Aturan ini ditegaskan pula dalam PP No. 14 Tahun 2016 dan Permen PUPR No. 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Sayangnya, semua regulasi itu seolah hanya menjadi formalitas tanpa implementasi nyata.
Mak Kimin, salah seorang warga sekitar, membenarkan bahwa Syaikh Mulyadi telah tinggal di gubuk itu sejak kecil. Sepanjang hidupnya, bantuan yang pernah ia terima hanya sebatas kompor dan tabung gas 3 kg.
“Kami berharap dinas terkait dan perangkat nagari segera turun tangan,” harap Mak Kimin.
Lebih memilukan, saat musim Pilkada tiba, rumah kecil itu mendadak ramai didatangi pejabat yang mencari dukungan. Namun setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, Syaikh kembali terpinggirkan, seolah menjadi korban dari kemiskinan nurani para pemangku kekuasaan.
Para penggiat sosial pun mendesak Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota dan Baznas segera membangun rumah layak huni untuk Syaikh Mulyadi.
Apakah hati nurani mereka akan kembali tergerak? (*)