PADANG, HALUAN — Dinas Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Hortikultura (Distanhorbun) Sumatra Barat mencatat, stok pupuk bersubsidi yang ada di Sumbar saat ini hanya berjumlah 180 ribu ton atau hanya sekitar 38,8 persen dari total kebutuhan sebesar 460 ribu ton. Kekurangan ini semakin diperparah dengan masih terjadinya kelangkaan di tingkat petani serta harga pupuk yang tahun ini diprediksi masih akan mengalami kenaikan.
Kepala Distanhorbun Sumbar, Syafrizal menyebutkan, kuota pupuk bersubsidi di Sumbar memang tidak seluruhnya dipenuhi oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Tahun 2021 lalu, misalnya, Sumbar mengajukan kuota pupuk bersubsidi sebanyak 200 ribu ton, tetapi yang disetujui hanya sekitar 180 ribu ton lebih.
“Untuk itu, kami akan segera menerbitkan surat keputusan (SK) gubernur untuk pengalokasian pupuk per kabupaten/kota dan per komoditi sesuai kebutuhan di lapangan. Baik itu untuk padi, jagung, perkebunan, maupun hortikultura. Hanya saja, tahun ini peruntukkannya sebagian besar untuk padi,” katanya kepada Haluan, Minggu (16/1).
Ia mengatakan, jenis pupuk bersubsidi tersebut di antaranya, UREA, Sp 36, ZA, NPK 15-10-12, dan pupuk organik. Sesuai dengan arah kebijakan, ucapnya, pupuk disalurkan untuk petani yang tergabung dalam kelompok tani dan terdaftar pada sistem e-RDKK yang diinput tahun 2021 oleh dinas pertanian provinsi, kabupaten, maupun kota yang bertanggung jawab atas alokasi di wilayahnya masing-masing.
“Dengan kondisi pupuk kita yang hanya 38,8 persen, kami akan melakukan pengawasan lebih lanjut ke depannya. Salah satunya dengan menyesuaikan kebutuhan per bulan kabupaten/kota, dan memetakan apa yang paling dibutuhkan di lapangan. Selain itu, untuk mengantisipasi kelangkaan, kami juga sudah memproduksi pupuk organik, yang dibantu pemerintah pusat dan daerah,” tuturnya.
Terpisah, Pengamat Ekonomi Unand, Prof Elfindri mengatakan, kelangkaan dan kenaikan harga pupuk yang terjadi belakangan merupakan dampak dari petani yang sudah terlanjur terdidik dalam menggunakan pupuk industri. Petani menjadi amat bergantung pada pola tanam dengan penggunaan pupuk berbahan kimia.
“Sementara keperluan atau permintaan pupuk meningkat karena terjadinya pertumbuhan penduduk. Hal ini belum diimbangi dengan inisiasi memproduksi pupuk di masing-masing daerah, sehingga masih bergantung kepada pupuk yang diproduksi di luar daerah,” katanya, Minggu (16/1).
Harga pupuk yang terus meningkat akan berdampak pada menurunnya nilai tambah bagi petani. Menurut Elfindri, penyediaan pupuk lokal menjadi solusi atas masalah-masalah tersebut. Sekarang, hanya tinggal sejauh mana pemerintah daerah melalui dinas terkait menunjukkan keseriusan dalam memfasilitasi agar produksi pupuk bisa dilakukan sendiri.
Menurutnya Sumbar layak dan bisa memproduksi pupuk sendiri. Industri pupuk yang didirikan di Sumbar akan mampu menekan biaya komponen produksi dan distribusi. “Untuk mewujudkan itu tentu dibutuhkan inisiasi. Maka gubernur harus memastikan kajiannya melalui Bappeda guna menetapkan kelayakan dan kapasitasnya. Kemudian kajian itu diserahkan kepada pemerintah pusat atau BUMN yang bergerak di industri pupuk agar mereka bisa melakukan produksi di Sumbar. Harus dimulai sekarang, karena kebutuhan pupuk kita di Sumbar terus meningkat,” katanya.
Di samping itu, agar petani tidak terus berada di dalam kondisi sulit bseperti sekarang, ia menlai sudah saatnya petani berinisiatif membentuk farmer union atau petani berkelompok.
“Penetapan harga bisa dilakukan oleh petani sendiri. Penjualan yang dilakukan tidak lagi seperti sekarang, tapi penjualan dikakukan dengan model lelang yang dikelola farmer union. Ini yang sudah dilakukan oleh negara-negara maju. Model penjualan seperti sekarang hanya akan menguntungkan para pedagang perantara antara petani dan pasar,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memproyeksikan harga pupuk nonsubsidi bakal mengalami kenaikan sepanjang tahun 2022, akibat melonjaknya harga bahan baku di tingkat global. Kenaikan harga pupuk itu belakangan ikut andil memengaruhi inflasi pada komoditas pangan awal tahun ini.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag, Isy Karim mengatakan, kementeriannya tengah berkoordinasi dengan produsen pupuk dalam negeri untuk menjaga harga pupuk nonsubsidi tetap stabil di tengah gejolak harga dunia.
Pemerintah menargetkan produsen dalam negeri dapat memberikan harga di bawah harga internasional untuk menjaga akses pupuk bagi petani. “Kenaikan harga pupuk nonsubsidi disebabkan oleh melonjaknya harga berbagai komoditas dunia seperti amonia, phosphate rock, KCL, gas, dan minyak bumi karena pandemi, krisis energi di Eropa serta adanya kebijakan beberapa negara yang menghentikan ekspornya,” katanya.
Berdasarkan data World Bank-Commodity Market Review per 4 Januari 2022, Pupuk Urea dan diamonium fosfat (DAP) mengalami kenaikan yang signifikan. Sepanjang Januari hingga Desember 2021 misalnya, harga diamonium fosfat (DAP) di pasar internasional mengalami kenaikan sebesar 76,95 persen. Saat awal tahun lalu, harga pupuk itu mencapai US$421 per ton, pencatat itu berakhir di posisi US$745 per ton pada Desember 2021.
Di sisi lain, Pupuk Urea mengalami peningkatan harga mencapai 235,85 persen sepanjang tahun lalu. Pupuk Urea sempat berada di harga US$265 per ton belakangan naik menjadi US$890 per ton pada Desember 2021. (h/mg-dar/mg-ga)