In Memoriam Letjen TNI Purn IR H Azwar Anas: Selamat Jalan Tokoh “Four in One” 

CATATAN: HASRIL CHANIAGO

Azwar Anas

Letjen TNI Purn. Ir. Azwar Anas Dt. Rajo Sulaiman

Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un”. Indonesia, dan lebih-lebih Sumatra Barat (Sumbar), kembali kehilangan seorang sesepuh dan salah satu putra terbaik. Seorang lagi tokoh bangsa, Letjen TNI Purn. Ir. Azwar Anas Dt. Rajo Sulaiman, Gubernur Sumatra Barat (1977-1987), Menteri Perhubungan RI (1988-1993), dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (1993-1998), wafat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta sekitar pukul 11.40 WIB, Minggu 5 Maret 2023.

Ir. Azwar Anas yang juga menyandang darjah kehormatan Dato’ Seri Utama dari Negeri Sembilan, Malaysia, adalah tokoh yang unik dan sulit dicari bandingannya. Bila dalam konsep kepemimpinan di Minangkabau dikenal istilah kepemimpinan “tali tigo sapilin” (three in one), dalam diri Azwar Anas justru melekat empat unsur kepemimpinan sekaligus: ninik mamak, cerdik pandai, ulama, dan perwira tinggi militer. Jadi beliau bisa disebut tokoh yang four in one.

Beliau meninggal dalam usia 91 tahun lebih setelah sempat dirawat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta sejak Januari lalu. Selama Ir. Anas dirawat, banyak tokoh nasional dan tokok-tokoh masyarakat yang datang membesuk. Termasuk Ketua Umum Partai Gerindra Letjen TNI Prabowo Subianto.

***

Dilahirkan di Padang tanggal 2 Agustus 1931, Azwar adalah putra pertama dari pasangan Anas Sutan Masabumi dan Rakena. Ayahnya terbilang ambtenaar zaman Belanda yang berhasil mencapai kedudukan tinggi sebagai Kepala Stasiun Kareta Api di Padang.

Pendidikan Azwar Anas dimulai dari Sekolah Dasar di Padang pada zaman Jepang (1944). Sempat masuk SMP di akhir zaman Jepang, namun setelah Proklamasi keadaan Kota Padang mulai kacau setelah diduduki tentara Sekutu dan NICA Belanda, sehingga pendidikannya terputus. Awal 1946 ibukota Sumatra Barat pindah ke Bukittinggi, dan keluarga Azwar Anas pun mengungsi ke kota itu. Di kota berhawa sejuk ini, ia meneruskan sekolahnya.

Mulanya di SMP Negeri 1 Bukittinggi, tetapi kemudian pindah ke SMP Negeri 3 di Tanjung Alam. Setelah tamat, ia masuk ke SMA ABC Bukittinggi, satu-satunya SMA Negeri di Sumatra Tengah masa itu.

Namun pendidikannya kembali terputus, karena akhir 1948 tentara Belanda melancarkan Agresi Militer II, Ibu Kota Yogyakarta dan Bukittinggi diduduki Belanda. Mr. Syafruddin Prawiranegara dan beberapa pejabat dari pusat (Yogyakarta) bersama sejumlah tokoh Minangkabau membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi lalu mengungsi ke pedalaman.

Pada saat itu, keluarga Azwar Anas pindah ke Barulak, Tanah Datar. Baru setelah gencatan senjata diberlakukan di Sumatra Barat pada 19 Agustus 1949, keluarganya kembali pindah ke Padang. Di Padang, ia melanjutkan sekolah ke SMA Permindo (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tamat pada tahun 1951.

Setamat SMA, ia berniat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Jawa, karena pada saat itu di Sumatra Barat belum ada perguruan tinggi. Oleh sebab itu, dalam suatu perundingan dengan keluarganya, Azwar menyampaikan keinginannya untuk merantau ke Jakarta. Sesampai di Jakarta, sambil mencari pekerjaan, ia menumpang sementara waktu di rumah salah seorang kerabatnya.

Setelah memperoleh informasi dari salah seorang temannya tentang lowongan pekerjaan pegawai Balai Penyelidikan Kimia di Bogor, ia langsung melamar ke sana. Pada awalnya ia hanya berkerja sebagai petugas kebersihan di sebuah laboratorium yang dikepalai oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Ir. Nyhold. Namun berkat kerajinannya, tahun berikutnya ia diminta menjadi asisten seorang insinyur bernama Ir. Dufont di sebuah laboratorium di Burangrang, Bandung, yang berada di bawah Departemen Perindustrian.

Sambil bekerja, ia memperoleh beasiswa dari Departemen Perindustrian untuk mengikuti pendidikan Teknik Kimia di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung (sejak 1959 menjadi ITB).

Sebelum meraih gelar insinyur, Azwar sudah diangkat sebagai Asisten dan Dosen Luar Biasa ITB (1958-1959). Setelah menggondol ijazah ITB, ia dikirim mengikuti Management Cource di Universitas Syracuse, Amerika Serikat (1959). Sekembali dari sana, ia masuk dinas militer dan bekerja di lingkungan Prindustrian Angkatan Darat (Pindad). Kariernya cepat berkembang. Mulanya sebagai Kepala Dinas A Pindad (1960-1961), Kepala Pusat Laboratorium Pindad (1962-1964), Kepala Pusat Karya Pindad (1964-1968), lalu promosi menjadi Direktur Utama PT Purna Sadhana Pindad (1968-1970).

***

Karir putera Mato Air, Padang, ini meroket setelah ia memberikan darma baktinya di Ranah Minang sejak tahun 1970. Setelah sukses di rantau, ayah lima anak ini ditunjuk sebagai Presiden Direktur PT Semen Padang. Ketika ia masuk di situ, perusahaan negara ini dalam keadaan semaput.

Banyak pihak tidak yakin perusahaan itu akan meraup untung, sehingga pemerintah cenderung untuk menjualnya saja kepada perusahaan dari Perancis. Namun Gubernur dan DPRD Sumatra Barat menolak pabrik semen itu dijual sebagai besi tua, lalu meminang Azwar Anas untuk memimpinnya.

Di bawah kendalinya, PT Semen Padang berhasil direvitalisasi, sehingga mampu berkembang dengan cepat. Selama memimpin PT Semen Padang (1970-1978), Azwar Anas juga merangkap jabatan sebagai Presiden Direktur PT Semen Baturaja (1973-1977), dan anggota MPR Utusan Daerah Sumatra Barat (1972-1977).

Sukses memimpin pabrik semen di Bukit Indarung, mengantarkan Azwar Anas masuk ke Rumah Bagonjong sebagai Gubernur Sumatra Barat menggantikan Harun Zain. Ia dilantik sebagai Gubernur Sumatra Barat oleh Menteri Dalam Negeri Amirmachmud pada 18 Oktober 1977. Da­lam pidato pertama pada saat berkenalan dengan masyarakat, Azwar Anas mengutip bagian pidato terkenal Sayidina Abu Bakar Siddik saat dilantik sebagai Khalifah: “Ji­ka tindakan saya benar ikutilah saya, jika salah betulkanlah.”

Selama 10 tahun masa baktinya, Azwar senantiasa melakukan pendekatan yang diwarnai sentuhan keimanan dan ketakwaan. Ia tak jemu mengingat-ingatkan masyarakat Ranah Minang yang memiliki “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah,” supaya selalu ingat pada Allah. Agar semua pekerjaan diniatkan karena Allah semata, untuk mencari rida-Nya. Ini diutarakannya dalam tiap kesempatan, mulai dari kota sampai ke nagari-nagari terpencil, agar tercipta akhlak mulia atau akhlaqulkarimah.

Jika pada era Gubernur Harun Zain (1966-1977) rakyat Sumatra Barat bangkit lagi harga dirinya, maka dalam periode Azwar Anas yang memupuk keimanan dan takwa, langkah mereka pun makin mantap menggapai hari depan yang lebih baik. Pembangunan daerah maju pesat. Maka pada akhir Pelita III (1984) Sumatra Barat meraih Anugerah Parasamya Purnakarya Nugraha, penghargaan tertinggi untuk provinsi yang paling berhasil pembangunannya dalam skala nasional.

Sumatra Barat adalah provinsi ketiga setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan provinsi pertama dan satu-satunya di luar Pulau Jawa,  yang berhasil mendapat penghargaan tersebut.

“Keberhasilan Sumatra Barat ini berkat kerja keras, penuh ketekunan disertai disiplin dan percaya diri yang tinggi dari seluruh rakyatnya di bawah bimbingan pemerintah daerah,” kata Presiden Soeharto pada upacara penyerahan lambang supremasi pembangunan itu di Padang, 22 Agustus 1984.

Apa komentar Azwar Anas? “Ini merupakan tanda bahwa kerja masyarakat Sumatra Barat selama ini diridai Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini merupakan keberhasilan rakyat Sumatra Barat seluruhnya, dan bukan keberhasilan gubernurnya,” katanya.

Sukses memimpin pembangunan Sumatra Barat selama 10 tahun, Azwar dipercaya Kepala Negara untuk memangku jabatan Menteri Perhubungan dalam Kabinet Pembangunan V. Pada masa baktinya itulah lahir Undang-Undang Lalu Lintas. Setelah lima tahun menjadi Menteri Perhubungan, Azwar Anas yang mendapat pangkat kehormatan Letnan Jenderal TNI, diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan (1993-1998).

Semasa menjabat menteri, Azwar Anas juga dipercaya menjadi Ketua Umum PSSI dua periode (1991-1999). Di masa kepemimpinannya dikenal program Primavera dan Baretti sebagai upaya talent scouting atau pengkaderan pemain-pemain muda. Salah satunya dengan menggandeng klub Serie A Italia, Sampdoria, untuk mendidik pemain muda Indonesia. Talenta terbaik tanah air dikirim ke Italia untuk mengikuti turnamen junior Primavera (1993-1994) dan Baretti (1995-1996).

Program ini kemudian menghasilkan beberapa nama bintang, di antaranya Kurniawan Dwi Yulianto dan Bima Sakti. Keduanya kemudian memberikan ilmu yang diterima dengan menjadi pelatih. Bima Sakti pernah menjadi pelatih Timnas Indonesia yang sukses menjuara Piala AFF U-16 2022. Sekarang Bima bersama Kurniawan, membantu Indra Sjafri melatih Timnas U-23.

***

Selain teknokrat, birokrat, cendekiawan, jenderal dan ulama, Azwar Anas juga pemangku adat dengan gelar Datuk Rajo Sulaiman dari pesukuan Caniago. Pensiun dari jabatan menteri, ia kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga tahun 2001. Di Jakarta, tepat tinggalnya, ia dikenal sebagai salah satu tokoh Minang terkemuka. Selain itu, ia juga masih aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, bahkan politik. Dalam Pemilu Presiden 2009, ia masih aktif menjadi anggota tim kampanye calon Presiden dan Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono -Boediono.

Atas jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara, Azwar Anas telah dianugrahi tanda penghargaan Bintang Mahaputra Utama di akhir masa jabatannya sebagai Gubernur Sumatra Barat, dan Bintang Mahaputra Adipradana ketika menjabat Menko Kesra. Selain itu, ia juga mendapat darjah kehormatan dengan gelar Dato’ Seri Utama dari Kerajaan Negeri Sembilan, Malaysia.

Ia menikah dengan Djusmeini (wafat 2009), dan dikaruniai lima orang anak, yaitu Ronny Pahlawan, Maya Devita, Irsyad Riady, Irza Farabu dan Ria Prima Pusparini. (*)

Exit mobile version