PADANG, HARIANHALUAN.id— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong penguatan permodalan bagi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah diantaranya melalui kewajiban pemenuhan modal inti minimum Rp6 miliar.
Adapun pemenuhan modal inti minimum Rp6 miliar tersebut sudah wajib dipenuhi sejak akhir Desember tahun 2024 bagi BPR dan pada 31 Desember 2025 bagi BPR Syariah.
Namun demikian, dari sebanyak 85 BPR dan BPR Syariah di Sumatera Barat- Bengkulu, sekitar 50 diantaranya masih belum memenuhi ketentuan pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp6 miliar .
Ketua Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Sumbar-Bengkulu, Syofian Sara kepada Haluan di Padang, Selasa (22/7) mengatakan, tidak ada penundaan pemberlakukan ketentuan tersebut.
“Bagi BPR/BPRS yang belum mampu memenuhi ketentuan modal minimum sebesar Rp6 miliar tersebut bisa melakukan opsi penggabungan/merger,”ujarnya didampingi Sekretaris Perbarindo Sumbar-Bengkulu, Mardiah.
Syofian mengatakan, Perbarindo Sumbar- Bengkulu, menaungi sebanyak 77 BPR di Sumbar, 13 diantaranya adalah BPRS. Selain itu juga membawahi 8 BPR di Bengkulu, 3 diantaranya adalah BPRS.
Dalam membantu anggota memenuhi ketentuan modal inti minimum tersebut, Perbarindo Sumbar dikatakannya telah mengundang komisarus, pemegang saham serta direktur BPR/BPRS yang bersangkutan.
“Kami undang mereka untuk berdiskusi mengenai penambahan modal inti, kemudian kami juga mencoba mempromosikan BPR/BPRS ke investor agar mau menanamkan modalnya,” ujar Syofian.
Perbarindo Sumbar juga telah menyampaikan kepada OJK agar ada relaksasi terhadap BPR/BPRS yang masih kekurangan modal inti karena sejarah terbentuknya BPR di Sumbar juga sangat berbeda dari daerah lain.
“BPR di Sumbar berbeda karena memiliki akar sejarah dari Lumbung Pitih Nagari (LPN), lembaga keuangan mikro yang berawal dari sistem sosial nagari di Sumatera Barat,” jelasnya.
Terlebih lagi dampak Covid-19 secara nasional belum selesai, sudah disusul oleh sejumlah bencana yang silih berganti terjadi di Sumbar, sehingga tentu saja membuat BPR/BPRS keteteran.
“Selain pemenuhan modal inti minimum, Penerapan Cadangan Pengurangan Penurunan Nilai (CKPN) pada Januari 2025 juga menjadi tantangan besar BPR/BPRS di Sumbar,” ujar dia lagi.
Selain itu tantangan lain yang dihadapi adalah kemajuan teknologi yang semakin tak terbendung sehingga BPR dan BPRS di Sumbar juga harus cepat beradaptasi agar tidak tertinggal.
Belum lagi tantangan persaingan yang semakin ketat baik itu dari sesama BPR, bank umum, yang semakin masif ke pelosok daerah, lembaga keuangan nonbank seperti fintech, pinjaman online hingga Koperasi Merah Putih.
“Dulu pesaing BPR hanya rentenir, sekarang bank umum pun sudah jadi pesaing. Tambah lagi Koperasi Merah Putih. Tetapi kita sampaikan kepada anggota, bahwa itu jangan dijadikan lawan tetapi jadikan mitra.
Bagaimana kita bisa memanfaatkan dan membaca peluang. Seperti Koperasi Merah Putih, di daerah terpencil tidak ada bank konvensional, KMP bisa buka tabungan di BPR sehingga KMP bisa jadi mitra, “ jelasnya.
Ia mengatakan di tengah tantangan ekonomi yang masih lesu saat ini, prospek BPR/BPRS pada tahun 2025 ini masih tetap ada tergantung bagaimana memanfaatkan peluang.
“Ceruk Pasar BPR di Sumbar masih sangat besar karena BPR umumnya berlokasi di daerah-daerah yang lebih kecil dan dekat dengan masyarakat lokal sehingga lebih memahami kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat,” katanya.
Selain itu, BPR juga menawarkan proses pengajuan kredit yang lebih mudah dan cepat, dengan syarat yang tidak seberat bank umum, selain juga pendekatan yang lebih personal dalam pelayanan nasabah.
“Masih ada yang namanya tabungan bajapuik, layanan jemput bola oleh BPR. BPR saat ini sudah sangat menyesuaikan diri , semua layanan ada di BPR, bahkan bisa IPO, kecuali giro saja yang belum bisa,” tutupnya. (h/ita)