegrasi dengan kawasan wisata mandeh atau setidaknya menjadi pendukung bagi pengembangan pesonan dan daya tarik kawasan wisata Mandeh.
Aprial Habas: Kita Dukung Tambang Emas Salido
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pessel, Aprial Habas mengatakan, Pulau Sumatra dahulu dikenal dengan nama Svarnadwipa, yang dalam bahasa sanskerta berarti Pulau Emas. Catatan mengenai ini bermula dari seorang penyair kebangsaan Portugis bernama Luiz de Camoens (1524-1580) dalam puisinya Os Lusiadas. Sumber tersebut didapat dari kabar informasi yang dibawa oleh pelaut-pelaut Arab yang ditemuinya.
Pada tahun 1662, Belanda melalui VOC berhasil menduduki Desa Salido Ketek untuk keperluan berdagang di pantai barat Sumatera sehingga perlahan-lahan VOC membangun infrastruktur berupa benteng di Pulau Cingkuk sebagai penunjang kegiatan dagangnya dan
benteng pertahanan di Sumbar.
Di bawah pimpinan Commandeur Jacob Joriszoon Pits (1557- 1678), VOC mengeksplorasi pertambangan emas di Desa Salido Ketek. Heeren XVII mengirim dua geologisnya untuk meneliti kandungan emas tersebut. Selanjutnya, VOC mendatangkan tenaga kerja paksa yang dibawa dari Madagaskar, juga tawanan perang dari daerah sekitar untuk mengeksploitasi kandungan emas pada tahun 1669.
Pada tahun 1928, Tambang Salido akhirnya ditutup, disebabkan oleh keborosan dan kacaunya administrasi. Hingga kini, bekas kegiatan penambangan masih terlihat di Desa Salido Ketek dan menjadi tujuan wisata. Aprial Habas mengatakan, potensi pertambangan emas tertua itu harus kembali dihidupkan demi dengan mendirikan BUMD dengan berkerja sama dengan pihak PT Antam untuk mengerakkan perekonomian daerah.
Berdasarkan sejumlah informasi yang beredar di tengah-tengah masyarakat yang disampaikan secara lisan dan turun-temurun Pessel, dan keterangan para tokoh masyarakat sekitar kampung Salido bahwa hasil dari tambang emas Salido ini sangat berlimpah, dan emasnya diangkut oleh pemerintah kolonial Belanda ke Negeri Belanda sebagai sumber pembiayaan untuk membangun kota hasil dam laut, Amsterdam.
“Untuk itu, DPRD Pessel mendukung dilakukannya pengelolaan potensi tambang emas Salido ini oleh Pemkab Pessel. Dalam waktu dekat, kami akan turun bersama pihak terkait ke lokasi tambang emas,” ujar Ketua Fraksi Partai Nasdem DPRD Pessel itu.
Jamalus Yatim: Salido Berpotensi Menggaet Investor Besar
Wakil Ketua DPRD Pessel, Jamalus Yatim menyebutkan, tambang emas Salido tidak begitu dikenal saat ini. Padahal, berkemungkinan tambang emas Salido adalah tambang tertua di Sumatera dan sangat terkenal di seluruh Indonesia, bahkan mungkin dunia.
Ia menyayangkan tak banyak sejarawan yang tertarik untuk meneliti sejarah tambang Salido. Menurut Jamalus, sebetulnya tersedia banyak sumber kepustakaan mengenai tambang Salido. Hal ini berguna untuk merekonstruksi tambang Salido untuk dijadikan sebagai aset pariwisata sejarah. Tinggal pemerintah untuk menindaklanjutinya.
“Jejak-jejak tambang Salido masih dapat kita lihat hingga kini. Tidak begitu sulit untuk mencapai tempat itu. Terletak sekitar 10 km dari Kota Painan. Oleh masyarakat sekitar, wilayah lokasi tambang lebih dikenal dengan nama Salido Ketek (Salido Kecil). Sementara tempat tambang itu masyarakat menyebutnya Gunung Harun (mungkin menunjuk kepada
legenda Harta Karun),” katanya.
Hingga kini masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Belanda. Tidak hanya lubang-lubang bekas tambang, tapi juga pembangkit listrik tenaga air yang dibangun oleh Belanda, untuk pemasok listrik pabrik semen di Indarung Padang pada masa dulu.
“DPRD Pessel secepatnya akan segera membentuk tim khusus yang terdiri dari sejumlah ahli di bidang pertambangan dan juga pihak berkompeten lainnya, termasuk melibatkan LSM dan wartawan untuk melihat langsung dan menganalisa potensi pertambangan tambang emas Salido dan pertambangan lainnya untuk mencarikan solusi terbaik bagi pemasukkan pendapatan daerah kita demi kesejahteraan masyarakat,” tuturnya.
Ia menyebut, saat ini tam- bang emas Salido dikelola oleh PT Dempo. Namun hingga beberapa tahun ini belum ditemukan adanya hasil yang diperoleh oleh daerah atas penambangan emas tersebut. “Sehingga kondisi ini mengharuskan kami turun langsung ke lokasi tambang emas Salido tersebut,” katanya.
Hakimin: Demi Kesejahteraan Masyarakat Pessel
Wakil Ketua DPRD, Hakimin menyatakan, pihaknya mendukung digarapnya potensi pertambangan emas Salido ini, yang dikelola lansung oleh BUMD milik Pemkab Pessel dan bisa juga berkerja sama dengan PT Dempo dan PT Antam untuk melakukan eksploitasinya, sehingga mendatangkan keuntungan yang jelas kepada masyarakat dan pemerintah daerah.
Ia menjelaskan, hingga awal abad ke-17 Minangkabau merupakan daerah yang paling kaya akan emas. Emas ditambang dari sungai-sungai di sebelah timur dan di bukit-bukit Minangkabau. Emas-emas yang dihasilkan kemudian diekspor melalui sejumlah pelabuhan, seperti Kampar, Indragiri, Pariaman, Tikus, Barus, dan Pedir.
Melalui perjanjian Painan, pada tahun 1662 VOC mendapat konsesi untuk berdagang di pantai barat Sumatra. VOC mulai mengeksploitasi kandungan emas Salido pada tahun 1669 semasa jabatan commandeur VOC ketiga untuk pos Padang; Jacob Joriszoon Pit (1667-23
Mei 1678). Dua ahli tambang pertama yang didatangkan ke Salido bernama Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf yang berasal dari Hungaria.
Tambang emas pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda dikerjakan pertama kalinya oleh VOC antara tahun 1735-1869, kemudian ditambang lagi oleh Kinandam Sumatera Mijnbouw. Co (1913-1928) yang menghasilkan 3.004 kg emas dan 97.953 kg perak; untuk timah hitam tidak didapat data yang jelas. Belanda menutup tambang ini karena cadangan emas dan peraknya dianggap telah habis. Dikabarkan bahwa pernah terdapat 1.200 tambang emas di sana. (*)