HARIANHALUAN.ID – Di antara dinamika pemerintahan nagari yang kian kompleks, terselip sejenak waktu untuk merenung dan meresapi makna kepemimpinan dalam diam.
Itulah yang dilakukan Muskinta, Wali Nagari Lareh Nan Panjang, saat menyempatkan diri mengunjungi bentangan alam di Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Sebuah tempat yang kerap dijuluki sebagai salah satu desa tertua dan terindah di Minangkabau.
Dengan latar hamparan sawah, barisan bukit berselimut kabut dan semilir angin senja, Muskinta berdiri tenang memandang jauh ke cakrawala. Bagi beliau, alam bukan sekadar tempat berlibur, tetapi sahabat yang setia menyapa jiwa, mengembalikan ketenangan di tengah kesibukan yang tak pernah henti.
“Menghirup damai dari ketinggian Sumatera Barat, alam selalu punya cara menyentuh jiwa. Dari sanalah keceriaan hati lahir kembali dan semangat untuk terus menjaga alam tumbuh tak henti,” ucap Muskinta dalam perbincangan hangat bersama Harianhaluan.id.
Alam: Guru yang Bijak, Sahabat yang Setia
Alam Minangkabau bukan sekadar pemandangan. Ia adalah bagian dari napas kehidupan, budaya, dan spiritualitas masyarakat. Setiap jengkal tanahnya menyimpan filosofi, setiap lengkungan bukitnya menyuarakan nilai adat. Muskinta memahami hal itu, dan menjadikannya fondasi dalam memimpin nagari.
Di balik peran administratifnya sebagai Wali Nagari, ia adalah penjaga harmoni antara manusia dan alam. Filosofi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK) bukan hanya ucapan di atas podium, melainkan prinsip hidup yang dihidupi dalam tindakan nyata.
“Alam Minangkabau bukan hanya untuk dikagumi, tapi untuk dijaga, karena disanalah hidup, budaya dan masa depan berakar,” ucapnya.
Langkah-langkah pelestarian lingkungan terus ia dorong di Nagari Lareh Nan Panjang, seperti penguatan kelembagaan nagari ramah lingkungan, edukasi kepada generasi muda tentang pentingnya menjaga warisan alam, serta program pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal.