Pada waktu itu, gaji seorang guru hanya Rp60 ribu (terlepas dari nilai uang), harga BBM jenis premium kalau tidak salah pada waktu itu sekitar Rp400, tetapi penulis bukan menyorot masalah gaji, tetapi fokus tugas guru memang mengajar dan mendidik anak-anak di sekolah.
Kalau dilihat subjeknya, anak-anak didik punya moral yang sangat tinggi pada waktu itu, untuk bertemu dengan guru saja takut, jangankan untuk membawa guru berkelahi, jangankan untuk mengeluarkan kata-kata kotor terhadap guru. Kebetulan guru penulis tinggal tidak jauh dari tempat tinggal penulis, begitu melihat ibu guru mau lewat jalan kaki di depan rumah penulis, penulis langsung lari ke dalam rumah, takut ini bukan berarti takut di marahi, tetapi takut dengan artian sangat hormat dan segan terhadap guru. Begitu tingginya rasa hormat anak-anak pelajar kepada seorang guru.
Guru pada waktu itu tidak pernah diancam dengan HAM, guru tidak pernah dibawa ke meja hijau, guru tidak pernah mendapat ancaman, guru tidak pernah dipenjara karena mendidik anak di sekolah, guru sangat dihormati. Ketika murid melapor di rumah bahwa di sekolah dimarahi guru, malahan orang tua menambah kemarahannya sama anak. Hasilnya, anak-anak sangat bermoral dan beretika.
Begitu pula dengan kurikulum, jauh berbeda dengan kurikulum zaman sekarang yang penuh dengan pergantian, belum berjalan dengan baik, kurikulum sudah diganti lagi, belum matang pelajaran berdasarkan kurikulum, ganti lagi, yang paling parahnya lagi menyalahartikan kurikulum seperti saat ini kurikulum merdeka yang disalahartikan oleh para siswa dan orang tua, yang menganggap kurikulum merdeka itu, anak-anak boleh semaunya saja di sekolah.
Kalau penulis lihat, akhir-akhir ini yang ada adalah cemburu, iri dan dengki terhadap guru, apakah orang itu melihat dari jam kerja, penghasilan dan lain sebagainya. Kalau dilihat penghasilan, dibandingkan dengan negara luar, gaji guru di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan di atas bahwa pp guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Maka guru saat sekarang ini ditambah dengan beban kerja diluar dari tugas wajib sebagai seorang guru yang mengajar dan mendidik anak-anak.
Apakah itu tugas naik pangkat yang begitu banyak, apakah itu tugas untuk menerima tunjangan yang seratus ribu itu, banyak lagi tugas ini dan itu nya yang tidak relevan dengan fungsi guru. Bagaimana melahirkan anak anak bangsa yang cerdas dan bermoral ketika guru ditugasi dengan pekerjaan pekerjaan diluar tugas guru.
Apalagi saat ini ada yang namanya guru penggeraklah, kalau penulis tanya kepada guru-guru yang tidak masuk ke dalam guru penggerak, sampai saat ini manfaat guru penggerak untuk pendidikan belum ada, manfaatnya hanya untuk guru penggerak itu sendiri, karena ilmu yang didapatkannya hanya untuk diri guru penggerak itu sendiri.
Bahkan, tugas pokok yang bersangkutan (guru penggerak) sudah tertinggal atas kesibukan-kesibukan yang diberikan terhadap guru penggerak itu sendiri, sebaliknya penulis bertanya lagi kepada guru penggerak itu sendiri, jawabannya adalah memang capek pak, bahkan guru tersebut itu mengaku ia sehari-hari hanya disibukkan di depan laptop, bukan disibukkan di hadapan murid-muridnya. Timbul pertanyaan penulis, apakah itu tujuan guru dan bahkan penulis pernah pertanyakan kepada suatu lembaga yang mengurus mutu pendidikan, apakah pemerintah melalui lembaga ini tidak melihat ke bawah, apakah tidak ada evaluasi, lihatlah ke bawah secara non formil, apa yang terjadi sebenarnya akibat program program tersebut, informasi informasi riil yang ada di bawah atau di tengah-tengah masyarakat itu akan dapat mengungkapkan apa yang sudah terjadi di dunia pendidikan Indonesia saat ini.