PADANG, HARIANHALUAN.id—Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan sejumlah regulasi, diantaranya kewajiban pemenuhan modal inti minimum Rp6 miliar bagi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah.
“Meski berat dipenuhi, tetapi regulasi tersebut diibaratkan sebagai “obat pahit” yang harus ditelan agar industri sehat dan kuat,” ujar Kepala OJK Sumbar, Roni Nazra saat Seminar dan Musda VII DPD Perbarindo Sumbar- Bengkulu Tahun 2025 di Pangeran Beach Hotel Padang, Kamis (21/8).
Musda juga dihadiri Ketua Umum Perbarindo Tedy Alamsyah, Ketua DPD Perbarindo Sumatera Barat–Bengkulu, H. Syofian Sara, SH, MM, dan Sekretaris Mardiah Muluk.
Kemudian Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan, Syaiful Bahri serta Asisten II Setdako Padang Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Didi Haryadi.
Berdasarkan data OJK Sumbar, hingga Mei 20205, total aset BPR/BPRS di Sumbar Rp2,827 triliun, Dana Pihak Ketiga yang berhasil dihimpun Rp2,051 triliun dan kredit dikucurkan Rp2,220 triliun.
Kepala OJK Sumbar, Roni Nazra mengatakan meskipun industri BPR/BPRS masih baik dalam segi penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit tetapi pertumbuhannya semakin melandai.
Hal ini merupakan indikasi bahwa BPR/BPRS harus mulai berbenah diri. Oleh karena itulah OJK mengeluarkan sejumlah regulasi melalui POJK untuk langkah penguatan.
“Regulasi yang diharuskan oleh OJK saat ini seperti kewajiban pemenuhan modal minimum mungkin membuat BPR/BPRS tidak nyaman. Sulit memenuhinya dan butuh effort.
Tetapi demikian yakinlah regulasi itu seperti obat, untuk memperkuat dan menyehatkan BPR. Sebab kalau BPR kecil, tidak bisa ekspansi dan meningkatkan kualitasnya,” ujar Roni.
Ia mengatakan pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp6 miliar, sudah wajib dipenuhi sejak akhir Desember tahun 2024 bagi BPR dan pada 31 Desember 2025 bagi BPR Syariah.
Sementara itu Ketua Umum Perbarindo Tedy Alamsyah,
mengatakan musda merupakan mandat dari AD/ART, yang wajib dilakukan dalam satu periode kepengurusan selama 4 tahun.
Selain memilih ketua baru, agenda lainnya dalam musda adalah menetapkan program kerja perbarindo daerah yang relate dengan program kerja pusat, serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban organisasi.
Ia memberikan apresiasi atas program kerja yang telah dilakukan Perbarindo Sumbar-Bengkulu seperti Rakernas Perbarindo di Padang dalam medio tahun 2024.
“Perbarindo Sumbar dan Bengkulu saat rakernas di Padang juga sukses menghadirkan Komisioner OJK, Dian Ediana Rae.
Hal ini telah membuat komunikasi kita semakin lancar dengan regulator terutama terkait dengan beberapa isu strategis yang kini dihadapi BPR/BPRS,” ujarnya.
Tedy mengatakan beberapa isu strategis itu adalah POJK Nomor 5 Tahun 2015 agar BPR segera memenuhi modal inti minimum Rp6 miliar sebelum 31 Desember 2024.
“Dalam diskusi dengan Pak Dian pascahadirnya beliau saat Rakernas di Padang, secara nasional kita berharap terpenuhi segera, tetapi jika ada ruang dan waktu kita mohon diberikan kesempatan,” ujarnya.
Selanjutnya dikatakannya juga terkait POJK Nomor 1 Tahun 2024 tentang BPR memiliki kewajiban untuk menerapkan CKPN sesuai standar keuangan terkini.
“Perbarindo juga telah berdiskusi dengan OJK mengenai implementasi CKPN ini, khususnya terkait dengan tantangan yang dihadapi BPR,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan rasa bangganya karena Perbarindo Sumbar-Bengkulu sudah memiliki kantor sendiri yakni Rumah Perbarindo.
“Dari 24 DPD Perbarindo di seluruh Indonesia, yang punya kantor mayoritas baru yang berada di Jawa dan Bali. Di Sumatera, DPD Sumbar dan Bengkulu satu-satunya baru yang punya,” kata dia lagi.
Ketua DPD Perbarindo Sumatera Barat–Bengkulu, H. Syofian Sara, SH, MM, mengatakan saat ini keanggotaan sebanyak 85 BPR/BPRS.
Di Sumbar terdapat sebanyak 63 BPR dan 14 BPR Syariah, total 77 BPR/BPRS. Sedangkan untuk wilayah Bengkulu ada 5 BPR dan 3 BPR Syariah, total 8 BPR/BPRS.
Syofian Sara mengatakan industri BPR/BPRS saat ini sedang menghadapi berbagai dinamika seperti perubahan regulasi, tuntutan digitalisasi, hingga proses konsolidasi.
BPR tak bisa lepas dari dampak dinamika tersebut. Tantangan demi tantangan muncul mulai dari regulasi yang terus berkembang, tantangan digitalisasi hingga persaingan yang semakin ketat.
“Tetapi demikian di sisi lain, peluang BPR/BPRS juga terbuka lebar, terutama dalam menjangkau sektor produksi yang belum tersentuh lembaga keuangan besar,” ujarnya.
Lebih jauh ia mengatakan sebagai pelaku utama dalam sektor keuangan mikro dan perbankan daerah, BPR/BPRS saat ini tidak hanya dituntut untuk sekedar mampu bertahan.
“Tetapi BPR/BPRS juga dituntut untuk bisa bertransformasi, berinovasi dan berkolaborasi agar tetap relevan, kompetitif dan mampu jadi tulang punggung industri keuangan di wilayah masing-masing.
Melalui seminar ini kami berharap dapat menghadirkan strategi komplit untuk membantu BPR menjawab tantangan tersebut dan menangkap peluang yang ada,” tutupnya. (h/ita)