Komitmen Pemprov Sumbar : Tonggak Sejarah PDRI Harus Berdiri Kokoh

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendengar penjelasan terkait progres pembangunan Monumen Nasional PDRI di Kabupaten Lima Puluh Kota, dari Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah, saat pertemuan pertengahan November lalu. IST

 

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendengar penjelasan terkait progres pembangunan Monumen Nasional PDRI di Kabupaten Lima Puluh Kota, dari Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah, saat pertemuan pertengahan November lalu. IST

PADANG, HALUAN — Lahirnya Pemerintahaan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 19 Desember 1948 adalah momentum sejarah yang memiliki tempat khusus di hati warga Sumatra Barat (Sumbar). Oleh karena itu, segenap upaya harus dilakukan demi mengenang dan menghormati salah satu tonggak penting sejarah bangsa tersebut.

Hal itu pula yang mendasari keinginan kuat Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Pemprov Sumbar) untuk segera merealisasikan seutuhnya pembangunan Kawasan Monumen Nasional PDRI di Koto Tinggi, Kabupaten Lima Puluh Kota, yang hingga kini masih belum rampung 100 persen.

“Kita terus meminta dukungan dari berbagai pihak agar ada percepatan dalam pembangunan Monas PDRI ini. Beberapa pekan lalu kita sudah sampaikan permohonan dukungan pada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Sebelumnya, permohonan serupa juga kita sampaikan ke Kementerian Pertahanan dan Kemenkumham,” kata Gubernur Sumbar, Mahyeldi beberapa waktu lalu.

Mahyeldi menekankan, bahwa pembangunan Monas PDRI penting untuk menjadi tonggak pengingat sejarah lahirnya PDRI pada 19 Desember, sebagai bagian dari upaya menjaga keutuhan Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI). Terlebih, momentum itu juga ditetapkan sebagai Hari Bela Negara (HBN) yang diperingati setiap tahunnya.

“Kita perlu membakar semangat nasionalisme generasi hari ini dan generasi untuk masa depan. Salah satunya melalui simbol perjuangan Monumen Nasional PDRI ini, karena dari sini generasi kita dapat memahami arti pentingnya peristiwa tersebut bagi bangsa ini,” katanya lagi.

Sejarah Pembentukan PDRI

Dikutip dari makalah dengan judul Jejak Perjalanan Sejarah Perjuangan PDRI Periode Desember 1948-Maret 1949 yang ditulis Dosen Sejarah FIB Universitas Andalas, Dr. Nopriyasman, diterangkan bahwa muasal PDRI diawali oleh peristiwa penawanan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 19 Desember 1948 saat agresi militer Belanda II.

Pada saat itu, kabinet Hatta kemudian mengirimkan radiogram yang memberikan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, untuk membentuk pemerintahan darurat yang kemudian disebut sebagai PDRI.

Saat Belanda menyerang Yogyakarta saat itu, sambung Nopriyasman, Kota Bukittinggi juga mendapat serangan serupa. Padahal, Bukittinggi adalah benteng kedua setelah Yogya dalam perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia. Di tengah situasi dan suasana tidak menentu itu, Syafruddin Prawiranegara kemudian menggelar rapat darurat bersama pemimpin sipil dan militer di Bukittinggi, guna mengambil langkah-langkah dan menentukan sikap sehubungan perubahan situasi politik dan militer atas penyerangan Belanda yang tiba-tiba, hingga mengumumkan secara terbatas tentang pembentukan PDRI.

Keadaan yang tidak menentu kemudian membuat masyarakat menjadi kebingungan, terutama sekali terkait siapa pimpinan dan pemerintahan saat Agresi Belanda berlangsung. Dalam catatan Kepala Penyelidikan Masyarakat Staf Militer Gubernur Sumatera Tengah (1950), disebutkan bahwa hari-hari pertama Agresi II terjadi “kepanikan” di kota-kota.

Menurut Sejarawan Taufik Abdullah, ada tiga tindakan spontan yang terjadi pada awal Agresi II dalam hal pemerintahan darurat. Pertama, pemerintah darurat di bawah kepimpinan Soekiman. Kedua, pemerintahan darurat militer di bawah Kolonel Nasution. Namun, saat kedua pemimpin itu mengetahui bahwa mandat telah diberikan kepada Syafruddin Prawiranegara, maka keduanya langsung bergabung di bawah tindakan spontan yang ketiga, yaitu PDRI.

Pembentukan PDRI dengan susunan kabinetnya, tulis Nopriyasman, diumumkan tiga hari setelah rapat Bukittingi, tepatnya pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban, daerah Limapuluh Kota), setelah didapat kepastian bahwa pimpinan negara RI tengah ditawan.

Tujuan utama PDRI sendiri adalah mengkoordinir pemerintahan/perjuangan dan melanjutkan perjuangan gerilya, memupuk moril perjuangan dan semangat rakyat, sehingga kelangsungan Republik Indonesia dapat terselamatkan. Syafruddin Prawiranegara (Ketua PDRI) bersama Wakilnya Teuku Moehammad Hasan memimpin Kabinet dari Sumatra; sedangkan Komando Militer tertinggi di Jawa, dipimpin oleh Jenderal Soedirman. (h/adp)

Exit mobile version