HARIANHALUAN.ID – Pertamina Patra Niaga senantiasa menjalankan tugas dan tanggung jawab untuk mendistribusikan energi bagi masyarakat. Pertamina Patra Niaga Regional Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) juga terus memperkuat sinergi dengan masyarakat, media, aparat penegak hukum, untuk mengawasi dalam menyalurkan elpiji bersubsidi.
Sales Area Manager Wilayah Sumbar, Narotama Aulia Fazri mengatakan, bahwa selain mengawasi secara intens penyaluran elpiji subsidi tepat sasaran, masyarakat juga harus paham perbedaan agen elpiji dan pangkalan elpiji. Supaya, jika terjadi penyimpangan di tengah masyarakat atas penyaluran gas elpiji bersubsidi tersebut, masyarakat telah paham perbedaan antara agen dan pangkalan.
“Misalnya masyarakat mengetahui ada penyelewengan penyaluran gas elpiji subsidi di tingkat agen atau pangkalan. Atau ada kenaikkan harga elpiji subsidi di tingkat pangakalan. Nah dengan masyarakat harus paham dulu, harga tersebut memang di tingkat pangkalan atau sudah jatuh ke pengecer,” terang Narotama, Rabu (4/10).
Ia menjelaskan, bahwa agen elpiji 3 Kg adalah badan usaha yang sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku yang ditunjuk oleh PT Pertamina untuk melaksanakan kegiatan penjualan elpiji 3 Kg kepada Konsumen melalui pangkalan elpiji 3 Kg. Sementara, pangkalan elpiji 3 Kg adalah koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta, atau perorangan yang mempunya perjanjian dengan agen elpiji 3 Kg untuk melaksanakan kegiatan penjualan elpiji 3 Kg kepada konsumen.
“Skema penyaluran elpiji 3 Kg adalah dari SPPBE ke Agen, lalu dari Agen ke pangkalan, lalu dari pangkalan ke konsumen. Jadi konsumen atau masyarakat bisa melakukan pembelian elpiji 3 Kg di pangkalan dengan harga yang telah ditetapkan disetiap daerah tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Narotama juga menerangkan, bahwa dasar hukum penyediaan dan pendistribusian elpiji 3 Kg yaitu sesuai dengan Undang-Undang 22/2001 -minyak gas dan bumi. PP36/2004, PP30/2009 (revisi PP36/2004).
“Keputusan dirjen migas 99.K/MG.05/DMJ/2023 Penahapan wilayah dan waktu pelaksanaan pendistribusian isi ulang elpiji tertentu tepat sasaran. Jadi pengguna elpiji 3 Kg ini adalah bagi rumah tangga, usaha mikro, nelayan sasaran, dan petani sasaran,” sebut Narotama.
Ia juga menyebutkan, beberapa penyalahgunaan elpiji 3 Kg yang terjadi di lapangan, mulai dari pemindahan isi tabung elpiji 3 Kg ke elpiji non subsidi, penimbunan, penjualan tidak sesuai sasaran, penjualan melebihi HET, penjualan ke wilayah yang bukan wilayah distribusi, dan penggunaan kendaraan yang tidak terdaftar.
“Nah, dengan dasar adanya penyalahgunaan tersebut, maka dibuatkan kebijakan subsidi tepat sasaran kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang terdapat beberapa syarat dalam pembelian elpiji 3 Kg tersebut,” imbuhnya.
Syarat tersebut yaitu konsumen yang membeli elpiji 3 Kg ke pangkalan harus membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP), kemudian pangkalan bisa cek NIK KPM melalui website subsidi tepat di pangkalan. Jika data sudah masuk, dan telah berhasil maka konsumen bisa melakukan pembelian elpiji 3 Kg bersubsidi.
“Dengan teknis tersebut berhasil, dan konsumen adalah KPM dan tepat sasaran, barulah konsumen bisa melakukan pembelian elpiji 3 Kg untuk selanjutnya,” ucap Narotama lagi.
“Selain itu, kami juga terus memperkuat sinergi dengan kepolisian khususnya untuk mengawal pendistribusian elpiji bersubsidi. Selain itu juga, saya mengapresiasi masyarakat dan rekan-rekan media yang turut memberikan laporan kepada kami ketika ditemukan kejanggalan-kejanggalan dalam pendistribusian energi subsidi yang melibatkan Lembaga Penyalur Pertamina,” tutupnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan, bahwa sosilisasi tentang perbedaan gas elpiji subsidi dan bukan, sangat penting sifatnya. Tujuannya tentu agar masyarakat pengguna, yakni masyarakat yang menjadi target subsidi energi, tidak membeli elpiji subsidi dengan harga di atas harga yang telah ditentukan pemerintah.
“Artinya, jika masyarakat yang menjadi target subsidi energi gas mengetahui perbedaannya, maka mereka juga mengetahui batas harga atasnya, sehingga jika ada pangkalan yang menjual di atas itu, masyarakat bisa melaporkannya ke para pihak yang berwenang,” ujar Ronny kepada Haluan.
Dari ilustrasi itu dapat dilihat betapa pentingnya sosialisasi kepada masyarakat tentang perbedaan gas elpiji bersubsidi dan bukan. Pertama agar pangkalan tidak menjual di atas HET yang telah ditetapkan. Kedua, agar masyarakat juga bisa mengidentifikasi dirinya apakah masuk kategori masyarakat penerima subsidi energi atau bukan.
“Soal penggunaan KTP, saya kira relatif sifatnya. Pangkalan agak sulit mendeteksi kategori masyarakat yang layak atau tidak layak menerima subsidi energi. Harusnya datanya disediakan oleh pemerintah. Tapi jika faktanya pangkalan sendiri yang harus mendatanya, maka itu juga tak ada masalah sebenarnya,” ungkapnya. (h/win)