JAKARTA, HALUAN — Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) Mahyeldi Ansharullah memastikan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar terus berkolaborasi dengan Polda Sumbar dan jajaran, serta Pemerintah Kabupaten/Kota untuk, dalam berbagai upaya penyelesaian penguasaan kawasan hutan secara tidak sah.
Penegasan itu disampaikan Mahyeldi saat menjadi narasumber pada Rapat Koordinasi (Rakor) Penyamaan Persepsi Implementasi Prinsip Ultimum Remedium Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yang bersandar pada Undang-Undang nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Rakor sendiri digelar oleh Kementerian LHK di Hotel Sultan, Jakarta, hingga Kamis (4/11).
“Kami sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, telah melakukan beberapa upaya guna menyelesaikan penguasaan kawasan hutan secara tidak sah, dengan terus berkolaborasi bersama Polda dan Pemkab melalui dinas terkait,” ucap Mahyeldi.
Selain menegaskan komitmen untuk terus mengupayakan penyelesaian penguasaan hutan secara tidak sah, Mahyeldi juga meminta arahan dan kebijakan dari Kementerian terkait penggunaan kawasan hutan yang tidak sah tersebut, dengan mempertimbangan asas kebermanfaatan bagi masyarakat serta kepastian penerimaan hak oleh negara.
Komitmen yang disampaikan oleh Gubernur Mahyeldi tersebut mendapat apresiasi dari Kementrian LHK, terutama sekali terkait usaha kolaborasi bersama kepolisian dan pemerintah di kabupaten kota dalam penyelesaian penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Sebab, hal ini bertujuan untuk menghadirkan manfaat dan rasa keadilan bagi masyarakat, serta terdapat kepastian dalam penyelesaian masalah dengan tetap berpedoman pada lingkungan.
Turut hadir sebagai narasumber lain dalam rakor tersebut, pejabat dari Dirjen Gakkum, Sekjen Kementerian LHK, Bareskrim Polri, Jampidum Kejagung, Hakim MA, Direktur Penegakan Hukum Pidana, Pakar Hukum, serta pakar Kehutanan dan Lingkungan Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf dan Prof. Dr. Rachmat Safa’at.
Lebih jauh terkait penyelesaian masalah penguasaan kawasan hutan secara tidak sah di Sumbar, Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan pada Dinas Kehutanan (Dishut) Sumbar, Faridil Afrasy mengatakan, bahwa pengelolaan hutan secara tidak sah juga dapat diselesaikan dengan mekanisme Peraturan Pemerintah (PP) 24/2021, dalam bentuk penyelesaian berbasis sanksi administratif.
“Seluruh persoalan yang terkait dengan keterlanjuran pengelolaan hutan secara tidak sah di Sumbar, mekanismenya itu masuk dalam keterlanjuran. Untuk ini, diberi jangka waktu tiga tahun guna penyelesaiannya. Nanti akan dilihat oleh tim Kementerian LHK. Apakah akan dijatuhi sanksi administratif atau objek kawasan itu dikembalikan lagi ke kawasan hutan,” kata Faridil.
Faridil menambahkan, dalam hal ini para pengelola hutan secara tidak sah dituntun untuk memberikan permohonan penyelesaian kasus ke Kementerian LHK. Saat perbuatan penguasaan hutan secara tidak sah itu melibatkan badan usaha ataupun korporasi, maka akan ada pertimbangan dan rekomendasi gubernur untuk dikaji ulang terkait kelayakannya.
“Terobosan dalam PP ini adalah, bahwa penyelesaian permasalahan kawasan hutan juga terkait dengan keberadaan masyarakat yang belum selesai dalam penataan kawasan melalui Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan perhutanan sosial,” ujarnya lagi.
Sementara itu, terkait dengan penyelesaian masalah ketidaksesuaian izin, konsesi, hak atas tanah, dan/atau hak pengelolaan milik instansi pemerintah, badan usaha, atau masyarakat dalam kawasan hutan, Faridil menyebutkan bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan dapat dikenai dengan sanksi administrasi.
“Sanksi ini sesuai dengan PP Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Bidang Kehutanan. Jadi, kalau penguasaan setelah penunjukan kawasan hutan, maka akan digunakan PP yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja ini,” ucap Faridil lagi.
Untuk saat ini, kata Faridil, luas hutan di Sumbar yang dikelola secara tidak sah belum dapat dipastikan. Namun, terdapat beberapa wilayah yang awalnya merupakan kawasan hutan, tapi kemudian hari telah menjadi area perkampungan ataupun persawahan. (h/adp)